Paradoks Kenaikan Harga Rokok
loading...
A
A
A
Prof Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
JALAN panjang perjuangan Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk bertahan di tengah liku-liku tantangan regulasi masih belum menepi. Kebijakan strategis berupa kenaikan tarif cukai yang terjadi hampir setiap tahunnya dengan besaran yang berubah-ubah tak kunjung usai mewarnai.
Kini, pada 2022 ketika pandemi belum selesai dan lini usaha dalam IHT pun masih tertatih menata diri untuk bangkit, kenaikan tarif cukai rokok kembali terjadi. Rata-rata kenaikan tarif cukai rokok untuk 2022 mencapai 12%. Pemerintah menyebutkan bahwa aspek kesehatan, pendapatan negara, dan ketenagakerjaan menjadi beberapa faktor pendorong pengambil kebijakan kembali menaikkan tarif CHT.
Berdasarkan Pasal 2 UU No 39 tahun 2007 Tentang Cukai menyatakan bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang memiliki sifat atau karakteristik tertentu yang salah satunya konsumsinya perlu dikendalikan. Oleh sebab itu, rokok menjadi salah satu barang yang dikenakan cukai karena konsumsi yang berlebihan akan berdampak negatif bagi kesehatan. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3–32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8–8,9% pada 2021.
Baca juga: Harga Rokok Tahun Depan Rp40.100 per Bungkus, Cek Fakta Sebenarnya
Ironisnya, kenaikan tarif cukai yang diberlakukan untuk pengendalian konsumsi rokok belum berbanding lurus dengan penurunan angka prevalensi rokok secara konsisten. Fakta menunjukkan bahwa selama lebih dari 10 tahun sejak 2007, angka prevalensi merokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Data menunjukkan bahwa pada 2018 angka prevalensi merokok usia ≥ 15 tahun justru mengalami peningkatan dari 32,8% pada 2016 menjadi 33,8% pada 2018. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif. Namun sebaliknya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang excessive setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok.
Kenaikan Harga dalam Perspektif Konsumen Rokok
Rokok merupakan benda yang tak asing lagi bagi penduduk Indonesia. Di Indonesia, rokok kretek tidak hanya berfungsi sebagai barang yang dihisap untuk penenang dan membangun hubungan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari bahan sesaji yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan, dapat kita temui hampir di seluruh masyarakat pedesaan pulau Jawa.
Baca juga: Kenaikan Harga Rokok Ancam Kelangsungan Industri Hasil Tembakau
Hal ini selaras dengan hasil penelitian PPKE FEB UB (2021) yang menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok karena kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok. Selain itu, fakta berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa harga bukan merupakan faktor penyebab seseorang tetap merokok dan harga juga bukan menjadi faktor penyebab seseorang berhenti merokok. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah/terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal.
Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Peredaran rokok ilegal adalah untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Kenaikan harga rokok yang terus menerus terjadi karena kenaikan tarif cukai maupun penyederhanaan struktur tarif cukai menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin menurun.
Kini, kenaikan cukai tersebut mutlak secara langsung mengubah Indeks kemahalan rokok mengalami peningkatan menjadi 13,77% dari sebelumnya sebesar 12,7%. Sehingga para perokok tersebut akan beralih pada rokok illegal untuk dapat tetap megkonsumsi rokok dengan harga terjangkau. Data menunjukkan bahwa kenaikan jumlah rokok ilegal bersamaan dengan semakin menurunnya jumlah volume produksi penjualan rokok segmen low. Para konsumen rokok di segmen low tersebut akan berpindah kepada rokok ilegal ketika harga rokok segmen low terus mengalami kenaikan harga.
Berdasarkan hasil survei dan analisis PPKE (2021) terkait perbandingan rokok legal dan ilegal, jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah daripada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai. Jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai.
Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat di tengah kian tergerusnya bisnis rokok legal.
Pada sisi produsen, kebijakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai secara langsung terus menekan keberlangsungan Industri Haisl Tembakau (IHT). Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok.
Data menunjukkan bahwa volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian PPKE (2021) yang menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal berdampak negatif bagi keberlangsungan IHT baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9% dalam jangka pendek.
Selain itu, setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 4,31% dalam jangka panjang. Kenaikan rokok ilegal di jangka pendek berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 2 dan 3. Di sisi lain, dalam jangka panjang kenaikan rokok ilegal akan berpengaruh pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 1.
Kebijakan Komprehensif adalah Kunci
Seiring dengan pengumuman kenaikan tarif cukai, pemerintah juga mengubah komposisi pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT di tahun depan. Sebesar 50% alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan keterampilan kerja, serta pembinaan industri, 30% lainnya untuk pemberian bantuan.
Pemerintah mengatur alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat itu secara fleksibel, sehingga terdapat ruang untuk mengalihkannya ke bidang kesehatan jika anggaran telah melebihi kebutuhan daerah. Berbeda dengan alokasi dana untuk penegakan hukum yang bersifat baku atau tidak dapat dialihkan.
Komposisi tersebut menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap kesehatan dan komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Meski demikian, upaya pemerintah dalam menjaga alokasi anggaran tanpa disertai dengan adanya penindakan yang lebih tegas, maka alokasi DBHCT sebesar 25% untuk penegakan hukum akan sulit dalam mengurangi peredaran rokok ilegal.
Kawasan Industri Tertentu Hasil Tembakau (KITHT) yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mememerangi peredaran rokok ilegal pun akan sia-sia apabila harga rokok legal terus mengalami peningkatan. Perbedaan harga antara rokok ilegal dan legal yang kian terpaut jauh akan semakin sulit menarik minat para produsen rokok ilegal untuk masuk pada KITHT dan menjadi legal.
Tak dapat dipungkiri bahwa rokok sebagai produk olahan tanaman tembakau masih mendominasi penerimaan cukai negara. Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa Cukai Hasil Tembakau (CHT) menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia. Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional.
Pada 2020, ketika terjadi pandemi, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami peningkatan hingga mencapai 13% di bandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan posisi strategis industri hasil tembakau serta memperhatikan kepentingan berbagai pihak demi keberlanjutan IHT, maka diperlukan kebijakan yang tepat untuk keberlangsungan IHT tanpa harus mematikan, tetapi juga tetap menjaga kesinambungan IHT dalam berkontribusi bagi penerimaan negara.
Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia masih mengenakan cukai secara terbatas, hanya pada tiga jenis barang kena cukai. Sejak 1995, pemerintah hanya mengenakan cukai pada 3 BKC yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu adanya penambahan.
Terdapat salah satu altrnatif barang kena cukai lain yang juga dapat dikenai cukai adalah minuman berpemanis. Produk minuman berpemanis adalah salah sagu produk yang juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehingga perlu dibatasi konsumsinya. Di Indonesia terdapat berbagai jenis produk yang mengandung pemanis dan diperkirakan akan mampu menyumbang Rp6,25 Triliun per tahun kepada penerimaan negara.
Kebijakan cukai sangat berpengaruh terhadap kinerja IHT legal namun tidak menyasar rokok illegal. Dari data DJBC menunjukkan bahwa tarif cukai hasil tembakau telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Sehingga, kebijakan tarif cukai hasil tembakau hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dapat menurunkan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal. Oleh sebab itu, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian adalah solusi terbaik untuk mencari jalan tengah bagi seluruh kepentingan yang ada.
Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung. Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
JALAN panjang perjuangan Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk bertahan di tengah liku-liku tantangan regulasi masih belum menepi. Kebijakan strategis berupa kenaikan tarif cukai yang terjadi hampir setiap tahunnya dengan besaran yang berubah-ubah tak kunjung usai mewarnai.
Kini, pada 2022 ketika pandemi belum selesai dan lini usaha dalam IHT pun masih tertatih menata diri untuk bangkit, kenaikan tarif cukai rokok kembali terjadi. Rata-rata kenaikan tarif cukai rokok untuk 2022 mencapai 12%. Pemerintah menyebutkan bahwa aspek kesehatan, pendapatan negara, dan ketenagakerjaan menjadi beberapa faktor pendorong pengambil kebijakan kembali menaikkan tarif CHT.
Berdasarkan Pasal 2 UU No 39 tahun 2007 Tentang Cukai menyatakan bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang memiliki sifat atau karakteristik tertentu yang salah satunya konsumsinya perlu dikendalikan. Oleh sebab itu, rokok menjadi salah satu barang yang dikenakan cukai karena konsumsi yang berlebihan akan berdampak negatif bagi kesehatan. Pemerintah memiliki harapan bahwa kenaikan tarif cukai tersebut dapat menjadi jalan bagi pemerintah untuk menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3–32,4% dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8–8,9% pada 2021.
Baca juga: Harga Rokok Tahun Depan Rp40.100 per Bungkus, Cek Fakta Sebenarnya
Ironisnya, kenaikan tarif cukai yang diberlakukan untuk pengendalian konsumsi rokok belum berbanding lurus dengan penurunan angka prevalensi rokok secara konsisten. Fakta menunjukkan bahwa selama lebih dari 10 tahun sejak 2007, angka prevalensi merokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Data menunjukkan bahwa pada 2018 angka prevalensi merokok usia ≥ 15 tahun justru mengalami peningkatan dari 32,8% pada 2016 menjadi 33,8% pada 2018. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif. Namun sebaliknya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang excessive setiap tahunnya, lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok.
Kenaikan Harga dalam Perspektif Konsumen Rokok
Rokok merupakan benda yang tak asing lagi bagi penduduk Indonesia. Di Indonesia, rokok kretek tidak hanya berfungsi sebagai barang yang dihisap untuk penenang dan membangun hubungan sosial, tetapi juga sebagai bagian dari bahan sesaji yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan, dapat kita temui hampir di seluruh masyarakat pedesaan pulau Jawa.
Baca juga: Kenaikan Harga Rokok Ancam Kelangsungan Industri Hasil Tembakau
Hal ini selaras dengan hasil penelitian PPKE FEB UB (2021) yang menunjukkan bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok karena kenaikan harga rokok bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok. Selain itu, fakta berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa harga bukan merupakan faktor penyebab seseorang tetap merokok dan harga juga bukan menjadi faktor penyebab seseorang berhenti merokok. Kenaikan harga rokok akan menyebabkan perokok mencari alternatif rokok dengan harga yang lebih murah/terjangkau, salah satu alternatifnya adalah rokok ilegal.
Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung untuk membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai. Peredaran rokok ilegal adalah untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Kenaikan harga rokok yang terus menerus terjadi karena kenaikan tarif cukai maupun penyederhanaan struktur tarif cukai menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin menurun.
Kini, kenaikan cukai tersebut mutlak secara langsung mengubah Indeks kemahalan rokok mengalami peningkatan menjadi 13,77% dari sebelumnya sebesar 12,7%. Sehingga para perokok tersebut akan beralih pada rokok illegal untuk dapat tetap megkonsumsi rokok dengan harga terjangkau. Data menunjukkan bahwa kenaikan jumlah rokok ilegal bersamaan dengan semakin menurunnya jumlah volume produksi penjualan rokok segmen low. Para konsumen rokok di segmen low tersebut akan berpindah kepada rokok ilegal ketika harga rokok segmen low terus mengalami kenaikan harga.
Berdasarkan hasil survei dan analisis PPKE (2021) terkait perbandingan rokok legal dan ilegal, jenis Rokok SKM ilegal memiliki harga 1/4 kali lebih murah daripada rokok SKM berpita cukai. Jenis Rokok SPM ilegal memiliki harga harga 1/5 kali lebih murah daripada rokok SPM berpita cukai. Jenis Rokok SKT ilegal memiliki harga harga 1/3 kali lebih murah daripada rokok SKT berpita cukai.
Selain itu, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai). Oleh sebab itu, kenaikan harga rokok dapat mendorong bisnis rokok ilegal meningkat di tengah kian tergerusnya bisnis rokok legal.
Pada sisi produsen, kebijakan kenaikan harga rokok dan tarif cukai secara langsung terus menekan keberlangsungan Industri Haisl Tembakau (IHT). Ketatnya regulasi dan kebijakan kenaikan tarif cukai berdampak pada penurunan volume produksi dan juga penurunan pabrikan rokok.
Data menunjukkan bahwa volume produksi selama periode 2016-2018 menurun sebesar 4,59% dan jumlah pabrik rokok dari 4.793 perusahaan pada 2007 hanya tinggal sekitar 10% (487 perusahaan) di 2017. Hal tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian PPKE (2021) yang menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal berdampak negatif bagi keberlangsungan IHT baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9% dalam jangka pendek.
Selain itu, setiap 1% kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 4,31% dalam jangka panjang. Kenaikan rokok ilegal di jangka pendek berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 2 dan 3. Di sisi lain, dalam jangka panjang kenaikan rokok ilegal akan berpengaruh pada penurunan jumlah pabrikan rokok golongan 1.
Kebijakan Komprehensif adalah Kunci
Seiring dengan pengumuman kenaikan tarif cukai, pemerintah juga mengubah komposisi pembagian dana bagi hasil cukai hasil tembakau atau DBH CHT di tahun depan. Sebesar 50% alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 20% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan keterampilan kerja, serta pembinaan industri, 30% lainnya untuk pemberian bantuan.
Pemerintah mengatur alokasi dana untuk kesejahteraan masyarakat itu secara fleksibel, sehingga terdapat ruang untuk mengalihkannya ke bidang kesehatan jika anggaran telah melebihi kebutuhan daerah. Berbeda dengan alokasi dana untuk penegakan hukum yang bersifat baku atau tidak dapat dialihkan.
Komposisi tersebut menunjukkan perhatian besar pemerintah terhadap kesehatan dan komitmen pemerintah dalam memberantas peredaran rokok ilegal. Meski demikian, upaya pemerintah dalam menjaga alokasi anggaran tanpa disertai dengan adanya penindakan yang lebih tegas, maka alokasi DBHCT sebesar 25% untuk penegakan hukum akan sulit dalam mengurangi peredaran rokok ilegal.
Kawasan Industri Tertentu Hasil Tembakau (KITHT) yang menjadi salah satu upaya pemerintah dalam mememerangi peredaran rokok ilegal pun akan sia-sia apabila harga rokok legal terus mengalami peningkatan. Perbedaan harga antara rokok ilegal dan legal yang kian terpaut jauh akan semakin sulit menarik minat para produsen rokok ilegal untuk masuk pada KITHT dan menjadi legal.
Tak dapat dipungkiri bahwa rokok sebagai produk olahan tanaman tembakau masih mendominasi penerimaan cukai negara. Data kementerian Keuangan menununjukkan bahwa Cukai Hasil Tembakau (CHT) menyumbang antara 95% hingga 96% dari total penerimaan cukai di Indonesia. Bahkan, meski dalam kondisi pandemi, Cukai Hasil Tembakau (CHT) mampu menjadi oase bagi penerimaan nasional.
Pada 2020, ketika terjadi pandemi, kontribusi CHT terhadap total penerimaan nasional mengalami peningkatan hingga mencapai 13% di bandingkan tahun-tahun sebelumnya yang hanya memiliki rata-rata kontribusi sebesar 11% terhadap total penerimaan nasional. Oleh sebab itu, dengan memperhatikan posisi strategis industri hasil tembakau serta memperhatikan kepentingan berbagai pihak demi keberlanjutan IHT, maka diperlukan kebijakan yang tepat untuk keberlangsungan IHT tanpa harus mematikan, tetapi juga tetap menjaga kesinambungan IHT dalam berkontribusi bagi penerimaan negara.
Dibandingkan dengan negara-negara di dunia, Indonesia masih mengenakan cukai secara terbatas, hanya pada tiga jenis barang kena cukai. Sejak 1995, pemerintah hanya mengenakan cukai pada 3 BKC yaitu tembakau, alkohol, etil alkohol. Seiring perkembangan zaman, makin disadari bahwa produk-produk selain tiga BKC tersebut masih banyak produk lain yang perlu dikendalikan peredarannya karena berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan, sehingga BKC perlu adanya penambahan.
Terdapat salah satu altrnatif barang kena cukai lain yang juga dapat dikenai cukai adalah minuman berpemanis. Produk minuman berpemanis adalah salah sagu produk yang juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan sehingga perlu dibatasi konsumsinya. Di Indonesia terdapat berbagai jenis produk yang mengandung pemanis dan diperkirakan akan mampu menyumbang Rp6,25 Triliun per tahun kepada penerimaan negara.
Kebijakan cukai sangat berpengaruh terhadap kinerja IHT legal namun tidak menyasar rokok illegal. Dari data DJBC menunjukkan bahwa tarif cukai hasil tembakau telah melewati titik optimum untuk menghasilkan penerimaan. Sehingga, kebijakan tarif cukai hasil tembakau hanya berdampak pada berkurangnya produksi rokok legal, namun tidak dapat menurunkan konsumsi secara agregat, mengingat masih adanya peredaran rokok ilegal. Oleh sebab itu, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian adalah solusi terbaik untuk mencari jalan tengah bagi seluruh kepentingan yang ada.
Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung. Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat. Semoga.
(abd)