Lebaran Sunyi
Kamis, 28 Mei 2020 - 07:47 WIB
Jika keterbatasan gerak masa pandemi ini menjadi sesuatu yang membuat kita “kesepian”, memaksa kita berjibaku dengan keminiman teman bicara un-virtual, menciptakan kebiasaan baru beribadah dalam kesendirian, maka apa yang ditulis Desi Anwar menemukan relevansinya. Buku ini memang lebih didasari realitas betapa kita sudah menjadi “budak” kehidupan online. Tapi, ada beberapa hal dari buku itu yang bisa dibaca pula sebagai renungan bagi pentingnya sebuah kesendirian, yang tak sengaja diciptakan oleh pandemi.
Bahwa sunyi dan sendiri adalah template yang sangat baik untuk melakukan kontemplasi. Mengoptimalkan fungsi seluruh indera jiwa dan ragawi yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan menanyakan berbagai makna fragmen kehidupan kepada narasumber sejati: Tuhan, melalui apa yang disebut dengan hati nurani. Dalam kesunyian dan kesendirian itulah kita punya waktu untuk menjadi diri sebenar-benar diri sendiri. Bukan diri yang terpaksa menjadi diri berbeda karena “tuntutan” orang lain, hingga seorang Ralph Waldo Emerson—esais, penyair, dan pemimpin gerakan transendentalisme di Amerika Serikat—pun berkata, “Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus mendorongmu menjadi orang lain adalah prestasi besar.”
Di tengah anjuran untuk tetap tinggal di rumah, di antara ke(sok)sibukan work from home, di benaman pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tak dimungkiri muncul pula rasa bosan. Dan, ketika terma bosan itu menyerang kita mengeluh. Ingin berontak. Ingin segera “bebas”, yang pada akhirnya menuntun kita pada kenekatan beraktivitas di tengah ancaman kesehatan.
Padahal, mestinya bosan itu mendorong seseorang menjadi kreatif. Berbagai temuan baru yang mempermudah kehidupan (meski kadang tetap saja ada yang menganggap mempersulit), sesungguhnya muncul dari perasaan bosan terhadap cara yang begitu-begitu saja. Yang lambat, yang monoton, dan yang tak menantang lagi. Dari rasa bosan itulah manusia berusaha membuat simulasi-simulasi baru. Manusia terstimulasi. Dorongan berubah yang kerap hanya dianggap keinginan untuk maju, sesungguhnya mengandung peran rasa bosan di sebaliknya. Desi Anwar membuat definisi menarik soal kebosanan positif itu: cara otak mengatakan bahwa kita sudah mencapai taraf pembelajaran atau pengetahuan tertentu, yang dari situ tibalah waktunya untuk maju ke taraf berikutnya. (Baca juga: Semangat Kebangkitan Nasional Selama Pandemi)
Jadi, dengan kesunyian yang diikuti kebosanan, ada harta karun ide, inspirasi, dan kreativitas. Inilah yang diharapkan muncul ketika kita terpaksa tinggal sementara di kesunyian. Bersahabat dengan rasa bosan yang, percayalah, suatu ketika justru keduanya kita rindukan.
Tak percaya? Coba telaah: semakin banyak orang kota yang merindukan sunyi pedesaan, bahkan rela membayar mahal untuk mendapatkannya. Berapa banyak orang sibuk yang saat ini belajar yoga dan kontemplasi, semata untuk memastikan bahwa ia bisa beroleh sunyi, beroleh tenang, dan hanya bersama pikiran serta hatinya sendiri.
Ruang bagi Kesendirian
Jadi, ketika lebaran kali ini terpaksa sunyi, layakkah kita terus merutuki? Cobalah kita melihat dari sebalik sisi. Tak sekadar melihat dari arah “kiri” alias negative thinking. Tapi geserlah juga pandangan dari arah “kanan”. Positive thinking.
PSBB, #stayathome, lockdown, dan sejenisnya yang harus kita lakukan saat ini, yakini tak ada seujung kuku dari apa yang pernah dialami Ashabul Kahfi; tujuh pemuda yang di-“lockdown” oleh Allah selama 309 tahun di dalam gua rapat dengan hanya satu lubang kecil tempat masuk sinar matahari, demi terhindar dari kejaran Raja Diqyanus yang zalim dan berusaha menghancurkan keimanan mereka.
Kita memang tidak tahu kapan “anugerah sunyi” ini akan berakhir. Tuhan yang menurunkannya, dan Ia sendiri yang akan mengangkatnya. Bisa sebentar, pun bisa sangat lama. Namun, justru karena kita tidak tahu kapan akhir pandemi itulah sangat sayang apabila kita tidak bisa mengambil secuil pun hikmah dari pelajaran penting ini. Merugi besar rasanya jika tidak ada yang bisa kita petik dari peristiwa ini, kecuali rasa takut, khawatir, jengkel, dan emosi. (Baca juga: Dedy Corbuzier Beberkan Tujuannya Wawancara Siti Fadilah Supari)
Bahwa sunyi dan sendiri adalah template yang sangat baik untuk melakukan kontemplasi. Mengoptimalkan fungsi seluruh indera jiwa dan ragawi yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan menanyakan berbagai makna fragmen kehidupan kepada narasumber sejati: Tuhan, melalui apa yang disebut dengan hati nurani. Dalam kesunyian dan kesendirian itulah kita punya waktu untuk menjadi diri sebenar-benar diri sendiri. Bukan diri yang terpaksa menjadi diri berbeda karena “tuntutan” orang lain, hingga seorang Ralph Waldo Emerson—esais, penyair, dan pemimpin gerakan transendentalisme di Amerika Serikat—pun berkata, “Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus mendorongmu menjadi orang lain adalah prestasi besar.”
Di tengah anjuran untuk tetap tinggal di rumah, di antara ke(sok)sibukan work from home, di benaman pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tak dimungkiri muncul pula rasa bosan. Dan, ketika terma bosan itu menyerang kita mengeluh. Ingin berontak. Ingin segera “bebas”, yang pada akhirnya menuntun kita pada kenekatan beraktivitas di tengah ancaman kesehatan.
Padahal, mestinya bosan itu mendorong seseorang menjadi kreatif. Berbagai temuan baru yang mempermudah kehidupan (meski kadang tetap saja ada yang menganggap mempersulit), sesungguhnya muncul dari perasaan bosan terhadap cara yang begitu-begitu saja. Yang lambat, yang monoton, dan yang tak menantang lagi. Dari rasa bosan itulah manusia berusaha membuat simulasi-simulasi baru. Manusia terstimulasi. Dorongan berubah yang kerap hanya dianggap keinginan untuk maju, sesungguhnya mengandung peran rasa bosan di sebaliknya. Desi Anwar membuat definisi menarik soal kebosanan positif itu: cara otak mengatakan bahwa kita sudah mencapai taraf pembelajaran atau pengetahuan tertentu, yang dari situ tibalah waktunya untuk maju ke taraf berikutnya. (Baca juga: Semangat Kebangkitan Nasional Selama Pandemi)
Jadi, dengan kesunyian yang diikuti kebosanan, ada harta karun ide, inspirasi, dan kreativitas. Inilah yang diharapkan muncul ketika kita terpaksa tinggal sementara di kesunyian. Bersahabat dengan rasa bosan yang, percayalah, suatu ketika justru keduanya kita rindukan.
Tak percaya? Coba telaah: semakin banyak orang kota yang merindukan sunyi pedesaan, bahkan rela membayar mahal untuk mendapatkannya. Berapa banyak orang sibuk yang saat ini belajar yoga dan kontemplasi, semata untuk memastikan bahwa ia bisa beroleh sunyi, beroleh tenang, dan hanya bersama pikiran serta hatinya sendiri.
Ruang bagi Kesendirian
Jadi, ketika lebaran kali ini terpaksa sunyi, layakkah kita terus merutuki? Cobalah kita melihat dari sebalik sisi. Tak sekadar melihat dari arah “kiri” alias negative thinking. Tapi geserlah juga pandangan dari arah “kanan”. Positive thinking.
PSBB, #stayathome, lockdown, dan sejenisnya yang harus kita lakukan saat ini, yakini tak ada seujung kuku dari apa yang pernah dialami Ashabul Kahfi; tujuh pemuda yang di-“lockdown” oleh Allah selama 309 tahun di dalam gua rapat dengan hanya satu lubang kecil tempat masuk sinar matahari, demi terhindar dari kejaran Raja Diqyanus yang zalim dan berusaha menghancurkan keimanan mereka.
Kita memang tidak tahu kapan “anugerah sunyi” ini akan berakhir. Tuhan yang menurunkannya, dan Ia sendiri yang akan mengangkatnya. Bisa sebentar, pun bisa sangat lama. Namun, justru karena kita tidak tahu kapan akhir pandemi itulah sangat sayang apabila kita tidak bisa mengambil secuil pun hikmah dari pelajaran penting ini. Merugi besar rasanya jika tidak ada yang bisa kita petik dari peristiwa ini, kecuali rasa takut, khawatir, jengkel, dan emosi. (Baca juga: Dedy Corbuzier Beberkan Tujuannya Wawancara Siti Fadilah Supari)
tulis komentar anda