Mendesak: Revisi UU Hak Cipta (1)

Selasa, 18 April 2023 - 12:53 WIB
loading...
Mendesak: Revisi UU...
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Perlukah Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta direvisi? Menurut saya, perlu. Bahkan mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini terutama setelah mengamati perseteruan antara Ahmad Dhani dan Once Mekel (Sindo News 3 April 2023) serta aneka komentar baik dari pemangku kepentingan dunia permusikan sendiri maupun masyarakat pada umumnya.

Dari pengamatan saya, ada beberapa alasan kenapa undang-undang tersebut mendesak untuk segara direvisi. Pertama, ternyata sampai saat ini masih terjadi kebingungan mengenai fungsi dan tugas antara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dua institusi ini sering dicampur-aduk dalam percakapan dan masih banyak yang tidak mampu membedakan di antara keduanya. Kedua, adanya pasal-pasal yang seakan-akan terdapat kontradiksi di dalamnya, sehingga setiap orang bisa menggunakan ayat-ayat yang menguntungkan dirinya saja. Ketiga, maraknya dunia Over The Top (OTT) yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak cipta yang makin luas.

Kita mulai dengan kebingungan petama (tentang LMK dan LMKN). Dalam Pasal 1 Angka (22) Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) disebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) -- tanpa “N” atau Nasional-- adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Kata kuncinya: “diberi kuasa”; “mengelola”; “menghimpun”; dan “menditribusikan”.

Kemudian, dalam Pasal 87 Ayat (1) disebutkan: “Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajeman Kolektif (LMK) agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.” Lalu Ayat (2) mengatakan: “Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajeman Koklektif (LMK).

Disambung dengan Ayat (3) yang mengatakan: “Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan”. Kata kuncinya: “membayar royalti melalui LMK” dan “membuat perjanjian”.

Dari ketiga ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa LMK (tanpa “N” atau Nasional), yang diberi wewenang untuk “menarik” royalti kepada Pengguna dengan cara membuat membuat perjanjian. LMK ini kemudian menghimpun, mengelola dan mendistribusikan kepada yang berhak.

Selanjutnya (Pasal 88) dijelaskan soal tata cara dan syarat-syarat untuk mendirikan LMK. Misalnya, untuk LMK yang mau mewakili Pencipta bidang lagu atau musik, harus memiliki sedikitnya 200 (dua ratus) pemberi kuasa. Sedangkan yang mau mewakili pemlik Hak Terkait, paling sedikit memiliki 50 (lima puluh) orang anggota. Kemudian ditegaskan lagi dalam huruf (d) bahwa LMK (tanpa “N” atau Nasional) ini bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.

Jadi, LMK ini badan nirlaba swasta. Bukam lembaga atau institusi negara. Hanya izin operasionalnya saja yang harus meminta kepada Menteri. Itu sebabnya saat ini ada beberapa LMK (tanpa “N” atau Nasional) yang eksis. LMK tanpa N ini hanya boleh managih Royalti dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dari anggotanya saja. Maka LMK bernama “Gembul Indonesia”, misalnya, hanya boleh menarik royalti dari anggota “Gembul Indonesia” itu saja. Dia tidak boleh menarik royalti dari anggota LMK “Soda Gembira”, misalnya. Sampai di sini soal LMK tanpa N sudah jelas atau harusnya jelas.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Berita Terkait
MK Kabulkan Gugatan...
MK Kabulkan Gugatan UU Cipta Kerja Soal Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional
Tindak Lanjuti Putusan...
Tindak Lanjuti Putusan MK, DPR Nyatakan PP 51 tentang UMP Sudah Tak Berlaku
Sebagian Gugatan Ciptaker...
Sebagian Gugatan Ciptaker Dikabulkan MK, Pemerintah-DPR Perlu Bikin UU Ketenagakerjaan Baru Paling Lambat 2 Tahun
MK Kabulkan Sebagian...
MK Kabulkan Sebagian Tuntutan Buruh Soal UU Cipta Kerja
Hari Ini MK Bacakan...
Hari Ini MK Bacakan Putusan Uji Materi UU Cipta Kerja, Ribuan Buruh Turun ke Jalan
Besok, 20.000 Buruh...
Besok, 20.000 Buruh Kawal Putusan MK soal Uji Materi UU Cipta Kerja
Rugi Miliaran, Bareskrim...
Rugi Miliaran, Bareskrim Bongkar Penyelewengan Gas Subsidi
Jaga Iklim Investasi,...
Jaga Iklim Investasi, Pemerintah Harus Berikan Kepastian Hukum Industri Sawit
SP PLN Sambut Baik Putusan...
SP PLN Sambut Baik Putusan MK soal UU Cipta Kerja
Rekomendasi
Bukti Konsistensi Inalum...
Bukti Konsistensi Inalum Bangun Industri Alumunium Adaptif dan Ramah Lingkungan
Suku-suku di Gaza Peringatkan...
Suku-suku di Gaza Peringatkan Rencana Israel Curi Bantuan Kemanusiaan Lewat Geng Kriminal
Ribuan Rekening Nasabah...
Ribuan Rekening Nasabah Tiba-tiba Diblokir, PPATK Sebut Didukung Prabowo
Berita Terkini
Fokus Berantas Judi...
Fokus Berantas Judi Online, Legalisasi Kasino Perlu Dibahas Lebih Mendalam
Gandeng Kementerian...
Gandeng Kementerian Lembaga, Polri Tertibkan Kendaraan ODOL
Wakili Indonesia, Indra...
Wakili Indonesia, Indra Singawinata Kembali Terpilih Jadi Sekjen APO
Indonesia Berkomitmen...
Indonesia Berkomitmen Dalam Transformasi Energi
Ijazah Jokowi Identik,...
Ijazah Jokowi Identik, Roy Suryo: Bukan Autentik dan Keputusan Belum Final
Kejari Jakpus Dalami...
Kejari Jakpus Dalami 3 Eks Menkominfo Mulai Rudiantara hingga Budi Arie terkait Dugaan Korupsi PDNS
Infografis
Daftar Gaji PPPK 2025...
Daftar Gaji PPPK 2025 Golongan 1 hingga 17, Cek Nominalnya
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved