Keadilan Restoratif Satu Catatan dan Dukungan

Senin, 16 Mei 2022 - 13:15 WIB
Maqdir Ismail, Akademisi, Advokat, dan Praktisi Hukum. Foto/Dok/SINDOnews
Maqdir Ismail

Akademisi, Advokat, dan Praktisi Hukum

PENEGAKHukum, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, telah berupaya keras untuk dapat menyelesaian masalah pidana yang tidak harus diakhiri melalui persidangan pidana yang rumit dan berbelit, tetapi melalui penyelesaian yang disebut sebagai restorative justice.

Restorative justice pada dasarnya bukanlah hukum baru. Bukan hukum yang baru diciptakan, karena sebenarnya penyelesaian masalah hukum dengan menerapkan proses restorative justice sejak zaman kuno justru dilakukan.

Proses ini berubah secara langgeng dengan cara yang berbeda di masing-masing negara yang menerapkannya. Sama halnya dengan perubahan dari penerapan hukum pidana.



Pengaturan Restorative Justice dalam Hukum

Kalau dicermati secara baik, hukum pidana pada Perjanjian Lama menekankan bahwa korban harus dibayar dengan restitusi. Hal sama kalau menyangkut property harus dibayar dengan restitusi menurut kode dari Hammurabi.

Kode Ur-Nammu juga mewajibkan adanya pembayaran dengan restitusi termasuk terhadap kejahatan kekerasan. Kode Lipit Ishtar menuntut ganti rugi atas satu kejahatan. Dalam hukum Yunani Kuno juga mengacu pada praktik pembayaran kompensasi. Bahkan dalam hukum Romawi kuno menurut hukum 12 (dua belas) meja mensyaratkan kompensasi bagi korban.

Di Inggris hukum tertulis paling awal dapat ditelusuri dari Hukum Aethelbert of Kent (570), di mana hukuman diberikan secara bervariasi menurut klas, dan tetap saja hukumannya adalah denda.

Dari catatan sejarah kita bisa membaca bahwa balas dendam adalah merupakan komponen utama dari system peradilan pidana. Hal yang paling jelas adalah adanya hukuman mati terhadap perkara pembunuhan.

Hukuman yang masih banyak dipertahankan oleh banyak negara. Inilah yang dikenal dengan makna “lex talionis” (“an eye for an eye, a tooth for a tooth”). Keberadaan hukuman yang keras ini dapat kita ikuti sejak abad 13 an.

Sistem peradilan pidana pada dasarnya adalah upaya negara untuk menegakkan hukum, memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang yang dianggap melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan kemudian menjatuhkan hukuman berupa pidana badan atau denda.

Dengan kata lain, respon lembaga peradilan terhadap perbuatan yang diklasifikasikan sebagi kejahatan lebih banyak untuk melakukan pencegahan, penangkalan, penghukuman dan termasuk retribusi untuk keselamatan masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.

Hal ini dikemukan demikian, karena adanya kepercayaan bahwa fungsi pemidanaan adalah membangun atau memelihara kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas hukum untuk memenuhi berbagai fungsinya.

Hukum pidana ditegakkan sebagai bentuk pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan dalam praktik tidak jarang pembalasannya diangap berlebihan, bahkan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri karena dianggap bukan untuk menegakkan keadilan.

Bahkan ada anggapan bahwa system peradilan pidana kita berbelit-belit dan tidak dilakukan dengan cara yang sederhana yang mengedepankan keadilan.

Gagasan untuk ‘menghentikan” penegakan hukum pidana dengan cara yang keras dan dianggap sebagai bentuk pembalasan ini dikedepankan oleh banyak pemikir hampir seperti koor, dan salah satu ide dan pemikiran itu adalah restorative justice, di mana setiap kejahatan harus ada pemulihan dengan menghindari hukuman.

Adalah Albert Eglash dalam beberapa artikelnya di tahun 1958 mulai menyuarakan gagasannya tentang keadilan restorative yang dia kaitkan dengan restitusi.

Dari artikel dan hasil research yang ditulis, ia menyimpulkan bahwa ada tiga jenis peradilan pidana: (1) keadilan retributif, berdasarkan hukuman; (2) keadilan distributif, berfokus pada menghukum pelaku dan mengabaikan korban; dan (3) keadilan restoratif, berfokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan.

Meskipun Albert Eglash dianobatkan sebagai salah seorang pelopor yang mulai mengobarkan ide adanya restorative justice, akan tetapi Howard Zher yang dianggap sebagai “datuk” dari restorative justice, karena dia adalah orang yang mampu memberikan artikulasi yang tepat tentang keadilan restorative. Hal ini dapat dilihat dari bukunya yang cukup banyak dijadikan sebagai sumber (Changing Lenses 1990).

Dalam pandangan Zehr sistem peradilan konvensional telah gagal menangani kejahatan karena masih mempertahankan pendapat keadilan 'retributif' yang memandang kejahatan sebagai perilaku yang melanggar hukum pidana.

Bahkan dia katakan bahwa proses peradilan pidana sering kali tidak terasa seperti keadilan (Howard Zher, 1990:203). Pandangan ini mengecilkan hati pelaku dari memahami dampak kejahatan mereka pada korban.

Oleh karena itu, ia berpendapat perlunya beralih dari lensa 'retributif' ke lensa 'restoratif', yang mengkonseptualisasikan kembali kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Dalam pandangan Zehr, ada tiga langkah yang harus dilakukan berkenaan dengan keadilam restorative, pertama adalah memenuhi kebutuhan mendesak, kebutuhan korban, kemudian harus berusaha mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban yang lebih besar.

Dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban ini, proses harus menempatkan kekuasaan dan tanggung jawab di tangan mereka yang terlibat langsung yaitu korban dan pelaku. Pada saat ini ruang untuk keterlibatan masyarakat harus dibuka secara lebar.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More