PPN Hasil Pertanian, Layakkah?

Kamis, 15 Juli 2021 - 12:17 WIB
Pegawai DJP Kemenkeu RI, Abdul Hofir. Foto/SINDOnews
Abdul Hofir

Pegawai DJP Kemenkeu RI

ISU mengenai rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako, barang hasil pertanian, dan jasa pendidikan akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di tengah masyarakat. Dari seminar hingga obrolan, dari gedung yang tinggi hingga warung kopi, dari para insinyur sampai tukang sayur.

Keberatan masyarakat terutama karena kondisi perekonomian yang belum membaik akibat pandemi Covid-19. Karena keterbatasan ruang, saya akan mengulas satu hal: PPN hasil pertanian.

Objek dan Bukan Objek PPN



Indonesia resmi menerapkan PPN sejak terbit UU Nomor 8 Tahun 1983 (UU PPN). Undang-undang tersebut mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada tahun 1994, 2000, 2009, dan terakhir melalui UU No. 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja).

Sebagai pajak objektif, PPN semestinya bersifat netral terhadap konsumsi barang dan jasa. Caranya adalah dengan memperlakukan semua barang dan jasa dikenai PPN tanpa kecuali. Dengan demikian, siapapun yang akan mengonsumsi barang dan jasa tidak perlu lagi menimbang-nimbang dan memilih antara yang kena pajak dan yang tidak kena pajak (Untung Sukardji, 2015:75).

Namun, fakta menunjukkan bahwa tidak mungkin peraturan diterapkan tanpa pengecualian sama sekali karena akan menyebabkan UU PPN menjadi tidak realistis. Oleh karena itu, UU PPN memberikan batasan barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN (negative list).

Pengecualian barang atau jasa dari pengenaan PPN bukan hal baru. Negara lain yang menerapkan PPN juga melakukan hal yang sama. Namun, jumlah pengecualian di Indonesia memang sangat banyak. Hal ini menimbulkan anggapan seolah-olah pengecualian menjadi keharusan. Akibatnya, timbul kegaduhan ketika terjadi perubahan suatu barang atau jasa dari yang semula tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN.

Singapura, misalnya, mengelompokkan barang yang tidak dikenai PPN berupa properti tempat tinggal, logam berharga, dan barang untuk investasi. Sedangkan jasa yang tidak dikenai PPN terdiri dari jasa keuangan dan sewa properti tempat tinggal.

Thailand mengecualikan barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, serta pupuk, dari pengenaan PPN. Demikian pula jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing property dikecualikan dari pengenaan PPN. Sementara Cina sama sekali tidak memberikan pengecualian PPN baik untuk barang maupun jasa.

Indonesia mengecualikan PPN pada 4 kategori barang dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Empat kategori barang yang tidak dikenai PPN meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk batubara); barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan sejenisnya; serta uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sedangkan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa perhotelan, dan jasa boga atau katering.

Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.

Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.

Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.

Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.

PPN Hasil Pertanian
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More