Puluhan Akademisi Teken Petisi Tolak RUU Ciptaker
Kamis, 23 April 2020 - 08:02 WIB
JAKARTA - Puluhan akademisi menyampaikan kritik dan aspirasi mereka terkait kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia. Salah satunya, terhadap pembahasan Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja (Ciptaker).
Mereka menyuarakan kritik melalui petisi online. Sejak Maret 2020 hingga April 2020, petisi online sudah ditandatangani oleh 92 akademisi, tercatat 3 profesor–2 di antaranya adalah Guru Besar, 30 doktor, 57 Magister, dan 2 Sarjana. Petisi telah diumumkan kepada khalayak publik dalam Konferensi Pers online bertajuk "92 Akademisi Menolak Omnibus Law" pada Rabu 22 April 2020 pukul 14.00 s/d 16.00 WIB.
"Pengumuman tersebut sekaligus sebagai simbol penyerahan petisi kepada Presiden dan DPR RI secara terbuka, sehingga dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan dan mencabut Omnibus Law dari Program Legislasi Nasional," kata salah satu inisiator Petisi, Profesor Susi Dwi Harijanti, Kamis (23/4/2020).
Dia mengungkapkan, proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.
"Selama proses perancangan, pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan diserahkan kepada DPR," ungkap dia.
Menurut pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran ini, hal tersebut tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Prof. Ir. Yonariza, M.Sc, Ph.D yang merupakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas juga menyatakan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ia menilai, substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme - neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi, namun mengorbankan kesejahteraan rakyat serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.
"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945," kata dia.
Terkait isu ketenagakerjaan, Dr. Devi Rahayu, S.H., M.Hum. juga menyesalkan dan menolak adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena menindas kelas pekerja melalui sistem pengupahan berdasar jam kerja.
Mereka menyuarakan kritik melalui petisi online. Sejak Maret 2020 hingga April 2020, petisi online sudah ditandatangani oleh 92 akademisi, tercatat 3 profesor–2 di antaranya adalah Guru Besar, 30 doktor, 57 Magister, dan 2 Sarjana. Petisi telah diumumkan kepada khalayak publik dalam Konferensi Pers online bertajuk "92 Akademisi Menolak Omnibus Law" pada Rabu 22 April 2020 pukul 14.00 s/d 16.00 WIB.
"Pengumuman tersebut sekaligus sebagai simbol penyerahan petisi kepada Presiden dan DPR RI secara terbuka, sehingga dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan dan mencabut Omnibus Law dari Program Legislasi Nasional," kata salah satu inisiator Petisi, Profesor Susi Dwi Harijanti, Kamis (23/4/2020).
Dia mengungkapkan, proses pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.
"Selama proses perancangan, pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi dan publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan diserahkan kepada DPR," ungkap dia.
Menurut pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran ini, hal tersebut tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Prof. Ir. Yonariza, M.Sc, Ph.D yang merupakan Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Andalas juga menyatakan menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Ia menilai, substansi Omnibus Law RUU Cipta Kerja terlalu berkarakter kapitalisme - neoliberal yang hanya ingin mengejar pertumbuhan ekonomi, namun mengorbankan kesejahteraan rakyat serta tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan.
"Karakter tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945," kata dia.
Terkait isu ketenagakerjaan, Dr. Devi Rahayu, S.H., M.Hum. juga menyesalkan dan menolak adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena menindas kelas pekerja melalui sistem pengupahan berdasar jam kerja.
tulis komentar anda