Keadilan Restoratif Satu Catatan dan Dukungan
Senin, 16 Mei 2022 - 13:15 WIB
Dari catatan sejarah kita bisa membaca bahwa balas dendam adalah merupakan komponen utama dari system peradilan pidana. Hal yang paling jelas adalah adanya hukuman mati terhadap perkara pembunuhan.
Hukuman yang masih banyak dipertahankan oleh banyak negara. Inilah yang dikenal dengan makna “lex talionis” (“an eye for an eye, a tooth for a tooth”). Keberadaan hukuman yang keras ini dapat kita ikuti sejak abad 13 an.
Sistem peradilan pidana pada dasarnya adalah upaya negara untuk menegakkan hukum, memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang yang dianggap melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan kemudian menjatuhkan hukuman berupa pidana badan atau denda.
Dengan kata lain, respon lembaga peradilan terhadap perbuatan yang diklasifikasikan sebagi kejahatan lebih banyak untuk melakukan pencegahan, penangkalan, penghukuman dan termasuk retribusi untuk keselamatan masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Hal ini dikemukan demikian, karena adanya kepercayaan bahwa fungsi pemidanaan adalah membangun atau memelihara kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas hukum untuk memenuhi berbagai fungsinya.
Hukum pidana ditegakkan sebagai bentuk pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan dalam praktik tidak jarang pembalasannya diangap berlebihan, bahkan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri karena dianggap bukan untuk menegakkan keadilan.
Bahkan ada anggapan bahwa system peradilan pidana kita berbelit-belit dan tidak dilakukan dengan cara yang sederhana yang mengedepankan keadilan.
Gagasan untuk ‘menghentikan” penegakan hukum pidana dengan cara yang keras dan dianggap sebagai bentuk pembalasan ini dikedepankan oleh banyak pemikir hampir seperti koor, dan salah satu ide dan pemikiran itu adalah restorative justice, di mana setiap kejahatan harus ada pemulihan dengan menghindari hukuman.
Adalah Albert Eglash dalam beberapa artikelnya di tahun 1958 mulai menyuarakan gagasannya tentang keadilan restorative yang dia kaitkan dengan restitusi.
Dari artikel dan hasil research yang ditulis, ia menyimpulkan bahwa ada tiga jenis peradilan pidana: (1) keadilan retributif, berdasarkan hukuman; (2) keadilan distributif, berfokus pada menghukum pelaku dan mengabaikan korban; dan (3) keadilan restoratif, berfokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan.
Hukuman yang masih banyak dipertahankan oleh banyak negara. Inilah yang dikenal dengan makna “lex talionis” (“an eye for an eye, a tooth for a tooth”). Keberadaan hukuman yang keras ini dapat kita ikuti sejak abad 13 an.
Sistem peradilan pidana pada dasarnya adalah upaya negara untuk menegakkan hukum, memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang yang dianggap melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan kemudian menjatuhkan hukuman berupa pidana badan atau denda.
Dengan kata lain, respon lembaga peradilan terhadap perbuatan yang diklasifikasikan sebagi kejahatan lebih banyak untuk melakukan pencegahan, penangkalan, penghukuman dan termasuk retribusi untuk keselamatan masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Hal ini dikemukan demikian, karena adanya kepercayaan bahwa fungsi pemidanaan adalah membangun atau memelihara kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas hukum untuk memenuhi berbagai fungsinya.
Hukum pidana ditegakkan sebagai bentuk pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan dalam praktik tidak jarang pembalasannya diangap berlebihan, bahkan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri karena dianggap bukan untuk menegakkan keadilan.
Bahkan ada anggapan bahwa system peradilan pidana kita berbelit-belit dan tidak dilakukan dengan cara yang sederhana yang mengedepankan keadilan.
Gagasan untuk ‘menghentikan” penegakan hukum pidana dengan cara yang keras dan dianggap sebagai bentuk pembalasan ini dikedepankan oleh banyak pemikir hampir seperti koor, dan salah satu ide dan pemikiran itu adalah restorative justice, di mana setiap kejahatan harus ada pemulihan dengan menghindari hukuman.
Adalah Albert Eglash dalam beberapa artikelnya di tahun 1958 mulai menyuarakan gagasannya tentang keadilan restorative yang dia kaitkan dengan restitusi.
Dari artikel dan hasil research yang ditulis, ia menyimpulkan bahwa ada tiga jenis peradilan pidana: (1) keadilan retributif, berdasarkan hukuman; (2) keadilan distributif, berfokus pada menghukum pelaku dan mengabaikan korban; dan (3) keadilan restoratif, berfokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan.
tulis komentar anda