PPN Hasil Pertanian, Layakkah?
Kamis, 15 Juli 2021 - 12:17 WIB
UU Nomor 18 Tahun 2000 menghapus barang-barang sebagaimana di atas dari kelompok “tidak dikenai PPN”. Dengan kata lain, sejak saat itu barang hasil pertanian dan sejenisnya menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Meskipun demikian, melalui PP No. 12 Tahun 2001 pemerintah memberikan fasilitas “pembebasan PPN” atas impor dan penyerahan di dalam negeri untuk bibit dan/atau benih dari barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan. Demikian juga untuk penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani.
Konsekuensi dari adanya fasilitas ini, pengusaha yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya tidak dapat melakuan pengkreditan pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Sebagai informasi, pajak masukan adalah PPN yang dibayar pengusaha pada saat memperoleh BKP. Lawannya adalah pajak keluaran, yaitu PPN yang dipungut pengusaha dari konsumen saat BKP diserahkan atau dijual. Selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan adalah jumlah yang harus dibayarkan ke kas negara (mekanisme pengkreditan).
Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap pajak keluaran akan berakibat pajak masukan menjadi komponen biaya. Jika biaya dialokasikan ke harga pokok, nilainya akan menaikkan harga jual. Sementara jika dialokasikan ke biaya operasional, akan menimbulkan inefisiensi dan mengurangi laba perusahaan. Itulah mengapa dalam mekanisme PPN, pajak masukan penting bagi pengusaha.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa PPN dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, tidak semua pengusaha wajib menjadi PKP. Hanya pengusaha yang jumlah peredaran brutonya (omzet) melampaui Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Omzet di bawah itu masih dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil.
Jadi, meskipun pengusaha orang pribadi atau badan melakukan penyerahan barang hasil pertanian namun peredaran brutonya belum melampaui Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut belum wajib menjadi PKP dan dia belum wajib memungut PPN atas setiap penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya.
Kesepakatan Pemerintah dan DPR
Penentuan suatu barang dan jasa dikenai PPN atau tidak, sepenuhnya menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam bentuk undang-undang. Namun, sambil menunggu pembahasan di gedung Dewan, ada beberapa kondisi yang patut menjadi perhatian kita semua terutama pascapandemi Covid-19 sehingga kebijakan yang akan diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.
Pertama, banyak negara yang mengenakan PPN atas barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan (sebagian bahkan terhadap barang kebutuhan pokok). Namun, tarif PPN-nya yang lebih rendah (reduced rate) dari tarif umum (standard rate).
Meskipun demikian, melalui PP No. 12 Tahun 2001 pemerintah memberikan fasilitas “pembebasan PPN” atas impor dan penyerahan di dalam negeri untuk bibit dan/atau benih dari barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran, atau perikanan. Demikian juga untuk penyerahan barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani.
Konsekuensi dari adanya fasilitas ini, pengusaha yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya tidak dapat melakuan pengkreditan pajak masukan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Sebagai informasi, pajak masukan adalah PPN yang dibayar pengusaha pada saat memperoleh BKP. Lawannya adalah pajak keluaran, yaitu PPN yang dipungut pengusaha dari konsumen saat BKP diserahkan atau dijual. Selisih antara pajak keluaran dan pajak masukan adalah jumlah yang harus dibayarkan ke kas negara (mekanisme pengkreditan).
Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap pajak keluaran akan berakibat pajak masukan menjadi komponen biaya. Jika biaya dialokasikan ke harga pokok, nilainya akan menaikkan harga jual. Sementara jika dialokasikan ke biaya operasional, akan menimbulkan inefisiensi dan mengurangi laba perusahaan. Itulah mengapa dalam mekanisme PPN, pajak masukan penting bagi pengusaha.
Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa PPN dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, tidak semua pengusaha wajib menjadi PKP. Hanya pengusaha yang jumlah peredaran brutonya (omzet) melampaui Rp4,8 miliar setahun saja yang wajib dikukuhkan sebagai PKP. Omzet di bawah itu masih dikategorikan sebagai Pengusaha Kecil.
Jadi, meskipun pengusaha orang pribadi atau badan melakukan penyerahan barang hasil pertanian namun peredaran brutonya belum melampaui Rp4,8 miliar setahun, pengusaha tersebut belum wajib menjadi PKP dan dia belum wajib memungut PPN atas setiap penyerahan barang hasil pertanian dan sejenisnya.
Kesepakatan Pemerintah dan DPR
Penentuan suatu barang dan jasa dikenai PPN atau tidak, sepenuhnya menjadi kesepakatan antara pemerintah dan DPR dalam bentuk undang-undang. Namun, sambil menunggu pembahasan di gedung Dewan, ada beberapa kondisi yang patut menjadi perhatian kita semua terutama pascapandemi Covid-19 sehingga kebijakan yang akan diambil benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat.
Pertama, banyak negara yang mengenakan PPN atas barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan (sebagian bahkan terhadap barang kebutuhan pokok). Namun, tarif PPN-nya yang lebih rendah (reduced rate) dari tarif umum (standard rate).
tulis komentar anda