Muktamar Muhammadiyah-Aisyiyah: Suara Perempuan Korban sebagai Basis Fatwa
Rabu, 16 November 2022 - 17:11 WIB
Jamak diketahui, laki-laki (ulama, cendekiawan, akademisi) dianggap lebih otoritatif daripada perempuan dalam penyusunan fatwa. Kenyataannya, banyak ulama perempuan yang cerdas, berpengetahuan luas, otoritatif, bahkan berbasis pengalaman perempuan dalam menyusun fatwa, sebagaimana di KUPI ataupun di ‘Aisyiyah. Walaupun ada pula laki-laki yang memiliki keberpihakan pada perempuan dan mendukung fatwa yang adil bagi perempuan dan tidak menjadikan perempuan “hanya objek fatwa”.
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (w.1873), seorang ulama/cendekiawan, asal Mesir, tercatat sebagai orang (laki-laki) yang pertama kali mengangkat isu perempuan dalam perumusan fatwa keagamaan ataupun kebijakan publik. Bahwa posisi perempuan setara dengan laki-laki.
Pengalaman Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta dalam mengampanyekan dan membangun “16 Minggu Gerakan Zakat Nasional (16MGZN); Mulai dari Muzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”, mendapatkan dukungan signifikan dari laki-laki. Mereka layak menyandang gelar “HeForShe” karena mendukung perempuan.
Walaupun ada juga fatwa yang dibahas oleh laki-laki, tidak berbasis pengalaman dan suara korban, maka fatwa itu justru merugikan perempuan. Misalnya fatwa “makrumah” sunat perempuan.
Fatwa Zakat bagi Korban
PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta sedang berikhtiar, berijtihad agar dana zakat dapat dialokasikan untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama korban kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual), KDRT, dan incest. Alasannya, pertama, akibat menjadi korban, perempuan dan anak menempati empat golongan (asnaf) yakni fakir, miskin, riqab, dan fi sabilillah dari delapan golongan mustahik/penerima zakat sebagaimana QS At-Taubah: 60.
Kedua, mendobrak kebekuan fikih yang tidak/belum memasukkan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebagai golongan (asnaf) yang berhak atas zakat. Fikih sejatinya berevolusi pada perkembangan zaman, menjawab persoalan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi korban. Dengan mengecualikan korban dari asnaf, maka secara tidak langsung fikih tidak berpihak pada korban.
Ketiga, dengan memasukkan mereka (para korban) dalam golongan penerima zakat, maka secara otomatis menghapuskan stigma negatif korban sebagai perempuan penggoda yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual itu. Sehingga, fikih memanusiakan para korban, adanya pengakuan bahwa korban manusia terhormat, dan menyejajarkan para korban dengan golongan musthadafin (orang yang lemah dan dilemahkan).
Zakat bagi korban sebagai akses emergency. Korban selama ini masih minim dukungan: BPJS Kesehatan mengecualikan korban dan tidak berhak atas layanan kesehatan karena dianggap bukan penyakit, visum at repertum yang masih berbayar, serta proses restitusi yang panjang dan harus melalui putusan pengadilan.
Padahal, korban mengalami tekanan dan intimidasi akibat perkosaan yang dialaminya. Misalnya perkosaan berkelompok di salah satu kementerian/lembaga, korban di(ter)paksa keluar dari pekerjaannya dan menciptakan kemiskinan bagi perempuan.
Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (w.1873), seorang ulama/cendekiawan, asal Mesir, tercatat sebagai orang (laki-laki) yang pertama kali mengangkat isu perempuan dalam perumusan fatwa keagamaan ataupun kebijakan publik. Bahwa posisi perempuan setara dengan laki-laki.
Pengalaman Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta dalam mengampanyekan dan membangun “16 Minggu Gerakan Zakat Nasional (16MGZN); Mulai dari Muzaki Perempuan untuk Mustahik Perempuan Korban”, mendapatkan dukungan signifikan dari laki-laki. Mereka layak menyandang gelar “HeForShe” karena mendukung perempuan.
Walaupun ada juga fatwa yang dibahas oleh laki-laki, tidak berbasis pengalaman dan suara korban, maka fatwa itu justru merugikan perempuan. Misalnya fatwa “makrumah” sunat perempuan.
Fatwa Zakat bagi Korban
PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta sedang berikhtiar, berijtihad agar dana zakat dapat dialokasikan untuk korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama korban kekerasan seksual (perkosaan, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual), KDRT, dan incest. Alasannya, pertama, akibat menjadi korban, perempuan dan anak menempati empat golongan (asnaf) yakni fakir, miskin, riqab, dan fi sabilillah dari delapan golongan mustahik/penerima zakat sebagaimana QS At-Taubah: 60.
Kedua, mendobrak kebekuan fikih yang tidak/belum memasukkan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, sebagai golongan (asnaf) yang berhak atas zakat. Fikih sejatinya berevolusi pada perkembangan zaman, menjawab persoalan masyarakat, dan memberikan perlindungan bagi korban. Dengan mengecualikan korban dari asnaf, maka secara tidak langsung fikih tidak berpihak pada korban.
Ketiga, dengan memasukkan mereka (para korban) dalam golongan penerima zakat, maka secara otomatis menghapuskan stigma negatif korban sebagai perempuan penggoda yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual itu. Sehingga, fikih memanusiakan para korban, adanya pengakuan bahwa korban manusia terhormat, dan menyejajarkan para korban dengan golongan musthadafin (orang yang lemah dan dilemahkan).
Zakat bagi korban sebagai akses emergency. Korban selama ini masih minim dukungan: BPJS Kesehatan mengecualikan korban dan tidak berhak atas layanan kesehatan karena dianggap bukan penyakit, visum at repertum yang masih berbayar, serta proses restitusi yang panjang dan harus melalui putusan pengadilan.
Padahal, korban mengalami tekanan dan intimidasi akibat perkosaan yang dialaminya. Misalnya perkosaan berkelompok di salah satu kementerian/lembaga, korban di(ter)paksa keluar dari pekerjaannya dan menciptakan kemiskinan bagi perempuan.
tulis komentar anda