Mendesak: Revisi UU Hak Cipta (1)
loading...
A
A
A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Perlukah Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta direvisi? Menurut saya, perlu. Bahkan mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini terutama setelah mengamati perseteruan antara Ahmad Dhani dan Once Mekel (Sindo News 3 April 2023) serta aneka komentar baik dari pemangku kepentingan dunia permusikan sendiri maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengamatan saya, ada beberapa alasan kenapa undang-undang tersebut mendesak untuk segara direvisi. Pertama, ternyata sampai saat ini masih terjadi kebingungan mengenai fungsi dan tugas antara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dua institusi ini sering dicampur-aduk dalam percakapan dan masih banyak yang tidak mampu membedakan di antara keduanya. Kedua, adanya pasal-pasal yang seakan-akan terdapat kontradiksi di dalamnya, sehingga setiap orang bisa menggunakan ayat-ayat yang menguntungkan dirinya saja. Ketiga, maraknya dunia Over The Top (OTT) yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak cipta yang makin luas.
Kita mulai dengan kebingungan petama (tentang LMK dan LMKN). Dalam Pasal 1 Angka (22) Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) disebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) -- tanpa “N” atau Nasional-- adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Kata kuncinya: “diberi kuasa”; “mengelola”; “menghimpun”; dan “menditribusikan”.
Kemudian, dalam Pasal 87 Ayat (1) disebutkan: “Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajeman Kolektif (LMK) agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.” Lalu Ayat (2) mengatakan: “Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajeman Koklektif (LMK).
Disambung dengan Ayat (3) yang mengatakan: “Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan”. Kata kuncinya: “membayar royalti melalui LMK” dan “membuat perjanjian”.
Dari ketiga ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa LMK (tanpa “N” atau Nasional), yang diberi wewenang untuk “menarik” royalti kepada Pengguna dengan cara membuat membuat perjanjian. LMK ini kemudian menghimpun, mengelola dan mendistribusikan kepada yang berhak.
Selanjutnya (Pasal 88) dijelaskan soal tata cara dan syarat-syarat untuk mendirikan LMK. Misalnya, untuk LMK yang mau mewakili Pencipta bidang lagu atau musik, harus memiliki sedikitnya 200 (dua ratus) pemberi kuasa. Sedangkan yang mau mewakili pemlik Hak Terkait, paling sedikit memiliki 50 (lima puluh) orang anggota. Kemudian ditegaskan lagi dalam huruf (d) bahwa LMK (tanpa “N” atau Nasional) ini bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.
Jadi, LMK ini badan nirlaba swasta. Bukam lembaga atau institusi negara. Hanya izin operasionalnya saja yang harus meminta kepada Menteri. Itu sebabnya saat ini ada beberapa LMK (tanpa “N” atau Nasional) yang eksis. LMK tanpa N ini hanya boleh managih Royalti dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dari anggotanya saja. Maka LMK bernama “Gembul Indonesia”, misalnya, hanya boleh menarik royalti dari anggota “Gembul Indonesia” itu saja. Dia tidak boleh menarik royalti dari anggota LMK “Soda Gembira”, misalnya. Sampai di sini soal LMK tanpa N sudah jelas atau harusnya jelas.
Nah, kebingungan mulai terjadi, terutama bagi masyarakat awam, ketika muncul Pasal 89. Dalam Ayat (1) disebutkan: “Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan “n” kecil--KA) yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: a. kepentingan Pencipta; dan b. Kepentingan pemilik Hak Terkait. Lalu Ayat (2) mengatakan: “Kedua Lembaga Manajemen Kolektif (masih tanpa N--KA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni
Perlukah Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta direvisi? Menurut saya, perlu. Bahkan mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini terutama setelah mengamati perseteruan antara Ahmad Dhani dan Once Mekel (Sindo News 3 April 2023) serta aneka komentar baik dari pemangku kepentingan dunia permusikan sendiri maupun masyarakat pada umumnya.
Dari pengamatan saya, ada beberapa alasan kenapa undang-undang tersebut mendesak untuk segara direvisi. Pertama, ternyata sampai saat ini masih terjadi kebingungan mengenai fungsi dan tugas antara Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dua institusi ini sering dicampur-aduk dalam percakapan dan masih banyak yang tidak mampu membedakan di antara keduanya. Kedua, adanya pasal-pasal yang seakan-akan terdapat kontradiksi di dalamnya, sehingga setiap orang bisa menggunakan ayat-ayat yang menguntungkan dirinya saja. Ketiga, maraknya dunia Over The Top (OTT) yang berpotensi terjadinya pelanggaran hak cipta yang makin luas.
Kita mulai dengan kebingungan petama (tentang LMK dan LMKN). Dalam Pasal 1 Angka (22) Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) disebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) -- tanpa “N” atau Nasional-- adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Kata kuncinya: “diberi kuasa”; “mengelola”; “menghimpun”; dan “menditribusikan”.
Kemudian, dalam Pasal 87 Ayat (1) disebutkan: “Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajeman Kolektif (LMK) agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.” Lalu Ayat (2) mengatakan: “Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajeman Koklektif (LMK).
Disambung dengan Ayat (3) yang mengatakan: “Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan”. Kata kuncinya: “membayar royalti melalui LMK” dan “membuat perjanjian”.
Dari ketiga ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa LMK (tanpa “N” atau Nasional), yang diberi wewenang untuk “menarik” royalti kepada Pengguna dengan cara membuat membuat perjanjian. LMK ini kemudian menghimpun, mengelola dan mendistribusikan kepada yang berhak.
Selanjutnya (Pasal 88) dijelaskan soal tata cara dan syarat-syarat untuk mendirikan LMK. Misalnya, untuk LMK yang mau mewakili Pencipta bidang lagu atau musik, harus memiliki sedikitnya 200 (dua ratus) pemberi kuasa. Sedangkan yang mau mewakili pemlik Hak Terkait, paling sedikit memiliki 50 (lima puluh) orang anggota. Kemudian ditegaskan lagi dalam huruf (d) bahwa LMK (tanpa “N” atau Nasional) ini bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.
Jadi, LMK ini badan nirlaba swasta. Bukam lembaga atau institusi negara. Hanya izin operasionalnya saja yang harus meminta kepada Menteri. Itu sebabnya saat ini ada beberapa LMK (tanpa “N” atau Nasional) yang eksis. LMK tanpa N ini hanya boleh managih Royalti dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dari anggotanya saja. Maka LMK bernama “Gembul Indonesia”, misalnya, hanya boleh menarik royalti dari anggota “Gembul Indonesia” itu saja. Dia tidak boleh menarik royalti dari anggota LMK “Soda Gembira”, misalnya. Sampai di sini soal LMK tanpa N sudah jelas atau harusnya jelas.
Nah, kebingungan mulai terjadi, terutama bagi masyarakat awam, ketika muncul Pasal 89. Dalam Ayat (1) disebutkan: “Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional (dengan “n” kecil--KA) yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: a. kepentingan Pencipta; dan b. Kepentingan pemilik Hak Terkait. Lalu Ayat (2) mengatakan: “Kedua Lembaga Manajemen Kolektif (masih tanpa N--KA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.