Mengimplementasikan Khittah NU Secara Murni dan Konsekuen

Jum'at, 24 Desember 2021 - 17:43 WIB
Ali Asghar M.Sos. FOTO/DOK.PRIBADI
JAKARTA - Ali Asghar M.Sos

Peneliti Puskamnas dan Dosen Ubhara Jaya Jakarta, Alumni Ponpes Al Hidayah Lasem Rembang

GUS Yahya ahirnya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026. Terpilihnya Gus Yahya diharapkan bisa mengimplementasikan Khittah NU secara murni dan konsekuen. Pasalnya, dalam Khittah Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan bagian tak terpisakan dari Anggaran Dasar NU disebutkan, "Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik."

Secara historis, khittah tersebut muncul karena adanya keinginan dari pemikir-pemikir NU sebelum muktamar NU ke-27 di Situbondo agar NU tidak menjadi partai politik (parpol) atau menjadi bagian dari parpol tertentu atau tidak ada parpol yang menjadi bagian dari NU. Namun menjelang pemilu 1999, elite NU mendirikan PKB yang diklaim sebagai bagian NU. Bahkan, menjelang Pemilu 2014, Ketua Umum PBNU, KH Said Agil Siroj, menjadi bintang iklan PKB. Fakta tersebut menunjukan NU terikat dengan organisasi politik.

Selain itu, banyak pengurus NU, baik di tingkat pusat maupun daerah (wilayah dan cabang) dan badan otonom yang menjadi kandidat dalam pemilu (legislatif, pilpres, dan pilkada). Ada yang lewat PKB dan parpol lain. Ketika pengurus NU menjadi kontestan dalam pemilu, struktur NU bergerak layaknya parpol. Jejaring NU, baik formal atau non formal, dan simbol NU yang melekat pada diri mereka (pengurus) didayagunakan untuk memobilisasi pemilih. Akibatnya, posisi NU sebelum dan sesudah kembali ke Khittah 1926 tidak berbeda secara subtansial. Di luar momentum pemilu, NU melakukan kerja–kerja sosial keagamaan dan dalam musim pemilu aktif melakukan kerja–kerja politik.



Baca juga: Breaking News: KH Yahya Cholil Staquf Terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 2021-2026



Setidaknya ada empat faktor yang membuat pengurus NU terkesan kesulitan dalam mengimplementasikan Khittah NU secara murni dan konsekuen. Pertama, adanya kelonggaran dalam konstitusi NU. AD/ART NU hanya mewajibkan Rais Aam, Wakil Rois Aam, Ketua Umum PBNU, Wakil Ketua Umum PBNU, rais dan ketua pengurus wilayah, rois dan ketua pengurus cabang mundur dari kepengurusan NU ketika mencalonkan atau dicalonkan dalam jabatan politik.

Biasanya jarak pencalonan pada jabatan politik dengan mundur dari kepengurusan NU sangat dekat. Ini membuat pengaruh mereka masih sangat kuat pada kepengurusan NU yang ditinggalkan. Sedangkan pengurus lainya tidak perlu mundur. Faktor tersebut membuat struktur NU mudah dipolitisasi untuk memobilisasi pemilih oleh pengurus NU yang punya sahwat politik tinggi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More