Puluhan Akademisi Teken Petisi Tolak RUU Ciptaker
Kamis, 23 April 2020 - 08:02 WIB
Ia melihat, dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, upah dihitung berdasarkan jam kerja dan tentu akan sangat merugikan pekerja karena upah bisa jadi di bawah UMP. Selain itu, upah dengan sistem jam kerja ini secara otomatis menghapus hak-hak pekerja perempuan yaitu hak atas upah saat izin haid, cuti hamil dan melahirkan.
"Pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak tersebut akan dianggap tidak bekerja sehingga tidak berhak mendapatkan upah. Padahal, hak-hak tersebut merupakan hak dasar pekerja perempuan yang seharusnya dijamin oleh undang-undang," ucapnya.
Selain itu, Devi juga menyoroti sistem outsourcing dan praktik PHK yang akan meluas. Menurutnya, pekerja akan semakin gampang di-PHK karena pengusaha tidak lagi wajib memberi Surat Peringatan 1, 2 dan 3."Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memberi keleluasaan bagi seluruh jenis kerja untuk dialihdayakan, tidak ada lagi pembeda antara bisnis utama dan kegiatan penunjang," imbuhnya.
Sementara itu, ahli hukum lingkungan, Dr. Andri Wibisana, S.H., LL.M mengungkapkan bahwa lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.
Ia menerangkan, Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana. Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan, tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup.
Selain itu, dalam Pasal 23 tersebut juga secara serius akan membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup," papar pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Aspek pertambangan yang sangat dekat dengan aspek lingkungan hidup juga dinilai oleh Dr. Haris Retno Susmiyati., S.H., M.H. berpotensi menimbulkan banyak masalah.
"Omnibus Law RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi usaha pertambangan. Hal ini jelas menjadi ancaman baru bagi masyarakat di wilayah tambang, khususnya perempuan dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban serta menerima dampak buruk terbesar dari beroperasinya kegiatan usaha pertambangan," pungkasnya. ( ).
"Pekerja perempuan yang hendak menggunakan hak tersebut akan dianggap tidak bekerja sehingga tidak berhak mendapatkan upah. Padahal, hak-hak tersebut merupakan hak dasar pekerja perempuan yang seharusnya dijamin oleh undang-undang," ucapnya.
Selain itu, Devi juga menyoroti sistem outsourcing dan praktik PHK yang akan meluas. Menurutnya, pekerja akan semakin gampang di-PHK karena pengusaha tidak lagi wajib memberi Surat Peringatan 1, 2 dan 3."Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memberi keleluasaan bagi seluruh jenis kerja untuk dialihdayakan, tidak ada lagi pembeda antara bisnis utama dan kegiatan penunjang," imbuhnya.
Sementara itu, ahli hukum lingkungan, Dr. Andri Wibisana, S.H., LL.M mengungkapkan bahwa lingkungan hidup akan semakin terancam karena dihapuskannya izin administratif dan sanksi pidana untuk aspek lingkungan hidup.
Ia menerangkan, Pasal 23 dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memuat kesalahan elementer terkait sanksi administratif dan pidana. Alhasil, RUU ini bukan hanya mempermudah kegiatan usaha dengan menghilangkan persyaratan administratif terkait lingkungan, tetapi juga bahkan mempersulit adanya penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran hukum terhadap lingkungan hidup.
Selain itu, dalam Pasal 23 tersebut juga secara serius akan membatasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup," papar pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Aspek pertambangan yang sangat dekat dengan aspek lingkungan hidup juga dinilai oleh Dr. Haris Retno Susmiyati., S.H., M.H. berpotensi menimbulkan banyak masalah.
"Omnibus Law RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi usaha pertambangan. Hal ini jelas menjadi ancaman baru bagi masyarakat di wilayah tambang, khususnya perempuan dan masyarakat adat yang selama ini menjadi korban serta menerima dampak buruk terbesar dari beroperasinya kegiatan usaha pertambangan," pungkasnya. ( ).
(zik)
tulis komentar anda