Betulkah Fatwa Tidak Mengikat?
loading...
A
A
A
Anis Masykhur
Doktor Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen Fak. Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENERBITAN Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Pejuang Palestina menuai kontroversi di masyarakat. Point No 3 yang menyatakan bahwa "Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram," dipahami secara beragam.
baca juga: Fatwa MUI tentang Boikot Produk Israel, Ini Tanggapan Buya Yahya
Namun demikian, penjelasan lisan pertama kali yang menyebutkan bahwa membeli produk yang berafiliasi dengan pendukung Israel berarti mendukung secara tidak langsung memiliki dampak yang serius.
Fatwa tersebut memancing polemik tajam di masyarakat, karena jika dijabarkan lebih detail, sebagian besar barang di sekitar masyarakat Indonesia adalah jelas-jelas berafiliasi. Ada yang mencoba "lari" dari fatwa tersebut dengan mengatakan bahwa fatwa itu bersifat tidak mengikat, boleh ditaati dan boleh pula tidak dilaksanakan.
Tulisan ini tidak bermaksud mempertajam perdebatan antara boleh tidaknya membeli produk yang berafiliasi, namun lebih pada pemosisian fatwa dalam hukum Islam. Penerbitan fatwa dari seorang atau kelompok ulama mujtahid harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena ia akan menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan ibadah seorang muslim.
Maka dikatakan jika seorang ulama “boros” dalam berfatwa, sekaligus menunjukkan kecerobohan dan kebodohan. Dalam sejarah produksi hukum Islam, pendapat para mujtahid selalu diawali dari sebuah fatwa dan kemudian dikompilasi para muridnya dan kemudian menjadi "ketetapan hukum" yang selanjutnya dijadikan landasan (jurisprudence) dalam pelaksanaan ibadah.
baca juga: MUI Keluarkan Fatwa Baru: Hukumnya Haram Dukung Agresi Israel ke Palestina
Sebagai contoh para ulama memfatwakan kewajiban melaksanakan salat dengan menggali dari beberapa perintah Allah SWT dalam Al-Quran (di antaranya) QS 2: 43, "Dan dirikanlah salat, dan keluarkanlah zakat, dan tunduklah ruku’ bersama orang-orang yang ruku."
Ulama mujtahid lalu mengeluarkan kaidah "al-ashlu fi al-mri lil wujub", yang artinya pada hakikatnya perintah itu menunjukkan kewajiban. Itulah yang mendasari fatwa kewajiban salat. Lalu, umat belakangan memahami salat menjadi ibadah wajib, karena fatwa yang merupakan produk ijtihad para ulama.
Doktor Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen Fak. Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENERBITAN Fatwa MUI No. 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Pejuang Palestina menuai kontroversi di masyarakat. Point No 3 yang menyatakan bahwa "Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram," dipahami secara beragam.
baca juga: Fatwa MUI tentang Boikot Produk Israel, Ini Tanggapan Buya Yahya
Namun demikian, penjelasan lisan pertama kali yang menyebutkan bahwa membeli produk yang berafiliasi dengan pendukung Israel berarti mendukung secara tidak langsung memiliki dampak yang serius.
Fatwa tersebut memancing polemik tajam di masyarakat, karena jika dijabarkan lebih detail, sebagian besar barang di sekitar masyarakat Indonesia adalah jelas-jelas berafiliasi. Ada yang mencoba "lari" dari fatwa tersebut dengan mengatakan bahwa fatwa itu bersifat tidak mengikat, boleh ditaati dan boleh pula tidak dilaksanakan.
Tulisan ini tidak bermaksud mempertajam perdebatan antara boleh tidaknya membeli produk yang berafiliasi, namun lebih pada pemosisian fatwa dalam hukum Islam. Penerbitan fatwa dari seorang atau kelompok ulama mujtahid harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena ia akan menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan ibadah seorang muslim.
Maka dikatakan jika seorang ulama “boros” dalam berfatwa, sekaligus menunjukkan kecerobohan dan kebodohan. Dalam sejarah produksi hukum Islam, pendapat para mujtahid selalu diawali dari sebuah fatwa dan kemudian dikompilasi para muridnya dan kemudian menjadi "ketetapan hukum" yang selanjutnya dijadikan landasan (jurisprudence) dalam pelaksanaan ibadah.
baca juga: MUI Keluarkan Fatwa Baru: Hukumnya Haram Dukung Agresi Israel ke Palestina
Sebagai contoh para ulama memfatwakan kewajiban melaksanakan salat dengan menggali dari beberapa perintah Allah SWT dalam Al-Quran (di antaranya) QS 2: 43, "Dan dirikanlah salat, dan keluarkanlah zakat, dan tunduklah ruku’ bersama orang-orang yang ruku."
Ulama mujtahid lalu mengeluarkan kaidah "al-ashlu fi al-mri lil wujub", yang artinya pada hakikatnya perintah itu menunjukkan kewajiban. Itulah yang mendasari fatwa kewajiban salat. Lalu, umat belakangan memahami salat menjadi ibadah wajib, karena fatwa yang merupakan produk ijtihad para ulama.