Dua Pemohon Minta Mahkamah Konstitusi Batalkan UU COVID-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pemohon dengan dua nomor perkara berbeda meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keseluruhan ketentuan Undang-Undang COVID-19 .
Nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dalam hal ini diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif (Pemohon I), pegiat advokasi keterbukaan informasi publik Desiana Samosir (Pemohon II), peneliti dan pegiat dalam advokasi anggaran publik Muhammad Maulana (Pemohon III), dan Presidium Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulawesi Selatan Syamsuddin Alimsyah (Pemohon IV). Kuasa para pemohon yakni Violla Reininda dkk.
Nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai Pemohon I, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 sebagai Pemohon II, Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) sebagai Pemohon III, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) sebagai Pemohon IV, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) sebagai Pemohon V. Kuasa para pemohon yaitu Boyamin Saiman, Kurniawan Adi Nugroho, dkk.( )
Secara umum dua perkara ini, mengajukan uji formil dan uji materiil Undang-Undang 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU COVID-19) terhadap UUD 1945.
Pada persidangan Rabu (8/7/2020) masing-masing para pemohon/kuasa pemohon menyampaikan dan membacakan perbaikan permohonan. Meski nomor perkara berbeda dan diajukan pemohon berbeda, panel hakim yang menangani dengan komposisi yang sama. Majelis diketuai Wahiduddin Adams. Persidangan dua perkara dilangsungkan dalam satu persidangan.
Kuasa pemohon mendalilkan secara formil, pengesahan UU a quo tidak sah karena dibahas pada masa sidang DPR sekarang padahal seharusnya dibahas pada masa sidang DPR berikutnya. Karena penetapan Perppu menjadi UU bukan pada masa sidang DPR berikutnya, maka menjadikan UU penetapan Perppu tidak sah, batal dan tidak mengikat.( )
Selain itu, pada tahapan pembahasan untuk mempertimbangkan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap Perppu 1/2020 menjadi UU faktanya DPD tidak berperan ikut membahas dan memberikan pertimbangan. Padahal dalam praktiknya, DPD telah turut serta dalam pembahasan perppu, misalnya dalam pembahasan Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Berikutnya dari sisi keikutsertaan fraksi partai di DPR. Cara pengambilan keputusan penetapan perppu a quo menjadi UU seharusnya memakai mekanisme voting karena dari awal Fraksi PKS tidak setuju. Dengan tidak memakai mekanisme voting tersebut maka pengambilan keputusan tersebut menjadi tidak sah dan batal.
Secara materiil, kuasa pemohon nomor perkara 37 mendalilkan, di antaranya bahwa norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi pendidikan. Akibatnya, para pemohon kesulitan untuk berpartisipasi melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang dibuatnya untuk meningkatkan pendidikan kerakyatan. Kemudian judul dan Pasal 1 ayat (3) UU Covid-19 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prasyarat kegentingan yang memaksa.
Kuasa pemohon nomor perkara 38 mendalilkan di antaranya, pemberlakuan Pasal 27 Perpu a quo menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut seperti Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK) akan menjadi kebal hukum serta tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara. Sehingga ketentuan a quo akan menjadikan penguasa /pejabat menjadi manusia setengah dewa, otoriter, tidak demokratis dan dijamin tidak khilaf atau salah.
Padahal, menurut pemohon, apapun manusia tidak ada yang sempurna, tidak lepas khilaf dan salah. Karenanya untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan korupsi, maka semua tindakan harus dapat diuji melalui persidangan yang terbuka dan fair. Sehingga, menurut pemohon, kekebalan ini akan mencederai rasa keadilan terhadap seluruh rakyat termasuk para pemohon.
Kuasa pemohon dua nomor perkara ini sepakat bahwa keberlakukan norma-norma dalam UU a quo yang lingkup pengaturannya sangat luas tentu berimplikasi pada bahaya penyalahgunaan keuangan negara. Keluasan ini dapat saja dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas keuangan negara yang tidak mengandung unsur kemendesakan.
Mewakili para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 37, Violla Reininda menyatakan, pihaknya meminta agar MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan lima hal untuk untuk pokok perkara uji materiil. Untuk uji formil, petitum di antaranya kata Violla, agar Majelis Hakim Konstitusi MK untuk memutuskan mengabulkan permohonan pengujian formil pemohon untuk seluruhnya serta menyatakan UU Covid-19 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dalam pokok perkara pengujian materiil, satu menerima permohonan para Pemohon seluruhnya. Atau, Jika Yang Mulia majelis hakim konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ujar Violla di hadapan majelis hakim konstitusi.
Boyamin Saiman sebagai perwakilan para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 38 menyatakan, pihaknya meminta MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan 17 hal untuk pokok perkara uji materiil. Petitum dalam hal pokok perkara uji formil sama seperti yang dimohonkan para pemohon perkara nomor 37.
Petitum dalam hal pokok perkara uji materiil, di antaranya tutur Boyamin, menyatakan Judul UU Nomor 2 Tahun 2020, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, serta Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) dalam lampiran UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Berikutnya tutur Boyamin, menyatakan Pasal 27 ayat (1) lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 sepanjang frasa "…dan bukan merupakan kerugian negara" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Pasal 27 ayat (1) lampiran UU tersebut sepanjang frasa "untuk penyelamatan perekonomian dari krisis" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "…untuk penyelamatan perekonomian dari krisis akibat pandemi COVID-19.
"Menyatakan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan hingga Presiden Republik Indonesia mencabut status 'Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)'," kata Boyamin.
Nomor perkara: 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) dalam hal ini diwakili oleh Fransisca Fitri Kurnia Sri selaku Direktur Eksekutif (Pemohon I), pegiat advokasi keterbukaan informasi publik Desiana Samosir (Pemohon II), peneliti dan pegiat dalam advokasi anggaran publik Muhammad Maulana (Pemohon III), dan Presidium Koalisi Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulawesi Selatan Syamsuddin Alimsyah (Pemohon IV). Kuasa para pemohon yakni Violla Reininda dkk.
Nomor perkara: 38/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai Pemohon I, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 sebagai Pemohon II, Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) sebagai Pemohon III, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) sebagai Pemohon IV, dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) sebagai Pemohon V. Kuasa para pemohon yaitu Boyamin Saiman, Kurniawan Adi Nugroho, dkk.( )
Secara umum dua perkara ini, mengajukan uji formil dan uji materiil Undang-Undang 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU COVID-19) terhadap UUD 1945.
Pada persidangan Rabu (8/7/2020) masing-masing para pemohon/kuasa pemohon menyampaikan dan membacakan perbaikan permohonan. Meski nomor perkara berbeda dan diajukan pemohon berbeda, panel hakim yang menangani dengan komposisi yang sama. Majelis diketuai Wahiduddin Adams. Persidangan dua perkara dilangsungkan dalam satu persidangan.
Kuasa pemohon mendalilkan secara formil, pengesahan UU a quo tidak sah karena dibahas pada masa sidang DPR sekarang padahal seharusnya dibahas pada masa sidang DPR berikutnya. Karena penetapan Perppu menjadi UU bukan pada masa sidang DPR berikutnya, maka menjadikan UU penetapan Perppu tidak sah, batal dan tidak mengikat.( )
Selain itu, pada tahapan pembahasan untuk mempertimbangkan persetujuan atau ketidaksetujuan terhadap Perppu 1/2020 menjadi UU faktanya DPD tidak berperan ikut membahas dan memberikan pertimbangan. Padahal dalam praktiknya, DPD telah turut serta dalam pembahasan perppu, misalnya dalam pembahasan Perppu Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Berikutnya dari sisi keikutsertaan fraksi partai di DPR. Cara pengambilan keputusan penetapan perppu a quo menjadi UU seharusnya memakai mekanisme voting karena dari awal Fraksi PKS tidak setuju. Dengan tidak memakai mekanisme voting tersebut maka pengambilan keputusan tersebut menjadi tidak sah dan batal.
Secara materiil, kuasa pemohon nomor perkara 37 mendalilkan, di antaranya bahwa norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tersebut memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi pendidikan. Akibatnya, para pemohon kesulitan untuk berpartisipasi melalui kegiatan-kegiatan kemanusiaan yang dibuatnya untuk meningkatkan pendidikan kerakyatan. Kemudian judul dan Pasal 1 ayat (3) UU Covid-19 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prasyarat kegentingan yang memaksa.
Kuasa pemohon nomor perkara 38 mendalilkan di antaranya, pemberlakuan Pasal 27 Perpu a quo menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut seperti Komite Kebijakan Sistem Keuangan (KKSK) akan menjadi kebal hukum serta tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara. Sehingga ketentuan a quo akan menjadikan penguasa /pejabat menjadi manusia setengah dewa, otoriter, tidak demokratis dan dijamin tidak khilaf atau salah.
Padahal, menurut pemohon, apapun manusia tidak ada yang sempurna, tidak lepas khilaf dan salah. Karenanya untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan korupsi, maka semua tindakan harus dapat diuji melalui persidangan yang terbuka dan fair. Sehingga, menurut pemohon, kekebalan ini akan mencederai rasa keadilan terhadap seluruh rakyat termasuk para pemohon.
Kuasa pemohon dua nomor perkara ini sepakat bahwa keberlakukan norma-norma dalam UU a quo yang lingkup pengaturannya sangat luas tentu berimplikasi pada bahaya penyalahgunaan keuangan negara. Keluasan ini dapat saja dimanfaatkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas keuangan negara yang tidak mengandung unsur kemendesakan.
Mewakili para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 37, Violla Reininda menyatakan, pihaknya meminta agar MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan lima hal untuk untuk pokok perkara uji materiil. Untuk uji formil, petitum di antaranya kata Violla, agar Majelis Hakim Konstitusi MK untuk memutuskan mengabulkan permohonan pengujian formil pemohon untuk seluruhnya serta menyatakan UU Covid-19 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 sehingga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Dalam pokok perkara pengujian materiil, satu menerima permohonan para Pemohon seluruhnya. Atau, Jika Yang Mulia majelis hakim konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ujar Violla di hadapan majelis hakim konstitusi.
Boyamin Saiman sebagai perwakilan para pemohon dan tim kuasa pemohon nomor perkara 38 menyatakan, pihaknya meminta MK memutuskan tiga hal untuk pokok perkara uji formil dan 17 hal untuk pokok perkara uji materiil. Petitum dalam hal pokok perkara uji formil sama seperti yang dimohonkan para pemohon perkara nomor 37.
Petitum dalam hal pokok perkara uji materiil, di antaranya tutur Boyamin, menyatakan Judul UU Nomor 2 Tahun 2020, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, serta Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) dalam lampiran UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Berikutnya tutur Boyamin, menyatakan Pasal 27 ayat (1) lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 sepanjang frasa "…dan bukan merupakan kerugian negara" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Pasal 27 ayat (1) lampiran UU tersebut sepanjang frasa "untuk penyelamatan perekonomian dari krisis" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "…untuk penyelamatan perekonomian dari krisis akibat pandemi COVID-19.
"Menyatakan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan hingga Presiden Republik Indonesia mencabut status 'Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)'," kata Boyamin.
(abd)