PPN Hasil Pertanian, Layakkah?
loading...
A
A
A
Abdul Hofir
Pegawai DJP Kemenkeu RI
ISU mengenai rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako, barang hasil pertanian, dan jasa pendidikan akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di tengah masyarakat. Dari seminar hingga obrolan, dari gedung yang tinggi hingga warung kopi, dari para insinyur sampai tukang sayur.
Keberatan masyarakat terutama karena kondisi perekonomian yang belum membaik akibat pandemi Covid-19. Karena keterbatasan ruang, saya akan mengulas satu hal: PPN hasil pertanian.
Objek dan Bukan Objek PPN
Indonesia resmi menerapkan PPN sejak terbit UU Nomor 8 Tahun 1983 (UU PPN). Undang-undang tersebut mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada tahun 1994, 2000, 2009, dan terakhir melalui UU No. 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja).
Sebagai pajak objektif, PPN semestinya bersifat netral terhadap konsumsi barang dan jasa. Caranya adalah dengan memperlakukan semua barang dan jasa dikenai PPN tanpa kecuali. Dengan demikian, siapapun yang akan mengonsumsi barang dan jasa tidak perlu lagi menimbang-nimbang dan memilih antara yang kena pajak dan yang tidak kena pajak (Untung Sukardji, 2015:75).
Namun, fakta menunjukkan bahwa tidak mungkin peraturan diterapkan tanpa pengecualian sama sekali karena akan menyebabkan UU PPN menjadi tidak realistis. Oleh karena itu, UU PPN memberikan batasan barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN (negative list).
Pengecualian barang atau jasa dari pengenaan PPN bukan hal baru. Negara lain yang menerapkan PPN juga melakukan hal yang sama. Namun, jumlah pengecualian di Indonesia memang sangat banyak. Hal ini menimbulkan anggapan seolah-olah pengecualian menjadi keharusan. Akibatnya, timbul kegaduhan ketika terjadi perubahan suatu barang atau jasa dari yang semula tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN.
Singapura, misalnya, mengelompokkan barang yang tidak dikenai PPN berupa properti tempat tinggal, logam berharga, dan barang untuk investasi. Sedangkan jasa yang tidak dikenai PPN terdiri dari jasa keuangan dan sewa properti tempat tinggal.
Thailand mengecualikan barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, serta pupuk, dari pengenaan PPN. Demikian pula jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing property dikecualikan dari pengenaan PPN. Sementara Cina sama sekali tidak memberikan pengecualian PPN baik untuk barang maupun jasa.
Indonesia mengecualikan PPN pada 4 kategori barang dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Empat kategori barang yang tidak dikenai PPN meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk batubara); barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan sejenisnya; serta uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa perhotelan, dan jasa boga atau katering.
Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.
Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.
Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
PPN Hasil Pertanian
Sebelum revisi kedua UU PPN pada tahun 2000, barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya bukan objek PPN alias tidak kena PPN. Hal itu sebagaimana Pasal 4A UU PPN yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 50 Tahun 1994. Demikian juga barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, penangkaran, serta barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
UU Nomor 18 Tahun 2000 menghapus barang-barang sebagaimana di atas dari kelompok “tidak dikenai PPN”. Dengan kata lain, sejak saat itu barang hasil pertanian dan sejenisnya menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Meskipun demikian, melalui PP No. 12 Tahun 2001 pemerintah memberikan fasilitas “pembebasan PPN” atas impor dan penyerahan di dalam negeri untuk bibit dan/atau benih dari barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan. Demikian juga untuk penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani.
Konsekuensi dari adanya fasilitas ini, pengusaha yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya tidak dapat melakuan pengkreditan pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Sebagai informasi, pajak masukan adalah PPN yang dibayar pengusaha pada saat memperoleh BKP. Lawannya adalah pajak keluaran, yaitu PPN yang dipungut pengusaha dari konsumen saat BKP diserahkan atau dijual. Selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan adalah jumlah yang harus dibayarkan ke kas negara (mekanisme pengkreditan).
Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap pajak keluaran akan berakibat pajak masukan menjadi komponen biaya. Jika biaya dialokasikan ke harga pokok, nilainya akan menaikkan harga jual. Sementara jika dialokasikan ke biaya operasional, akan menimbulkan inefisiensi dan mengurangi laba perusahaan. Itulah mengapa dalam mekanisme PPN, pajak masukan penting bagi pengusaha.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa PPN dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, tidak semua pengusaha wajib menjadi PKP. Hanya pengusaha yang jumlah peredaran brutonya (omzet) melampaui Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Omzet di bawah itu masih dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil.
Jadi, meskipun pengusaha orang pribadi atau badan melakukan penyerahan barang hasil pertanian namun peredaran brutonya belum melampaui Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut belum wajib menjadi PKP dan dia belum wajib memungut PPN atas setiap penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya.
Kesepakatan Pemerintah dan DPR
Penentuan suatu barang dan jasa dikenai PPN atau tidak, sepenuhnya menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam bentuk undang-undang. Namun, sambil menunggu pembahasan di gedung Dewan, ada beberapa kondisi yang patut menjadi perhatian kita semua terutama pascapandemi Covid-19 sehingga kebijakan yang akan diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.
Pertama, banyak negara yang mengenakan PPN atas barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan (sebagian bahkan terhadap barang kebutuhan pokok). Namun, tarif PPN-nya yang lebih rendah (reduced rate) dari tarif umum (standard rate).
Austria mengenakan PPN atas agricultural supplies dengan tarif 13% (tarif standar 20%). Prancis mengenakan PPN atas farm product dengan tarif 10% (tarif standar 20%). Italia mengenakan PPN atas livestock meat and fish dengan tarif 10% (tarif standar 22%). Spanyol mengenakan PPN atas basic foodstuff dengan tarif 4% (tarif standar 21%). Terakhir, Turki mengenakan PPN atas basic food dengan tarif 8% (tarif standar 18%).
Mencontoh negara-negara tersebut, sangat dimungkinkan Indonesia mengenakan PPN atas barang hasil pertanian dan sejenisnya. Namun, dengan tarif yang lebih rendah daripada tarif standar. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah untuk makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, warung, rumah makan, dan sejenisnya karena sudah dikenakan pajak daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009.
Kedua, sejak 2016-2019, rata-rata tax expenditure dari PPN sebesar Rp25,043 triliun untuk barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, kedelai, garam) serta daging, telur, buah, daging, dan sayur-sayuran sebagai non-objek PPN; dan sebesar Rp11,293 triliun untuk barang hasil kelautan dan perikanan akibat fasilitas pembebasan PPN.
Ketiga, kondisi pandemi Covid-19 memaksa pemerintah melakukan pengeluaran yang sangat besar untuk menggerakkan roda dan memulihkan kembali perekenomian melalui berbagai fasilitas perpajakan. Namun, banyaknya fasilitas perpajakan di bidang PPN yang berlaku sebelum pandemi Covid-19 hingga kini patut untuk dipertimbangkan kembali.
Keempat, sebagai pajak tidak langsung PPN seolah membiarkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin karena menerapkan tarif yang sama terhadap barang/jasa yang sama. Akibatnya, timbul regresivitas: makin kaya makin ringan beban pajak. Kini saatnya kita membuat pola tarif PPN yang lebih adil. Pengenaan multitarif PPN mungkin salah satu solusinya.
Kelima, kinerja PPN (C-Efficiency) Indonesia sebesar 63,58% tergolong rendah. Ini berarti Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Sementara Singapura, Thailand, dan Vietnam sudah di atas 80%.
Semoga pemerintah dan DPR dapat membuat kesepakatan yang terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia terutama dalam rangka memulihkan kembali kondisi pererkonomian pascapandemi Covid-19.
Disclaimer: tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
Pegawai DJP Kemenkeu RI
ISU mengenai rencana pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako, barang hasil pertanian, dan jasa pendidikan akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di tengah masyarakat. Dari seminar hingga obrolan, dari gedung yang tinggi hingga warung kopi, dari para insinyur sampai tukang sayur.
Keberatan masyarakat terutama karena kondisi perekonomian yang belum membaik akibat pandemi Covid-19. Karena keterbatasan ruang, saya akan mengulas satu hal: PPN hasil pertanian.
Objek dan Bukan Objek PPN
Indonesia resmi menerapkan PPN sejak terbit UU Nomor 8 Tahun 1983 (UU PPN). Undang-undang tersebut mengalami beberapa kali perubahan yaitu pada tahun 1994, 2000, 2009, dan terakhir melalui UU No. 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja).
Sebagai pajak objektif, PPN semestinya bersifat netral terhadap konsumsi barang dan jasa. Caranya adalah dengan memperlakukan semua barang dan jasa dikenai PPN tanpa kecuali. Dengan demikian, siapapun yang akan mengonsumsi barang dan jasa tidak perlu lagi menimbang-nimbang dan memilih antara yang kena pajak dan yang tidak kena pajak (Untung Sukardji, 2015:75).
Namun, fakta menunjukkan bahwa tidak mungkin peraturan diterapkan tanpa pengecualian sama sekali karena akan menyebabkan UU PPN menjadi tidak realistis. Oleh karena itu, UU PPN memberikan batasan barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN (negative list).
Pengecualian barang atau jasa dari pengenaan PPN bukan hal baru. Negara lain yang menerapkan PPN juga melakukan hal yang sama. Namun, jumlah pengecualian di Indonesia memang sangat banyak. Hal ini menimbulkan anggapan seolah-olah pengecualian menjadi keharusan. Akibatnya, timbul kegaduhan ketika terjadi perubahan suatu barang atau jasa dari yang semula tidak dikenai PPN menjadi dikenai PPN.
Singapura, misalnya, mengelompokkan barang yang tidak dikenai PPN berupa properti tempat tinggal, logam berharga, dan barang untuk investasi. Sedangkan jasa yang tidak dikenai PPN terdiri dari jasa keuangan dan sewa properti tempat tinggal.
Thailand mengecualikan barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, serta pupuk, dari pengenaan PPN. Demikian pula jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing property dikecualikan dari pengenaan PPN. Sementara Cina sama sekali tidak memberikan pengecualian PPN baik untuk barang maupun jasa.
Indonesia mengecualikan PPN pada 4 kategori barang dan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Empat kategori barang yang tidak dikenai PPN meliputi barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya (tidak termasuk batubara); barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, rumah makan, warung, dan sejenisnya; serta uang, emas batangan, dan surat berharga.
Sedangkan 17 jenis jasa yang tidak dikenai PPN antara lain jasa pelayanan kesehatan medik, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa perhotelan, dan jasa boga atau katering.
Banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan dari pemungutan PPN mengakibatkan dampak ekonomi berupa distorsi ekonomi, tax incidence, dampak sosial, dan tentunya dampak terhadap penerimaan pajak akibat tingginya belanja pajak atau tax expenditure.
Tax expenditure didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus yang berbeda dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Dengan kata lain, tax expenditure merupakan jumlah pajak yang mestinya diterima oleh pemerintah, tapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas sehingga tidak perlu disetorkan ke kas negara.
Dalam Tax Expenditure Report (TER) 2019 yang dibuat oleh BKF Kemenkeu disebutkan bahwa jumlah tax expenditure di bidang PPN mencapai Rp166,92 triliun. Sebelum itu, tax expenditure PPN berjumlah Rp142,81 triliun pada tahun 2018 dan Rp132,84 triliun pada tahun 2017.
Angka tersebut berasal dari fasilitas PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omset sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun dan juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat seperti barang kebutuhan pokok, jasa transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
PPN Hasil Pertanian
Sebelum revisi kedua UU PPN pada tahun 2000, barang hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya bukan objek PPN alias tidak kena PPN. Hal itu sebagaimana Pasal 4A UU PPN yang dijabarkan lebih lanjut dalam PP Nomor 50 Tahun 1994. Demikian juga barang hasil peternakan, perburuan/penangkapan, penangkaran, serta barang hasil penangkapan atau budidaya perikanan yang diambil langsung dari sumbernya.
UU Nomor 18 Tahun 2000 menghapus barang-barang sebagaimana di atas dari kelompok “tidak dikenai PPN”. Dengan kata lain, sejak saat itu barang hasil pertanian dan sejenisnya menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Meskipun demikian, melalui PP No. 12 Tahun 2001 pemerintah memberikan fasilitas “pembebasan PPN” atas impor dan penyerahan di dalam negeri untuk bibit dan/atau benih dari barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan. Demikian juga untuk penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani.
Konsekuensi dari adanya fasilitas ini, pengusaha yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya tidak dapat melakuan pengkreditan pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Sebagai informasi, pajak masukan adalah PPN yang dibayar pengusaha pada saat memperoleh BKP. Lawannya adalah pajak keluaran, yaitu PPN yang dipungut pengusaha dari konsumen saat BKP diserahkan atau dijual. Selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan adalah jumlah yang harus dibayarkan ke kas negara (mekanisme pengkreditan).
Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap pajak keluaran akan berakibat pajak masukan menjadi komponen biaya. Jika biaya dialokasikan ke harga pokok, nilainya akan menaikkan harga jual. Sementara jika dialokasikan ke biaya operasional, akan menimbulkan inefisiensi dan mengurangi laba perusahaan. Itulah mengapa dalam mekanisme PPN, pajak masukan penting bagi pengusaha.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa PPN dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, tidak semua pengusaha wajib menjadi PKP. Hanya pengusaha yang jumlah peredaran brutonya (omzet) melampaui Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Omzet di bawah itu masih dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil.
Jadi, meskipun pengusaha orang pribadi atau badan melakukan penyerahan barang hasil pertanian namun peredaran brutonya belum melampaui Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut belum wajib menjadi PKP dan dia belum wajib memungut PPN atas setiap penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya.
Kesepakatan Pemerintah dan DPR
Penentuan suatu barang dan jasa dikenai PPN atau tidak, sepenuhnya menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam bentuk undang-undang. Namun, sambil menunggu pembahasan di gedung Dewan, ada beberapa kondisi yang patut menjadi perhatian kita semua terutama pascapandemi Covid-19 sehingga kebijakan yang akan diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.
Pertama, banyak negara yang mengenakan PPN atas barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan (sebagian bahkan terhadap barang kebutuhan pokok). Namun, tarif PPN-nya yang lebih rendah (reduced rate) dari tarif umum (standard rate).
Austria mengenakan PPN atas agricultural supplies dengan tarif 13% (tarif standar 20%). Prancis mengenakan PPN atas farm product dengan tarif 10% (tarif standar 20%). Italia mengenakan PPN atas livestock meat and fish dengan tarif 10% (tarif standar 22%). Spanyol mengenakan PPN atas basic foodstuff dengan tarif 4% (tarif standar 21%). Terakhir, Turki mengenakan PPN atas basic food dengan tarif 8% (tarif standar 18%).
Mencontoh negara-negara tersebut, sangat dimungkinkan Indonesia mengenakan PPN atas barang hasil pertanian dan sejenisnya. Namun, dengan tarif yang lebih rendah daripada tarif standar. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah untuk makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, warung, rumah makan, dan sejenisnya karena sudah dikenakan pajak daerah berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009.
Kedua, sejak 2016-2019, rata-rata tax expenditure dari PPN sebesar Rp25,043 triliun untuk barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, kedelai, garam) serta daging, telur, buah, daging, dan sayur-sayuran sebagai non-objek PPN; dan sebesar Rp11,293 triliun untuk barang hasil kelautan dan perikanan akibat fasilitas pembebasan PPN.
Ketiga, kondisi pandemi Covid-19 memaksa pemerintah melakukan pengeluaran yang sangat besar untuk menggerakkan roda dan memulihkan kembali perekenomian melalui berbagai fasilitas perpajakan. Namun, banyaknya fasilitas perpajakan di bidang PPN yang berlaku sebelum pandemi Covid-19 hingga kini patut untuk dipertimbangkan kembali.
Keempat, sebagai pajak tidak langsung PPN seolah membiarkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin karena menerapkan tarif yang sama terhadap barang/jasa yang sama. Akibatnya, timbul regresivitas: makin kaya makin ringan beban pajak. Kini saatnya kita membuat pola tarif PPN yang lebih adil. Pengenaan multitarif PPN mungkin salah satu solusinya.
Kelima, kinerja PPN (C-Efficiency) Indonesia sebesar 63,58% tergolong rendah. Ini berarti Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Sementara Singapura, Thailand, dan Vietnam sudah di atas 80%.
Semoga pemerintah dan DPR dapat membuat kesepakatan yang terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia terutama dalam rangka memulihkan kembali kondisi pererkonomian pascapandemi Covid-19.
Disclaimer: tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
(kri)