Paradoks Kenaikan Harga Rokok
Selasa, 21 Desember 2021 - 19:01 WIB
Selain itu, setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 4,31% dalam jangka panjang. Kenaikan rokok ilegal di jangka pendek berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 2 dan 3. Di sisi lain, dalam jangka panjang kenaikan rokok ilegal akan berpengaruh pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 1.
Kebijakan Komprehensif adalah Kunci
Seiring dengan pengumuman kenaikan tarif cukai, pemerintah juga mengubah komposisi pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT di tahun depan. Sebesar 50% alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan keterampilan kerja, serta pembinaan industri, 30% lainnya untuk pemberian bantuan.
Pemerintah mengatur alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat itu secara fleksibel, sehingga terdapat ruang untuk mengalihkannya ke bidang kesehatan jika anggaran telah melebihi kebutuhan daerah. Berbeda dengan alokasi dana untuk penegakan hukum yang bersifat baku atau tidak dapat dialihkan.
Komposisi tersebut menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap kesehatan dan komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Meski demikian, upaya pemerintah dalam menjaga alokasi anggaran tanpa disertai dengan adanya penindakan yang lebih tegas, maka alokasi DBHCT sebesar 25% untuk penegakan hukum akan sulit dalam mengurangi peredaran rokok ilegal.
Kawasan Industri Tertentu Hasil Tembakau (KITHT) yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mememerangi peredaran rokok ilegal pun akan sia-sia apabila harga rokok legal terus mengalami peningkatan. Perbedaan harga antara rokok ilegal dan legal yang kian terpaut jauh akan semakin sulit menarik minat para produsen rokok ilegal untuk masuk pada KITHT dan menjadi legal.
Tak dapat dipungkiri bahwa rokok sebagai produk olahan tanaman tembakau masih mendominasi penerimaan cukai negara. Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa Cukai Hasil Tembakau (CHT) menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia. Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional.
Pada 2020, ketika terjadi pandemi, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami peningkatan hingga mencapai 13% di bandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan posisi strategis industri hasil tembakau serta memperhatikan kepentingan berbagai pihak demi keberlanjutan IHT, maka diperlukan kebijakan yang tepat untuk keberlangsungan IHT tanpa harus mematikan, tetapi juga tetap menjaga kesinambungan IHT dalam berkontribusi bagi penerimaan negara.
Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia masih mengenakan cukai secara terbatas, hanya pada tiga jenis barang kena cukai. Sejak 1995, pemerintah hanya mengenakan cukai pada 3 BKC yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu adanya penambahan.
Terdapat salah satu altrnatif barang kena cukai lain yang juga dapat dikenai cukai adalah minuman berpemanis. Produk minuman berpemanis adalah salah sagu produk yang juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehingga perlu dibatasi konsumsinya. Di Indonesia terdapat berbagai jenis produk yang mengandung pemanis dan diperkirakan akan mampu menyumbang Rp6,25 Triliun per tahun kepada penerimaan negara.
Kebijakan Komprehensif adalah Kunci
Seiring dengan pengumuman kenaikan tarif cukai, pemerintah juga mengubah komposisi pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT di tahun depan. Sebesar 50% alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan keterampilan kerja, serta pembinaan industri, 30% lainnya untuk pemberian bantuan.
Pemerintah mengatur alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat itu secara fleksibel, sehingga terdapat ruang untuk mengalihkannya ke bidang kesehatan jika anggaran telah melebihi kebutuhan daerah. Berbeda dengan alokasi dana untuk penegakan hukum yang bersifat baku atau tidak dapat dialihkan.
Komposisi tersebut menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap kesehatan dan komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Meski demikian, upaya pemerintah dalam menjaga alokasi anggaran tanpa disertai dengan adanya penindakan yang lebih tegas, maka alokasi DBHCT sebesar 25% untuk penegakan hukum akan sulit dalam mengurangi peredaran rokok ilegal.
Kawasan Industri Tertentu Hasil Tembakau (KITHT) yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mememerangi peredaran rokok ilegal pun akan sia-sia apabila harga rokok legal terus mengalami peningkatan. Perbedaan harga antara rokok ilegal dan legal yang kian terpaut jauh akan semakin sulit menarik minat para produsen rokok ilegal untuk masuk pada KITHT dan menjadi legal.
Tak dapat dipungkiri bahwa rokok sebagai produk olahan tanaman tembakau masih mendominasi penerimaan cukai negara. Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa Cukai Hasil Tembakau (CHT) menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia. Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional.
Pada 2020, ketika terjadi pandemi, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami peningkatan hingga mencapai 13% di bandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan posisi strategis industri hasil tembakau serta memperhatikan kepentingan berbagai pihak demi keberlanjutan IHT, maka diperlukan kebijakan yang tepat untuk keberlangsungan IHT tanpa harus mematikan, tetapi juga tetap menjaga kesinambungan IHT dalam berkontribusi bagi penerimaan negara.
Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia masih mengenakan cukai secara terbatas, hanya pada tiga jenis barang kena cukai. Sejak 1995, pemerintah hanya mengenakan cukai pada 3 BKC yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu adanya penambahan.
Terdapat salah satu altrnatif barang kena cukai lain yang juga dapat dikenai cukai adalah minuman berpemanis. Produk minuman berpemanis adalah salah sagu produk yang juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehingga perlu dibatasi konsumsinya. Di Indonesia terdapat berbagai jenis produk yang mengandung pemanis dan diperkirakan akan mampu menyumbang Rp6,25 Triliun per tahun kepada penerimaan negara.
Lihat Juga :
tulis komentar anda