Mengimplementasikan Khittah NU Secara Murni dan Konsekuen
Jum'at, 24 Desember 2021 - 17:43 WIB
Kedua prestise. NU merupakan organisasi dengan jumlah anggota terbesar di Indonesia. Ini salah satu faktor yang mendorong pengurus NU berusaha agar capaian politik NU pada lembaga politik formal dapat melampaui kelompok lain yang jumlah anggotanya lebih kecil, seperti Muhammadiyah, Kristen, PA-GMNI, dan KAHMI.
Tampaknya, usaha tersebut tidak hanya dilakukan dengan terjun sendiri dalam medan politik (pemilu), tapi juga dengan merekrut pejabat publik berpengaruh masuk dalam struktur atau anggota kehormatan NU. Meskipun pejabat-pejabat tersebut tidak atau kurang memiliki hubungan historis dengan NU, seperti memberikan kartu tanda anggota NU (KARTANU) pada Setya Novanto, menjadikan Airlangga Hartarto sebagai anggota dewan pembina Serikat Nelayan NU dan Erick Thohir sebagai anggota kehormatan Banser.
Ketiga oportunity. Jika aktivis NU tidak berpolitik, maka suara warga NU dikhawatirkan akan dimanfaatkan kelompok lain. Ini menimbulkan asumsi NU akan kesulitan dalam mempengarui kebijakan dan mengakses sumberdaya negara untuk kemaslahatan warga NU.
Baca juga: Jadi Ketum PBNU, Gus Yahya Punya Agenda Menghidupkan Sosok Gus Dur
Keempat, sentimen ideologis merupakan alat tukar suara yang paling murah dan gampang (mudah) dalam pemilu dibandingankan dengan money politics dan program incumbent. Dengan ideologi, orang hanya perlu menyosialisasikan diri bahwa ia memiliki simbol ideologis yang sama dengan pemilih. Saat bersamaan, ada pemilih yang kepentinganya dalam pemilu hanya ingin mendapatkan kepuasan simbolis. Mereka puas jika orang dari golongan mereka terpilih dalam rekrutmen pada lembaga politik formal.
Menguatnya politik aliran menjelang 2019 hubungan simbiosis mutualisme antara NU dan pemerintahan Jokowi makin kuat. Itu bisa dilihat dari sering PBNU mengeluarkan penolakan dan kecaman terhadap beberapa aksi yang dimotori oleh kelompok 212 yang menyudutkan pemerintahan Jokowi. Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi tampak membalas kebaikan tersebut dengan memberikan beberapa program yang menguntungkan NU seperti kredit murah Rp1,7 triliun dari Kementerian Keuangan pada 2020. Karena tidak semua ormas mendapatkan, program seperti itu dalam literatur ilmu politik lazim disebut pork barrel projects. Program seperti ini biasanya diberikan kepada kelompok sosial yang dekat atau dianggap menguntungkan atau berjasa pada pemerintah.
Sebagai entitas terbesar, NU juga memiliki posisi strategis dari menguatnya politik aliran. Posisi strategis tersebut berhasil dimanfaatkan NU dengan menjadikan kader terbaiknya, KH Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden.
Meskipun diuntungkan dari menguatnya politik aliran, NU sebaiknya terus berupaya menerapkan Khittah NU secara murni dan konsekuen. Upaya tersebut akan berkontribusi menurunkan tensi politik aliran yang kontra produktif terhadap persatuan nasional.
Toh, sebenarnya posisi dan pengaruh politik NU dalam memperjuangkan aspirasi anggotanya dan masyarakat Indonesia secara umum bisa lebih luas dan kuat tanpa harus mendorong pengurus aktif merebut jabatan politik dan terikat secara spesial dengan salah satu parpol. Sebab parpol di Indonesia saat ini telah berubah menjadi catch all (meraup suara dari semua segmen masyarakat). Suara (kritikan dan aspirasi) NU akan menjadi perhatian dari banyak parpol dan pemerintah (incumbent). Sebab NU entitas terbesar.
Tampaknya, usaha tersebut tidak hanya dilakukan dengan terjun sendiri dalam medan politik (pemilu), tapi juga dengan merekrut pejabat publik berpengaruh masuk dalam struktur atau anggota kehormatan NU. Meskipun pejabat-pejabat tersebut tidak atau kurang memiliki hubungan historis dengan NU, seperti memberikan kartu tanda anggota NU (KARTANU) pada Setya Novanto, menjadikan Airlangga Hartarto sebagai anggota dewan pembina Serikat Nelayan NU dan Erick Thohir sebagai anggota kehormatan Banser.
Ketiga oportunity. Jika aktivis NU tidak berpolitik, maka suara warga NU dikhawatirkan akan dimanfaatkan kelompok lain. Ini menimbulkan asumsi NU akan kesulitan dalam mempengarui kebijakan dan mengakses sumberdaya negara untuk kemaslahatan warga NU.
Baca juga: Jadi Ketum PBNU, Gus Yahya Punya Agenda Menghidupkan Sosok Gus Dur
Keempat, sentimen ideologis merupakan alat tukar suara yang paling murah dan gampang (mudah) dalam pemilu dibandingankan dengan money politics dan program incumbent. Dengan ideologi, orang hanya perlu menyosialisasikan diri bahwa ia memiliki simbol ideologis yang sama dengan pemilih. Saat bersamaan, ada pemilih yang kepentinganya dalam pemilu hanya ingin mendapatkan kepuasan simbolis. Mereka puas jika orang dari golongan mereka terpilih dalam rekrutmen pada lembaga politik formal.
Menguatnya politik aliran menjelang 2019 hubungan simbiosis mutualisme antara NU dan pemerintahan Jokowi makin kuat. Itu bisa dilihat dari sering PBNU mengeluarkan penolakan dan kecaman terhadap beberapa aksi yang dimotori oleh kelompok 212 yang menyudutkan pemerintahan Jokowi. Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi tampak membalas kebaikan tersebut dengan memberikan beberapa program yang menguntungkan NU seperti kredit murah Rp1,7 triliun dari Kementerian Keuangan pada 2020. Karena tidak semua ormas mendapatkan, program seperti itu dalam literatur ilmu politik lazim disebut pork barrel projects. Program seperti ini biasanya diberikan kepada kelompok sosial yang dekat atau dianggap menguntungkan atau berjasa pada pemerintah.
Sebagai entitas terbesar, NU juga memiliki posisi strategis dari menguatnya politik aliran. Posisi strategis tersebut berhasil dimanfaatkan NU dengan menjadikan kader terbaiknya, KH Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden.
Meskipun diuntungkan dari menguatnya politik aliran, NU sebaiknya terus berupaya menerapkan Khittah NU secara murni dan konsekuen. Upaya tersebut akan berkontribusi menurunkan tensi politik aliran yang kontra produktif terhadap persatuan nasional.
Toh, sebenarnya posisi dan pengaruh politik NU dalam memperjuangkan aspirasi anggotanya dan masyarakat Indonesia secara umum bisa lebih luas dan kuat tanpa harus mendorong pengurus aktif merebut jabatan politik dan terikat secara spesial dengan salah satu parpol. Sebab parpol di Indonesia saat ini telah berubah menjadi catch all (meraup suara dari semua segmen masyarakat). Suara (kritikan dan aspirasi) NU akan menjadi perhatian dari banyak parpol dan pemerintah (incumbent). Sebab NU entitas terbesar.
tulis komentar anda