PPN Hasil Pertanian, Layakkah?
Kamis, 15 Juli 2021 - 12:17 WIB
Singapura, misalnya, mengelompokkan barang yang tidak dikenai PPN berupa properti tempat tinggal, logam berharga, dan barang untuk investasi. Sedangkan jasa yang tidak dikenai PPN terdiri dari jasa keuangan dan sewa properti tempat tinggal.
Thailand mengecualikan barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, serta pupuk, dari pengenaan PPN. Demikian pula jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing property dikecualikan dari pengenaan PPN. Sementara Cina sama sekali tidak memberikan pengecualian PPN baik untuk barang maupun jasa.
Indonesia mengecualikan PPN pada 4 kategori barang dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Empat kategori barang yang tidak dikenai PPN meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk batubara); barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan sejenisnya; serta uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa perhotelan, dan jasa boga atau katering.
Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.
Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.
Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
PPN Hasil Pertanian
Sebelum revisi kedua UU PPN pada tahun 2000, barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya bukan objek PPN alias tidak kena PPN. Hal itu sebagaimana Pasal 4A UU PPN yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 50 Tahun 1994. Demikian juga barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, penangkaran, serta barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
Thailand mengecualikan barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, serta pupuk, dari pengenaan PPN. Demikian pula jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing property dikecualikan dari pengenaan PPN. Sementara Cina sama sekali tidak memberikan pengecualian PPN baik untuk barang maupun jasa.
Indonesia mengecualikan PPN pada 4 kategori barang dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Empat kategori barang yang tidak dikenai PPN meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk batubara); barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan sejenisnya; serta uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa perhotelan, dan jasa boga atau katering.
Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.
Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.
Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
PPN Hasil Pertanian
Sebelum revisi kedua UU PPN pada tahun 2000, barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya bukan objek PPN alias tidak kena PPN. Hal itu sebagaimana Pasal 4A UU PPN yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 50 Tahun 1994. Demikian juga barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, penangkaran, serta barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda