Keadilan Restoratif Satu Catatan dan Dukungan
Senin, 16 Mei 2022 - 13:15 WIB
Realisasi dari pelaksanaan restorative justice tersebut, menurut keterangan Kapolri ada 11811 perkara yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahun 2021, sedangkan Kejaksaan Agung sampai dengan tanggal 27 Oktober 2021 telah menghentikan sebanyak 314 perkara melalui mekanisme restorative justice.
Meskipun sudah cukup banyak kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice oleh Kepolisian atau oleh Kejaksaan, namun kasus atau perkara yang dapat diselesaikan melalui cara restorative justice sangat dibatasi.
Pembatasan perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice misalnya dalam lampiran Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda Rp.2,500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sedangkan dalam Peraturan Kejaksaan pembatasannya dengan ancaman pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua jura lima ratus ribu rupiah).
Yang lebih maju dalam persyaratan penyelesaian perkara melaui proses restorative justice adalah berdasarkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Di mana disayaratkan tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme dan bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan.
Dengan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia seperti tersebut di atas, inilah problem utama dalam melaksanakan restorative justice, seolah-olah masing-masing lembaga penegak hukum mempunyai kewenangan sendiri sesuai dengan tingkat dari proses penyelesaian perkara dalam membuat aturan.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah pembatasan nilai perkara yang dapat diselesaikan melalui proses restorative justice. Sepatutnya tidak perlu ada pembatasan dengan nilai atau ancaman hukuman, sepanjang para pihak yaitu korban dan pelaku berkehendak menyelesaikan masalah hukum mereka dengan proses restorative justice.
Untuk perkara berat seperti pembunuhannya misalnya, bisa diambil sebagai contoh dari hukum Islam, Ketika keluarga memaafkan, baik karena ada pembayaran atau tidak ada pembayaran patut dipertimbangkan untuk masuk bagian perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice.
Begitu juga halnya terhadap perbuatan pidana yang terakit kerugian keuangan negara, sudah sepatutnya dapat diselesaikan melalui restorative justice dan kepada pelaku perbuatan pidana dapat diberi tambahan kewajiban menjadi pekerja sosial.
Meskipun sudah cukup banyak kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice oleh Kepolisian atau oleh Kejaksaan, namun kasus atau perkara yang dapat diselesaikan melalui cara restorative justice sangat dibatasi.
Pembatasan perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice misalnya dalam lampiran Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda Rp.2,500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sedangkan dalam Peraturan Kejaksaan pembatasannya dengan ancaman pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun dan nilai kerugian tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua jura lima ratus ribu rupiah).
Yang lebih maju dalam persyaratan penyelesaian perkara melaui proses restorative justice adalah berdasarkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Di mana disayaratkan tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme dan bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan Putusan Pengadilan.
Dengan peraturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia seperti tersebut di atas, inilah problem utama dalam melaksanakan restorative justice, seolah-olah masing-masing lembaga penegak hukum mempunyai kewenangan sendiri sesuai dengan tingkat dari proses penyelesaian perkara dalam membuat aturan.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah pembatasan nilai perkara yang dapat diselesaikan melalui proses restorative justice. Sepatutnya tidak perlu ada pembatasan dengan nilai atau ancaman hukuman, sepanjang para pihak yaitu korban dan pelaku berkehendak menyelesaikan masalah hukum mereka dengan proses restorative justice.
Untuk perkara berat seperti pembunuhannya misalnya, bisa diambil sebagai contoh dari hukum Islam, Ketika keluarga memaafkan, baik karena ada pembayaran atau tidak ada pembayaran patut dipertimbangkan untuk masuk bagian perkara yang dapat diselesaikan melaui proses restorative justice.
Begitu juga halnya terhadap perbuatan pidana yang terakit kerugian keuangan negara, sudah sepatutnya dapat diselesaikan melalui restorative justice dan kepada pelaku perbuatan pidana dapat diberi tambahan kewajiban menjadi pekerja sosial.
tulis komentar anda