Menjaga Tarif Cukai yang Berkelanjutan

Selasa, 30 April 2024 - 07:49 WIB
loading...
Menjaga Tarif Cukai yang Berkelanjutan
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto: Dok SINDOnews
A A A
Candra Fajri Ananda,
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

KENAIKAN tarif cukai terhadap produk tembakau yang terus menerus terjadi sementara penerimaan cukai mengalami penurunan telah menjadi satu dari beberapa tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini. Fenomena ini telah menjadi sorotan utama dalam kebijakan fiskal dan ekonomi yang menyebabkan perdebatan hangat di kalangan para ahli dan pembuat kebijakan.

Kenaikan tarif cukai biasanya dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan, seperti meningkatkan pendapatan negara, mengurangi konsumsi barang-barang yang dianggap merugikan bagi kesehatan masyarakat. Akan tetapi, meski upaya-upaya ini dijalankan, hasilnya tidak selalu sesuai dengan harapan.

Dalam hal pengendalian konsumsi dan optimalisasi penerimaan negara, pemerintah masih bertumpu pada mekanisme harga, sehingga kenaikan tarif cukai dilakukan setiap tahun. Faktanya, data menunjukkan bahwsa indikator prevelansi perokok usia ≥ 15 tahun tidak mengalami perubahan yang signifikan selama hampir 15 tahun sejak 2007. Hal ini menjadi indikasi bahwa kebijakan kenaikan cukai untuk menekan prevalensi merokok kurang efektif.

Terlebih, sejak tahun lalu penerimaan pemerintah melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT) mengalami penurunan. Berdasarkan data Kemenkeu RI menunjukkan bahwa realisasi penerimaan CHT di tahun 2023 senilai 213,48 triliun hingga akhir Desember 2023. Artinya, realisasi tersebut hanya mencapai 97,6% dari target penerimaan CHT 2023. Pun di awal tahun 2024 saat ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa penerimaan CHT mengalami penurunan.

Data Kemenkeu RI mencatat bahwa penerimaan cukai rokok pada Januari 2024 hanya sebesar Rp 17,89 triliun, atau setara 7,27% dari target APBN 2024. Angka realisasi tersebut mengalami penurunan 2,82% jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 18,41 triliun. Salah satu alasan utama di balik penurunan penerimaan cukai adalah dampaknya terhadap perilaku konsumen.

Faktanya di lapangan menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai rokok tidak menunjukkan dampak positif yang signifikan pada pengurangan konsumsi rokok. Hasil Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) (2021) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kebijakan harga tidak selalu serta merta membuat perokok untuk berhenti merokok. Hasil survey di 4 Provinsi dengan responden sekitar 1.600 responden menunjukkan bahwa sekitar 95% responden akan tetap merokok meskipun harga rokok naik.

Hasil survei tersebut semakin memperkuat argumen bahwa kenaikan harga rokok tidak efektif menurunkan angka prevalensi merokok (usia 15 tahun ke atas) karena variabel harga rokok bukanlah faktor utama yang menyebabkan seseorang memutuskan berhenti merokok.

Berdasarkan fenomena tersebut dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif cukai rokok tidak mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi rokok, melainkan justru akan menimbulkan masalah baru karena masyarakat akan lebih banyak mengkonsumsi rokok ilegal sehingga hal tersebut akan menyebabkan kerugian pada harga pasar rokok.

Pada sisi produsen, kenaikan tarif cukai telah menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi industri rokok legal. Fenomena ini terutama terlihat dalam penurunan volume produksi, yang merupakan tantangan serius bagi produsen rokok legal. Data Kemenkeu RI mencatat bahwa tahun 2023, produksi total rokok sebanyak 318,15 miliar batang atau mengalami penurunan (-1,8%) dari tahun sebelumnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1453 seconds (0.1#10.140)