Keadilan Restoratif Satu Catatan dan Dukungan
loading...
A
A
A
Maqdir Ismail
Akademisi, Advokat, dan Praktisi Hukum
PENEGAKHukum, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, telah berupaya keras untuk dapat menyelesaian masalah pidana yang tidak harus diakhiri melalui persidangan pidana yang rumit dan berbelit, tetapi melalui penyelesaian yang disebut sebagai restorative justice.
Restorative justice pada dasarnya bukanlah hukum baru. Bukan hukum yang baru diciptakan, karena sebenarnya penyelesaian masalah hukum dengan menerapkan proses restorative justice sejak zaman kuno justru dilakukan.
Proses ini berubah secara langgeng dengan cara yang berbeda di masing-masing negara yang menerapkannya. Sama halnya dengan perubahan dari penerapan hukum pidana.
Pengaturan Restorative Justice dalam Hukum
Kalau dicermati secara baik, hukum pidana pada Perjanjian Lama menekankan bahwa korban harus dibayar dengan restitusi. Hal sama kalau menyangkut property harus dibayar dengan restitusi menurut kode dari Hammurabi.
Kode Ur-Nammu juga mewajibkan adanya pembayaran dengan restitusi termasuk terhadap kejahatan kekerasan. Kode Lipit Ishtar menuntut ganti rugi atas satu kejahatan. Dalam hukum Yunani Kuno juga mengacu pada praktik pembayaran kompensasi. Bahkan dalam hukum Romawi kuno menurut hukum 12 (dua belas) meja mensyaratkan kompensasi bagi korban.
Di Inggris hukum tertulis paling awal dapat ditelusuri dari Hukum Aethelbert of Kent (570), di mana hukuman diberikan secara bervariasi menurut klas, dan tetap saja hukumannya adalah denda.
Dari catatan sejarah kita bisa membaca bahwa balas dendam adalah merupakan komponen utama dari system peradilan pidana. Hal yang paling jelas adalah adanya hukuman mati terhadap perkara pembunuhan.
Hukuman yang masih banyak dipertahankan oleh banyak negara. Inilah yang dikenal dengan makna “lex talionis” (“an eye for an eye, a tooth for a tooth”). Keberadaan hukuman yang keras ini dapat kita ikuti sejak abad 13 an.
Sistem peradilan pidana pada dasarnya adalah upaya negara untuk menegakkan hukum, memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang yang dianggap melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan kemudian menjatuhkan hukuman berupa pidana badan atau denda.
Dengan kata lain, respon lembaga peradilan terhadap perbuatan yang diklasifikasikan sebagi kejahatan lebih banyak untuk melakukan pencegahan, penangkalan, penghukuman dan termasuk retribusi untuk keselamatan masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Hal ini dikemukan demikian, karena adanya kepercayaan bahwa fungsi pemidanaan adalah membangun atau memelihara kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas hukum untuk memenuhi berbagai fungsinya.
Hukum pidana ditegakkan sebagai bentuk pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan dalam praktik tidak jarang pembalasannya diangap berlebihan, bahkan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri karena dianggap bukan untuk menegakkan keadilan.
Bahkan ada anggapan bahwa system peradilan pidana kita berbelit-belit dan tidak dilakukan dengan cara yang sederhana yang mengedepankan keadilan.
Gagasan untuk ‘menghentikan” penegakan hukum pidana dengan cara yang keras dan dianggap sebagai bentuk pembalasan ini dikedepankan oleh banyak pemikir hampir seperti koor, dan salah satu ide dan pemikiran itu adalah restorative justice, di mana setiap kejahatan harus ada pemulihan dengan menghindari hukuman.
Adalah Albert Eglash dalam beberapa artikelnya di tahun 1958 mulai menyuarakan gagasannya tentang keadilan restorative yang dia kaitkan dengan restitusi.
Dari artikel dan hasil research yang ditulis, ia menyimpulkan bahwa ada tiga jenis peradilan pidana: (1) keadilan retributif, berdasarkan hukuman; (2) keadilan distributif, berfokus pada menghukum pelaku dan mengabaikan korban; dan (3) keadilan restoratif, berfokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan.
Meskipun Albert Eglash dianobatkan sebagai salah seorang pelopor yang mulai mengobarkan ide adanya restorative justice, akan tetapi Howard Zher yang dianggap sebagai “datuk” dari restorative justice, karena dia adalah orang yang mampu memberikan artikulasi yang tepat tentang keadilan restorative. Hal ini dapat dilihat dari bukunya yang cukup banyak dijadikan sebagai sumber (Changing Lenses 1990).
Dalam pandangan Zehr sistem peradilan konvensional telah gagal menangani kejahatan karena masih mempertahankan pendapat keadilan 'retributif' yang memandang kejahatan sebagai perilaku yang melanggar hukum pidana.
Bahkan dia katakan bahwa proses peradilan pidana sering kali tidak terasa seperti keadilan (Howard Zher, 1990:203). Pandangan ini mengecilkan hati pelaku dari memahami dampak kejahatan mereka pada korban.
Oleh karena itu, ia berpendapat perlunya beralih dari lensa 'retributif' ke lensa 'restoratif', yang mengkonseptualisasikan kembali kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dalam pandangan Zehr, ada tiga langkah yang harus dilakukan berkenaan dengan keadilam restorative, pertama adalah memenuhi kebutuhan mendesak, kebutuhan korban, kemudian harus berusaha mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban yang lebih besar.
Dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban ini, proses harus menempatkan kekuasaan dan tanggung jawab di tangan mereka yang terlibat langsung yaitu korban dan pelaku. Pada saat ini ruang untuk keterlibatan masyarakat harus dibuka secara lebar.
Kedua, hubungan korban-pelaku harus ditangani dengan memfasilitasi interaksi dan pertukaran informasi tentang peristiwa, tentang satu sama lain, dan tentang kebutuhan masing-masing. Ketiga, harus fokus pada pemecahan masalah, menangani tidak hanya kebutuhan saat ini tetapi niat masa depan.
Restorative Justice dalam Hukum Indonesia
Sampai sekarang belum ada ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagai dasar hukum untuk menerapkan keadilan restorative. Mekipun Kepolisian telah memulainya sejak 2018, ketika dikeluarkan Surat Edaran Nomor:SE/8/VII/2018 dan kemudian disusul dengan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Pedoman Penerapan Restorative justice dilingkungan Peradilan Umum, kemudian disusul dengan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Realisasi dari pelaksanaan restorative justice tersebut, menurut keterangan Kapolri ada 11811 perkara yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahun 2021, sedangkan Kejaksaan Agung sampai dengan tanggal 27 Oktober 2021 telah menghentikan sebanyak 314 perkara melalui mekanisme restorative justice.
Meskipun sudah cukup banyak kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice oleh Kepolisian atau oleh Kejaksaan, namun kasus atau perkara yang dapat diselesaikan melalui cara restorative justice sangat dibatasi.
Pembatasan perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice misalnya dalam lampiran Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda Rp.2,500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sedangkan dalam Peraturan Kejaksaan pembatasannya dengan ancaman pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua jura lima ratus ribu rupiah).
Yang lebih maju dalam persyaratan penyelesaian perkara melaui proses restorative justice adalah berdasarkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Di mana disayaratkan tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme dan bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan.
Dengan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia seperti tersebut di atas, inilah problem utama dalam melaksanakan restorative justice, seolah-olah masing-masing lembaga penegak hukum mempunyai kewenangan sendiri sesuai dengan tingkat dari proses penyelesaian perkara dalam membuat aturan.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah pembatasan nilai perkara yang dapat diselesaikan melalui proses restorative justice. Sepatutnya tidak perlu ada pembatasan dengan nilai atau ancaman hukuman, sepanjang para pihak yaitu korban dan pelaku berkehendak menyelesaikan masalah hukum mereka dengan proses restorative justice.
Untuk perkara berat seperti pembunuhannya misalnya, bisa diambil sebagai contoh dari hukum Islam, Ketika keluarga memaafkan, baik karena ada pembayaran atau tidak ada pembayaran patut dipertimbangkan untuk masuk bagian perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice.
Begitu juga halnya terhadap perbuatan pidana yang terakit kerugian keuangan negara, sudah sepatutnya dapat diselesaikan melalui restorative justice dan kepada pelaku perbuatan pidana dapat diberi tambahan kewajiban menjadi pekerja sosial.
Dari kepustakaan paling kurang ada 4 (empat) masalah yang selalu dihadapi terkait dengan penyelesaian perkara melalui restorative justice (William R. Wood; Masahiro Suzuki:2016).
Pertama, restorative terus berkembang dan diterapkan pada semakin banyak program yang sudah ada dan inovatif baru, karena tidak lagi berfokus pada pertemuan antara korban, pelaku dan pihak lain.
Kedua, masalah kelembagaan, karena meskipun pelembagaan dapat mengarah pada "pertumbuhan" undang-undang dan program restorative justice, akan tetapi tidak serta merta diterjemahkan ke dalam pengembangan dan implementasi praktik yang lebih baik.
Ketiga, masalah perpindahan dari bentuk formal kebentuk informal, di mana “pertumbuhan” restorative justice berakibat munculnya program atau praktik baru sebagai pengganti sanksi formal atau informal lainnya, dan bisa menimbulkan anggapan ada intervensi terhadap sistem peradilan pidana yang sudah ada.
Keempat, adalah masalah relevansi, restorative justice lebih berfokus pada pelanggaran klas bahwa sebagai “ghettoization of restorative justice”, sehingga dipersoalkan apakah ia dapat bergerak melampaui “hukuman alternatif” untuk pelanggaran yang lebih kecil.
Tetapi, dalam kaitannya dengan banyak keberpihakan terhadap masalah keadilan sosial – keberpihakan yang umumnya memudar seiring waktu sebagai Restorative Justice telah menjadi lebih mapan dalam sistem peradilan pidana.
Sebab, restorative justice dilihat oleh banyak orang sebagai sarana yang menjanjikan untuk mengatasi tidak hanya masalah pengucilan korban dan akuntabilitas pelaku, tetapi juga masalah sosial karena mereka bersinggungan dengan peradilan pidana.
Penutup
Terlepas dari masalah yang dihadapi dalam praktik penyelasaian perkara melalui restorative justice, upaya dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahakmah Agung yang memulai menerapkan hukuman berdasarkan proses restorative justice perlu didukung secara baik.
Penyelesian proses sampai adanya hukuman dengan cara ini bukan hanya mempersingkat penyelesaian masalah hukum, tetapi juga tidak menjadikan pelaku dan korban secara berhadap-hadapan sebagai musuh.
Penyelesain masalah hukum melalui proses restorative justice ini dapat diapastikan akan mengurangi penggunaan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang sudah melebihi kapsitas.
Namun pada saat yang sama, agar ada kesamaan dalam pelaksanaan hukuman berdasarakan proses restorative justice, salah satu yang patut ditiru adalah Prancis yang sudah memasukkan proses hukum melalui restorative justice dalam Hukum Acara Pidana. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan Perppu sambil menunggu KUHAP yang baru.
Lihat Juga: LBH Gema Keadilan Diluncurkan, Hadirkan Keadilan untuk Semua dengan Semangat Hari Pahlawan
Akademisi, Advokat, dan Praktisi Hukum
PENEGAKHukum, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung, telah berupaya keras untuk dapat menyelesaian masalah pidana yang tidak harus diakhiri melalui persidangan pidana yang rumit dan berbelit, tetapi melalui penyelesaian yang disebut sebagai restorative justice.
Restorative justice pada dasarnya bukanlah hukum baru. Bukan hukum yang baru diciptakan, karena sebenarnya penyelesaian masalah hukum dengan menerapkan proses restorative justice sejak zaman kuno justru dilakukan.
Proses ini berubah secara langgeng dengan cara yang berbeda di masing-masing negara yang menerapkannya. Sama halnya dengan perubahan dari penerapan hukum pidana.
Pengaturan Restorative Justice dalam Hukum
Kalau dicermati secara baik, hukum pidana pada Perjanjian Lama menekankan bahwa korban harus dibayar dengan restitusi. Hal sama kalau menyangkut property harus dibayar dengan restitusi menurut kode dari Hammurabi.
Kode Ur-Nammu juga mewajibkan adanya pembayaran dengan restitusi termasuk terhadap kejahatan kekerasan. Kode Lipit Ishtar menuntut ganti rugi atas satu kejahatan. Dalam hukum Yunani Kuno juga mengacu pada praktik pembayaran kompensasi. Bahkan dalam hukum Romawi kuno menurut hukum 12 (dua belas) meja mensyaratkan kompensasi bagi korban.
Di Inggris hukum tertulis paling awal dapat ditelusuri dari Hukum Aethelbert of Kent (570), di mana hukuman diberikan secara bervariasi menurut klas, dan tetap saja hukumannya adalah denda.
Dari catatan sejarah kita bisa membaca bahwa balas dendam adalah merupakan komponen utama dari system peradilan pidana. Hal yang paling jelas adalah adanya hukuman mati terhadap perkara pembunuhan.
Hukuman yang masih banyak dipertahankan oleh banyak negara. Inilah yang dikenal dengan makna “lex talionis” (“an eye for an eye, a tooth for a tooth”). Keberadaan hukuman yang keras ini dapat kita ikuti sejak abad 13 an.
Sistem peradilan pidana pada dasarnya adalah upaya negara untuk menegakkan hukum, memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang yang dianggap melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan kemudian menjatuhkan hukuman berupa pidana badan atau denda.
Dengan kata lain, respon lembaga peradilan terhadap perbuatan yang diklasifikasikan sebagi kejahatan lebih banyak untuk melakukan pencegahan, penangkalan, penghukuman dan termasuk retribusi untuk keselamatan masyarakat atas perbuatan pidana yang dilakukan seseorang.
Hal ini dikemukan demikian, karena adanya kepercayaan bahwa fungsi pemidanaan adalah membangun atau memelihara kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas hukum untuk memenuhi berbagai fungsinya.
Hukum pidana ditegakkan sebagai bentuk pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dan dalam praktik tidak jarang pembalasannya diangap berlebihan, bahkan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri karena dianggap bukan untuk menegakkan keadilan.
Bahkan ada anggapan bahwa system peradilan pidana kita berbelit-belit dan tidak dilakukan dengan cara yang sederhana yang mengedepankan keadilan.
Gagasan untuk ‘menghentikan” penegakan hukum pidana dengan cara yang keras dan dianggap sebagai bentuk pembalasan ini dikedepankan oleh banyak pemikir hampir seperti koor, dan salah satu ide dan pemikiran itu adalah restorative justice, di mana setiap kejahatan harus ada pemulihan dengan menghindari hukuman.
Adalah Albert Eglash dalam beberapa artikelnya di tahun 1958 mulai menyuarakan gagasannya tentang keadilan restorative yang dia kaitkan dengan restitusi.
Dari artikel dan hasil research yang ditulis, ia menyimpulkan bahwa ada tiga jenis peradilan pidana: (1) keadilan retributif, berdasarkan hukuman; (2) keadilan distributif, berfokus pada menghukum pelaku dan mengabaikan korban; dan (3) keadilan restoratif, berfokus pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh kejahatan.
Meskipun Albert Eglash dianobatkan sebagai salah seorang pelopor yang mulai mengobarkan ide adanya restorative justice, akan tetapi Howard Zher yang dianggap sebagai “datuk” dari restorative justice, karena dia adalah orang yang mampu memberikan artikulasi yang tepat tentang keadilan restorative. Hal ini dapat dilihat dari bukunya yang cukup banyak dijadikan sebagai sumber (Changing Lenses 1990).
Dalam pandangan Zehr sistem peradilan konvensional telah gagal menangani kejahatan karena masih mempertahankan pendapat keadilan 'retributif' yang memandang kejahatan sebagai perilaku yang melanggar hukum pidana.
Bahkan dia katakan bahwa proses peradilan pidana sering kali tidak terasa seperti keadilan (Howard Zher, 1990:203). Pandangan ini mengecilkan hati pelaku dari memahami dampak kejahatan mereka pada korban.
Oleh karena itu, ia berpendapat perlunya beralih dari lensa 'retributif' ke lensa 'restoratif', yang mengkonseptualisasikan kembali kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dalam pandangan Zehr, ada tiga langkah yang harus dilakukan berkenaan dengan keadilam restorative, pertama adalah memenuhi kebutuhan mendesak, kebutuhan korban, kemudian harus berusaha mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban yang lebih besar.
Dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban ini, proses harus menempatkan kekuasaan dan tanggung jawab di tangan mereka yang terlibat langsung yaitu korban dan pelaku. Pada saat ini ruang untuk keterlibatan masyarakat harus dibuka secara lebar.
Kedua, hubungan korban-pelaku harus ditangani dengan memfasilitasi interaksi dan pertukaran informasi tentang peristiwa, tentang satu sama lain, dan tentang kebutuhan masing-masing. Ketiga, harus fokus pada pemecahan masalah, menangani tidak hanya kebutuhan saat ini tetapi niat masa depan.
Restorative Justice dalam Hukum Indonesia
Sampai sekarang belum ada ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagai dasar hukum untuk menerapkan keadilan restorative. Mekipun Kepolisian telah memulainya sejak 2018, ketika dikeluarkan Surat Edaran Nomor:SE/8/VII/2018 dan kemudian disusul dengan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Pedoman Penerapan Restorative justice dilingkungan Peradilan Umum, kemudian disusul dengan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Realisasi dari pelaksanaan restorative justice tersebut, menurut keterangan Kapolri ada 11811 perkara yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahun 2021, sedangkan Kejaksaan Agung sampai dengan tanggal 27 Oktober 2021 telah menghentikan sebanyak 314 perkara melalui mekanisme restorative justice.
Meskipun sudah cukup banyak kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice oleh Kepolisian atau oleh Kejaksaan, namun kasus atau perkara yang dapat diselesaikan melalui cara restorative justice sangat dibatasi.
Pembatasan perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice misalnya dalam lampiran Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda Rp.2,500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sedangkan dalam Peraturan Kejaksaan pembatasannya dengan ancaman pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua jura lima ratus ribu rupiah).
Yang lebih maju dalam persyaratan penyelesaian perkara melaui proses restorative justice adalah berdasarkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Di mana disayaratkan tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme dan bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan.
Dengan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia seperti tersebut di atas, inilah problem utama dalam melaksanakan restorative justice, seolah-olah masing-masing lembaga penegak hukum mempunyai kewenangan sendiri sesuai dengan tingkat dari proses penyelesaian perkara dalam membuat aturan.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah pembatasan nilai perkara yang dapat diselesaikan melalui proses restorative justice. Sepatutnya tidak perlu ada pembatasan dengan nilai atau ancaman hukuman, sepanjang para pihak yaitu korban dan pelaku berkehendak menyelesaikan masalah hukum mereka dengan proses restorative justice.
Untuk perkara berat seperti pembunuhannya misalnya, bisa diambil sebagai contoh dari hukum Islam, Ketika keluarga memaafkan, baik karena ada pembayaran atau tidak ada pembayaran patut dipertimbangkan untuk masuk bagian perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice.
Begitu juga halnya terhadap perbuatan pidana yang terakit kerugian keuangan negara, sudah sepatutnya dapat diselesaikan melalui restorative justice dan kepada pelaku perbuatan pidana dapat diberi tambahan kewajiban menjadi pekerja sosial.
Dari kepustakaan paling kurang ada 4 (empat) masalah yang selalu dihadapi terkait dengan penyelesaian perkara melalui restorative justice (William R. Wood; Masahiro Suzuki:2016).
Pertama, restorative terus berkembang dan diterapkan pada semakin banyak program yang sudah ada dan inovatif baru, karena tidak lagi berfokus pada pertemuan antara korban, pelaku dan pihak lain.
Kedua, masalah kelembagaan, karena meskipun pelembagaan dapat mengarah pada "pertumbuhan" undang-undang dan program restorative justice, akan tetapi tidak serta merta diterjemahkan ke dalam pengembangan dan implementasi praktik yang lebih baik.
Ketiga, masalah perpindahan dari bentuk formal kebentuk informal, di mana “pertumbuhan” restorative justice berakibat munculnya program atau praktik baru sebagai pengganti sanksi formal atau informal lainnya, dan bisa menimbulkan anggapan ada intervensi terhadap sistem peradilan pidana yang sudah ada.
Keempat, adalah masalah relevansi, restorative justice lebih berfokus pada pelanggaran klas bahwa sebagai “ghettoization of restorative justice”, sehingga dipersoalkan apakah ia dapat bergerak melampaui “hukuman alternatif” untuk pelanggaran yang lebih kecil.
Tetapi, dalam kaitannya dengan banyak keberpihakan terhadap masalah keadilan sosial – keberpihakan yang umumnya memudar seiring waktu sebagai Restorative Justice telah menjadi lebih mapan dalam sistem peradilan pidana.
Sebab, restorative justice dilihat oleh banyak orang sebagai sarana yang menjanjikan untuk mengatasi tidak hanya masalah pengucilan korban dan akuntabilitas pelaku, tetapi juga masalah sosial karena mereka bersinggungan dengan peradilan pidana.
Penutup
Terlepas dari masalah yang dihadapi dalam praktik penyelasaian perkara melalui restorative justice, upaya dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahakmah Agung yang memulai menerapkan hukuman berdasarkan proses restorative justice perlu didukung secara baik.
Penyelesian proses sampai adanya hukuman dengan cara ini bukan hanya mempersingkat penyelesaian masalah hukum, tetapi juga tidak menjadikan pelaku dan korban secara berhadap-hadapan sebagai musuh.
Penyelesain masalah hukum melalui proses restorative justice ini dapat diapastikan akan mengurangi penggunaan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang sudah melebihi kapsitas.
Namun pada saat yang sama, agar ada kesamaan dalam pelaksanaan hukuman berdasarakan proses restorative justice, salah satu yang patut ditiru adalah Prancis yang sudah memasukkan proses hukum melalui restorative justice dalam Hukum Acara Pidana. Tentu hal ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan Perppu sambil menunggu KUHAP yang baru.
Lihat Juga: LBH Gema Keadilan Diluncurkan, Hadirkan Keadilan untuk Semua dengan Semangat Hari Pahlawan
(mpw)