Lebaran Sunyi
loading...
A
A
A
Fajar S Pramono
Peminat Tema Sosial Ekonomi, Alumnus UNS Surakarta
Hal paling membedakan antara suasana lebaran tahun ini dan lebaran-lebaran sebelumnya, jelas masalah kesemarakan. Perayaan lebaran tahun ini tak sesemarak tahun-tahun dulu. Kekurangsemarakan tak hanya berkait dengan ketakutan akan terpaparnya tubuh oleh virus corona (Covid-19), tapi juga karena aturan yang dibuat pemerintah guna meminimalkan penyebaran penyakit oleh makhluk tak kasatmata itu.
Lebaran menjadi sunyi. Sunyi yang sesungguhnya sudah terasa ketika hampir seluruh aktivitas terbatasi sejak sebelum Ramadhan, sepanjang Bulan Suci, bahkan hingga hari ini. Tak ada pergerakan orang pergi dan kembali dari majelis taklim, masjid, atau musala. Tak ada senyum-senyum nan cerah meriah di pagi hari Idul Fitri 1 Syawal 1441 H ini. Sepi. Sunyi. (Baca: Puasa Syawal, Adat Tarim dan Indonesia)
Namun, apakah benar, Lebaran ini sunyi? Bukankah sesungguhnya makna, hikmah dan esensi Lebaran ada di dalam “maqam” kesunyian? Bukankah kebenaran pertobatan, kesungguhan meminta maaf, dan keikhlasan memaafkan adanya justru di hati?
Maka banyak bijak bestari yang mengatakan, sangat mungkin ini adalah bagian dari ingatan dasar yang diberikan Tuhan. Bahwa sesungguhnya, tobat, ikhlas, dan maaf memiliki persemayaman hakiki di dalam hati. Adapun ucapan, cium tangan, pelukan, rangkulan, jabat tangan, dan sebagainya ketika antarsaudara, antarteman berkumpul di hari Lebaran hanyalah simbol artifisial yang sekadar menguatkan. Bukan esensi terdalam.
Seorang kawan menulis puisi indah. Nukilan baitnya sangat baik untuk kita renungkan: Kita berlomba-lomba meramaikan rumah-Nya, tapi apa benar Ia berada di sana? | Kakbah, Vatikan, dan Tembok Ratapan | mendadak sepi karena pandemi | Apakah Tuhan sengaja pergi, enggan untuk dikunjungi? | Pandemi ini mengajarkan kita, menyembah-Nya tidak perlu dengan keramaian yang menyesakkan | Mungkin... | Tuhan ingin kita menjumpainya dalam sunyi (Rozi Pratama Putra Mirsha, “Jendela”).
Kedirian dalam Distraksi
Desi Anwar, yang selama ini kita kenal sebagai jurnalis dan presenter televisi, menulis sebuah buku yang dengan baik bernarasi tentang upaya manusia dalam menemukan jati diri di dunia yang penuh distraksi. Judulnya: Going Offline (2019).
Jika keterbatasan gerak masa pandemi ini menjadi sesuatu yang membuat kita “kesepian”, memaksa kita berjibaku dengan keminiman teman bicara un-virtual, menciptakan kebiasaan baru beribadah dalam kesendirian, maka apa yang ditulis Desi Anwar menemukan relevansinya. Buku ini memang lebih didasari realitas betapa kita sudah menjadi “budak” kehidupan online. Tapi, ada beberapa hal dari buku itu yang bisa dibaca pula sebagai renungan bagi pentingnya sebuah kesendirian, yang tak sengaja diciptakan oleh pandemi.
Bahwa sunyi dan sendiri adalah template yang sangat baik untuk melakukan kontemplasi. Mengoptimalkan fungsi seluruh indera jiwa dan ragawi yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan menanyakan berbagai makna fragmen kehidupan kepada narasumber sejati: Tuhan, melalui apa yang disebut dengan hati nurani. Dalam kesunyian dan kesendirian itulah kita punya waktu untuk menjadi diri sebenar-benar diri sendiri. Bukan diri yang terpaksa menjadi diri berbeda karena “tuntutan” orang lain, hingga seorang Ralph Waldo Emerson—esais, penyair, dan pemimpin gerakan transendentalisme di Amerika Serikat—pun berkata, “Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus mendorongmu menjadi orang lain adalah prestasi besar.”
Di tengah anjuran untuk tetap tinggal di rumah, di antara ke(sok)sibukan work from home, di benaman pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tak dimungkiri muncul pula rasa bosan. Dan, ketika terma bosan itu menyerang kita mengeluh. Ingin berontak. Ingin segera “bebas”, yang pada akhirnya menuntun kita pada kenekatan beraktivitas di tengah ancaman kesehatan.
Padahal, mestinya bosan itu mendorong seseorang menjadi kreatif. Berbagai temuan baru yang mempermudah kehidupan (meski kadang tetap saja ada yang menganggap mempersulit), sesungguhnya muncul dari perasaan bosan terhadap cara yang begitu-begitu saja. Yang lambat, yang monoton, dan yang tak menantang lagi. Dari rasa bosan itulah manusia berusaha membuat simulasi-simulasi baru. Manusia terstimulasi. Dorongan berubah yang kerap hanya dianggap keinginan untuk maju, sesungguhnya mengandung peran rasa bosan di sebaliknya. Desi Anwar membuat definisi menarik soal kebosanan positif itu: cara otak mengatakan bahwa kita sudah mencapai taraf pembelajaran atau pengetahuan tertentu, yang dari situ tibalah waktunya untuk maju ke taraf berikutnya. (Baca juga: Semangat Kebangkitan Nasional Selama Pandemi)
Jadi, dengan kesunyian yang diikuti kebosanan, ada harta karun ide, inspirasi, dan kreativitas. Inilah yang diharapkan muncul ketika kita terpaksa tinggal sementara di kesunyian. Bersahabat dengan rasa bosan yang, percayalah, suatu ketika justru keduanya kita rindukan.
Tak percaya? Coba telaah: semakin banyak orang kota yang merindukan sunyi pedesaan, bahkan rela membayar mahal untuk mendapatkannya. Berapa banyak orang sibuk yang saat ini belajar yoga dan kontemplasi, semata untuk memastikan bahwa ia bisa beroleh sunyi, beroleh tenang, dan hanya bersama pikiran serta hatinya sendiri.
Ruang bagi Kesendirian
Jadi, ketika lebaran kali ini terpaksa sunyi, layakkah kita terus merutuki? Cobalah kita melihat dari sebalik sisi. Tak sekadar melihat dari arah “kiri” alias negative thinking. Tapi geserlah juga pandangan dari arah “kanan”. Positive thinking.
PSBB, #stayathome, lockdown, dan sejenisnya yang harus kita lakukan saat ini, yakini tak ada seujung kuku dari apa yang pernah dialami Ashabul Kahfi; tujuh pemuda yang di-“lockdown” oleh Allah selama 309 tahun di dalam gua rapat dengan hanya satu lubang kecil tempat masuk sinar matahari, demi terhindar dari kejaran Raja Diqyanus yang zalim dan berusaha menghancurkan keimanan mereka.
Kita memang tidak tahu kapan “anugerah sunyi” ini akan berakhir. Tuhan yang menurunkannya, dan Ia sendiri yang akan mengangkatnya. Bisa sebentar, pun bisa sangat lama. Namun, justru karena kita tidak tahu kapan akhir pandemi itulah sangat sayang apabila kita tidak bisa mengambil secuil pun hikmah dari pelajaran penting ini. Merugi besar rasanya jika tidak ada yang bisa kita petik dari peristiwa ini, kecuali rasa takut, khawatir, jengkel, dan emosi. (Baca juga: Dedy Corbuzier Beberkan Tujuannya Wawancara Siti Fadilah Supari)
Cobalah berpikir seperti bait puisi Rozi tadi: mungkin di dalam sunyi, Tuhan sedang menanti. Mungkin di dalam sepi, pintu tobat terdapat. Mungkin di dalam besarnya kesempatan berkumpul dengan keluarga utama, rasa sayang Tuhan mengemuka. Atau justru di dalam jarak yang terpaksa terbentang antarsaudara, kita benar bisa menyadari nikmat pertemuan yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja. Padahal, itu kemurahan hati-Nya. Padahal itu hadiah indah dari-Nya.
Maka, jika kita mampu menempatkan iman dan hati secara tepat atas Lebaran yang sunyi secara fisik ini, sangat mungkin kita bisa menemukan kesemarakan Lebaran di dalam hati. Rasanya, ini saat yang tepat bagi kita untuk evaluasi. Jangan-jangan, lebaran demi lebaran yang sudah kita alami adalah negasi: semarak secara fisik, tapi sunyi di dalam hati.
Wallahu a’lam bishawab.
Peminat Tema Sosial Ekonomi, Alumnus UNS Surakarta
Hal paling membedakan antara suasana lebaran tahun ini dan lebaran-lebaran sebelumnya, jelas masalah kesemarakan. Perayaan lebaran tahun ini tak sesemarak tahun-tahun dulu. Kekurangsemarakan tak hanya berkait dengan ketakutan akan terpaparnya tubuh oleh virus corona (Covid-19), tapi juga karena aturan yang dibuat pemerintah guna meminimalkan penyebaran penyakit oleh makhluk tak kasatmata itu.
Lebaran menjadi sunyi. Sunyi yang sesungguhnya sudah terasa ketika hampir seluruh aktivitas terbatasi sejak sebelum Ramadhan, sepanjang Bulan Suci, bahkan hingga hari ini. Tak ada pergerakan orang pergi dan kembali dari majelis taklim, masjid, atau musala. Tak ada senyum-senyum nan cerah meriah di pagi hari Idul Fitri 1 Syawal 1441 H ini. Sepi. Sunyi. (Baca: Puasa Syawal, Adat Tarim dan Indonesia)
Namun, apakah benar, Lebaran ini sunyi? Bukankah sesungguhnya makna, hikmah dan esensi Lebaran ada di dalam “maqam” kesunyian? Bukankah kebenaran pertobatan, kesungguhan meminta maaf, dan keikhlasan memaafkan adanya justru di hati?
Maka banyak bijak bestari yang mengatakan, sangat mungkin ini adalah bagian dari ingatan dasar yang diberikan Tuhan. Bahwa sesungguhnya, tobat, ikhlas, dan maaf memiliki persemayaman hakiki di dalam hati. Adapun ucapan, cium tangan, pelukan, rangkulan, jabat tangan, dan sebagainya ketika antarsaudara, antarteman berkumpul di hari Lebaran hanyalah simbol artifisial yang sekadar menguatkan. Bukan esensi terdalam.
Seorang kawan menulis puisi indah. Nukilan baitnya sangat baik untuk kita renungkan: Kita berlomba-lomba meramaikan rumah-Nya, tapi apa benar Ia berada di sana? | Kakbah, Vatikan, dan Tembok Ratapan | mendadak sepi karena pandemi | Apakah Tuhan sengaja pergi, enggan untuk dikunjungi? | Pandemi ini mengajarkan kita, menyembah-Nya tidak perlu dengan keramaian yang menyesakkan | Mungkin... | Tuhan ingin kita menjumpainya dalam sunyi (Rozi Pratama Putra Mirsha, “Jendela”).
Kedirian dalam Distraksi
Desi Anwar, yang selama ini kita kenal sebagai jurnalis dan presenter televisi, menulis sebuah buku yang dengan baik bernarasi tentang upaya manusia dalam menemukan jati diri di dunia yang penuh distraksi. Judulnya: Going Offline (2019).
Jika keterbatasan gerak masa pandemi ini menjadi sesuatu yang membuat kita “kesepian”, memaksa kita berjibaku dengan keminiman teman bicara un-virtual, menciptakan kebiasaan baru beribadah dalam kesendirian, maka apa yang ditulis Desi Anwar menemukan relevansinya. Buku ini memang lebih didasari realitas betapa kita sudah menjadi “budak” kehidupan online. Tapi, ada beberapa hal dari buku itu yang bisa dibaca pula sebagai renungan bagi pentingnya sebuah kesendirian, yang tak sengaja diciptakan oleh pandemi.
Bahwa sunyi dan sendiri adalah template yang sangat baik untuk melakukan kontemplasi. Mengoptimalkan fungsi seluruh indera jiwa dan ragawi yang telah Tuhan berikan kepada kita, dan menanyakan berbagai makna fragmen kehidupan kepada narasumber sejati: Tuhan, melalui apa yang disebut dengan hati nurani. Dalam kesunyian dan kesendirian itulah kita punya waktu untuk menjadi diri sebenar-benar diri sendiri. Bukan diri yang terpaksa menjadi diri berbeda karena “tuntutan” orang lain, hingga seorang Ralph Waldo Emerson—esais, penyair, dan pemimpin gerakan transendentalisme di Amerika Serikat—pun berkata, “Menjadi diri sendiri di dunia yang terus-menerus mendorongmu menjadi orang lain adalah prestasi besar.”
Di tengah anjuran untuk tetap tinggal di rumah, di antara ke(sok)sibukan work from home, di benaman pembatasan sosial berskala besar (PSBB), tak dimungkiri muncul pula rasa bosan. Dan, ketika terma bosan itu menyerang kita mengeluh. Ingin berontak. Ingin segera “bebas”, yang pada akhirnya menuntun kita pada kenekatan beraktivitas di tengah ancaman kesehatan.
Padahal, mestinya bosan itu mendorong seseorang menjadi kreatif. Berbagai temuan baru yang mempermudah kehidupan (meski kadang tetap saja ada yang menganggap mempersulit), sesungguhnya muncul dari perasaan bosan terhadap cara yang begitu-begitu saja. Yang lambat, yang monoton, dan yang tak menantang lagi. Dari rasa bosan itulah manusia berusaha membuat simulasi-simulasi baru. Manusia terstimulasi. Dorongan berubah yang kerap hanya dianggap keinginan untuk maju, sesungguhnya mengandung peran rasa bosan di sebaliknya. Desi Anwar membuat definisi menarik soal kebosanan positif itu: cara otak mengatakan bahwa kita sudah mencapai taraf pembelajaran atau pengetahuan tertentu, yang dari situ tibalah waktunya untuk maju ke taraf berikutnya. (Baca juga: Semangat Kebangkitan Nasional Selama Pandemi)
Jadi, dengan kesunyian yang diikuti kebosanan, ada harta karun ide, inspirasi, dan kreativitas. Inilah yang diharapkan muncul ketika kita terpaksa tinggal sementara di kesunyian. Bersahabat dengan rasa bosan yang, percayalah, suatu ketika justru keduanya kita rindukan.
Tak percaya? Coba telaah: semakin banyak orang kota yang merindukan sunyi pedesaan, bahkan rela membayar mahal untuk mendapatkannya. Berapa banyak orang sibuk yang saat ini belajar yoga dan kontemplasi, semata untuk memastikan bahwa ia bisa beroleh sunyi, beroleh tenang, dan hanya bersama pikiran serta hatinya sendiri.
Ruang bagi Kesendirian
Jadi, ketika lebaran kali ini terpaksa sunyi, layakkah kita terus merutuki? Cobalah kita melihat dari sebalik sisi. Tak sekadar melihat dari arah “kiri” alias negative thinking. Tapi geserlah juga pandangan dari arah “kanan”. Positive thinking.
PSBB, #stayathome, lockdown, dan sejenisnya yang harus kita lakukan saat ini, yakini tak ada seujung kuku dari apa yang pernah dialami Ashabul Kahfi; tujuh pemuda yang di-“lockdown” oleh Allah selama 309 tahun di dalam gua rapat dengan hanya satu lubang kecil tempat masuk sinar matahari, demi terhindar dari kejaran Raja Diqyanus yang zalim dan berusaha menghancurkan keimanan mereka.
Kita memang tidak tahu kapan “anugerah sunyi” ini akan berakhir. Tuhan yang menurunkannya, dan Ia sendiri yang akan mengangkatnya. Bisa sebentar, pun bisa sangat lama. Namun, justru karena kita tidak tahu kapan akhir pandemi itulah sangat sayang apabila kita tidak bisa mengambil secuil pun hikmah dari pelajaran penting ini. Merugi besar rasanya jika tidak ada yang bisa kita petik dari peristiwa ini, kecuali rasa takut, khawatir, jengkel, dan emosi. (Baca juga: Dedy Corbuzier Beberkan Tujuannya Wawancara Siti Fadilah Supari)
Cobalah berpikir seperti bait puisi Rozi tadi: mungkin di dalam sunyi, Tuhan sedang menanti. Mungkin di dalam sepi, pintu tobat terdapat. Mungkin di dalam besarnya kesempatan berkumpul dengan keluarga utama, rasa sayang Tuhan mengemuka. Atau justru di dalam jarak yang terpaksa terbentang antarsaudara, kita benar bisa menyadari nikmat pertemuan yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja. Padahal, itu kemurahan hati-Nya. Padahal itu hadiah indah dari-Nya.
Maka, jika kita mampu menempatkan iman dan hati secara tepat atas Lebaran yang sunyi secara fisik ini, sangat mungkin kita bisa menemukan kesemarakan Lebaran di dalam hati. Rasanya, ini saat yang tepat bagi kita untuk evaluasi. Jangan-jangan, lebaran demi lebaran yang sudah kita alami adalah negasi: semarak secara fisik, tapi sunyi di dalam hati.
Wallahu a’lam bishawab.
(ysw)