Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah: Suara Perempuan Korban sebagai Basis Fatwa
Rabu, 16 November 2022 - 17:11 WIB
Kiranya tak berlebihan bila Ahmad Najib Burhani (‘Muhammadiyah’ in Oxford Islamic Studies Online, 2019) mengatakan, satu-satunya yang mampu menyaingi fasilitas dan aset Muhammadiyah adalah negara.
Sedangkan KUPI mendefinisikan “ulama perempuan”, orang-orang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki rasa takut kepada Allah Swt (berintegritas), pada urusan kemanusiaan secara umum dan urusan perempuan secara khusus (publik dan domestik/keluarga).
Selain itu, berkepribadian mulia (akhlaaq kariimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘aalamiin) bagi perempuan dan laki-laki sehingga tercipta relasi yang harmonis dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai aktivis perempuan yang tumbuh, berkembang di Muhammadiyah-‘Aisyiyah, KUPI, dan Komnas Perempuan, saya memiliki penilaian subjektif, objektif, sekaligus harapan pada ketiganya. Yakni, dalam hal perumusan fatwa, berdasarkan pengalaman dan suara perempuan serta arah kebijakan untuk lima tahun ke depan bagi kehidupan perempuan.
Pandangan objektif berdasarkan penelitian saya, setidaknya Muhammadiyah-‘Aisyiyah dan KUPI telah mengeluarkan fatwa yang selaras dengan jaminan perlindungan jiwa manusia, terutama perempuan dalam dharuriyyat khamsah; terutama hifzun-nafs (perlindungan jiwa, nyawa), hifzul-’aql (melindungi akal-pikiran), hifzul-irdhi (melindungi kehormatan diri).
Misalnya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah memiliki fatwa (‘Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama’), di antaranya hukum mencatatkan perkawinan adalah wajib dan larangan nikah siri karena merugikan perempuan dan anak (2007), perceraian harus melalui proses peradilan dan tidak sah perceraian di luar sidang pengadilan (2007), larangan khitan/sunat perempuan (2003).
Selain itu, mempertimbangkan poligami karena sulit berlaku adil (2003), pernikahan minimal usia 21 tahun bagi perempuan dan laki-laki (2017), serta fatwa Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah bahwa “untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya” (Himpunan Putusan Tarjih, 2018:239).
Adapun KUPI menghasilkan tiga fatwa (2017), dua di antaranya yakni fatwa tentang kekerasan seksual sebagai sebuah keharaman, larangan menghukum korban perkosaan, kewajiban mendengarkan suara korban, perkosaan bukanlah zina dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan zina. Selain itu, fatwa perkawinan anak, yakni pencegahan terhadap pernikahan anak/pernikahan dini yang menimbulkan kemudaratan hukumnya wajib.
Kedua fatwa menjadi rujukan negara dalam proses pembahasan dan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan usia minimal perkawinan 19 tahun dari 16 tahun bagi perempuan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“HeForShe” dalam Perumusan Fatwa
Sedangkan KUPI mendefinisikan “ulama perempuan”, orang-orang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki rasa takut kepada Allah Swt (berintegritas), pada urusan kemanusiaan secara umum dan urusan perempuan secara khusus (publik dan domestik/keluarga).
Selain itu, berkepribadian mulia (akhlaaq kariimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘aalamiin) bagi perempuan dan laki-laki sehingga tercipta relasi yang harmonis dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sebagai aktivis perempuan yang tumbuh, berkembang di Muhammadiyah-‘Aisyiyah, KUPI, dan Komnas Perempuan, saya memiliki penilaian subjektif, objektif, sekaligus harapan pada ketiganya. Yakni, dalam hal perumusan fatwa, berdasarkan pengalaman dan suara perempuan serta arah kebijakan untuk lima tahun ke depan bagi kehidupan perempuan.
Pandangan objektif berdasarkan penelitian saya, setidaknya Muhammadiyah-‘Aisyiyah dan KUPI telah mengeluarkan fatwa yang selaras dengan jaminan perlindungan jiwa manusia, terutama perempuan dalam dharuriyyat khamsah; terutama hifzun-nafs (perlindungan jiwa, nyawa), hifzul-’aql (melindungi akal-pikiran), hifzul-irdhi (melindungi kehormatan diri).
Misalnya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah memiliki fatwa (‘Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama’), di antaranya hukum mencatatkan perkawinan adalah wajib dan larangan nikah siri karena merugikan perempuan dan anak (2007), perceraian harus melalui proses peradilan dan tidak sah perceraian di luar sidang pengadilan (2007), larangan khitan/sunat perempuan (2003).
Selain itu, mempertimbangkan poligami karena sulit berlaku adil (2003), pernikahan minimal usia 21 tahun bagi perempuan dan laki-laki (2017), serta fatwa Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah bahwa “untuk mewujudkan keluarga sakinah, poligami tidak menjadi pertimbangan utama ketika menghadapi permasalahan antara suami-istri. Semua anggota keluarga hendaknya berusaha menjauhkan peluang yang dapat menghantarkan adanya kemungkinan poligami dan mewujudkan prinsip monogami dalam perkawinannya” (Himpunan Putusan Tarjih, 2018:239).
Adapun KUPI menghasilkan tiga fatwa (2017), dua di antaranya yakni fatwa tentang kekerasan seksual sebagai sebuah keharaman, larangan menghukum korban perkosaan, kewajiban mendengarkan suara korban, perkosaan bukanlah zina dan tidak akan pernah bisa disamakan dengan zina. Selain itu, fatwa perkawinan anak, yakni pencegahan terhadap pernikahan anak/pernikahan dini yang menimbulkan kemudaratan hukumnya wajib.
Kedua fatwa menjadi rujukan negara dalam proses pembahasan dan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan usia minimal perkawinan 19 tahun dari 16 tahun bagi perempuan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“HeForShe” dalam Perumusan Fatwa
tulis komentar anda