Lampu Kuning Impor Kedelai
loading...
A
A
A
Menurut FAO, produksi kedelai Indonesia memang terus turun, produksi tertinggi tahun 1992 sebesar 1.86 juta ton, kemudian 2000 turun menjadi 1.01 juta ton, tahun 2010 turun lagi menjadi 907.031 ton. Data Kementrian Pertanian RI selama empat (4) tahun terakhir (2015 sampai 2019) produksi kedelai dalam negeri tidak pernah mencapai 1 juta ton.
Hal ini di perkuat dengan Outlook Pangan dari Kementerian Perdagangan tahun 2015 - 2019 bahwa produksi kedelai Indonesia terus turun, rata - rata 1.49 persen per tahun.
Situasi yang pelik ini diperparah dengan kebijakan pembangunan pertanian yang sentralistis, untuk tanaman pangan terfokus pada padi (beras), pangan lain seperti kedelai, bawang putih, sorgum sebagai subtitusi gandum dan komoditas pangan lainnya yang masih impor relatif tidak massif; juga pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit.
Kendala di Lapangan
Di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, swasembada kedelai pernah dicanangkan, tetapi sekarang tinggallah target. Setidaknya sampai 2024 Indonesia masih akan terus mengimpor jutaan ton kedelai sebagaimana di sampaikan oleh pemerintah
Hal ini berimbas pada penurunan luas panen kedelai sekitar 5% per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2% per tahun.
Pertama, lahan tanam kedelai banyak mengalami alih fungsi dan harus bersaing dengan tanaman strategis lain seperti padi dan jagung. Faktor lain yang mempengaruhi aspek produksi kedelai adalah petani tak memiliki benih standar (benih bermutu), teknologi dan inovasi yang minim, pupuk yang sulit saat dibutuhkan petani, maupun pengendalian hama.
Kedua, petani kurang tertarik menanam kedelai karena rendahnya produktivitas, 1 ha hanya menghasilkan 1.5 sampai 2 ton/100 hari padahal dengan luas serupa, tanaman jagung dapat menghasilkan 5 sampai 6 ton bahkan 7 ton.
Ketiga, minimnya pembinaan petani kedelai dibandingkan petani padi misalnya. Kurangnya pembinaan berdampak pada kedelai dipanen dan dijual terlalu awal dalam kondisi masih sangat muda karena petani membutuhkan uang.
Keempat, mekanisme pasar. Harga jual kedelai yang ditentukan oleh pasar menyulitkan petani untuk melakukan intervensi.
Asosiasi sebagai wadah meningkatkan posisi tawar petani kedelai tidak hanya di hadapan pemerintah namun juga ditingkat pasar.
Inilah masalah-masalah krusial yang harus segera di pecahkan oleh stakeholder terkait. Jika tidak, impor kedelai akan terus terjadi, petani kedelai yang akan merana, dan ketahanan pangan nasional kita menjadi rawan. Apalagi potensi resesi ekonomi global sudah didepan mata. Dalam situasi resesi, ketergantungan pada pangan impor sangat berbahaya. Kalaupun barangnya ada, harganya akan sangat mahal dan akibatnya harga produk turunan kedelai seperti tahu dan tempe akan naik pula.
Hal ini di perkuat dengan Outlook Pangan dari Kementerian Perdagangan tahun 2015 - 2019 bahwa produksi kedelai Indonesia terus turun, rata - rata 1.49 persen per tahun.
Situasi yang pelik ini diperparah dengan kebijakan pembangunan pertanian yang sentralistis, untuk tanaman pangan terfokus pada padi (beras), pangan lain seperti kedelai, bawang putih, sorgum sebagai subtitusi gandum dan komoditas pangan lainnya yang masih impor relatif tidak massif; juga pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit.
Kendala di Lapangan
Di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, swasembada kedelai pernah dicanangkan, tetapi sekarang tinggallah target. Setidaknya sampai 2024 Indonesia masih akan terus mengimpor jutaan ton kedelai sebagaimana di sampaikan oleh pemerintah
Hal ini berimbas pada penurunan luas panen kedelai sekitar 5% per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2% per tahun.
Pertama, lahan tanam kedelai banyak mengalami alih fungsi dan harus bersaing dengan tanaman strategis lain seperti padi dan jagung. Faktor lain yang mempengaruhi aspek produksi kedelai adalah petani tak memiliki benih standar (benih bermutu), teknologi dan inovasi yang minim, pupuk yang sulit saat dibutuhkan petani, maupun pengendalian hama.
Kedua, petani kurang tertarik menanam kedelai karena rendahnya produktivitas, 1 ha hanya menghasilkan 1.5 sampai 2 ton/100 hari padahal dengan luas serupa, tanaman jagung dapat menghasilkan 5 sampai 6 ton bahkan 7 ton.
Ketiga, minimnya pembinaan petani kedelai dibandingkan petani padi misalnya. Kurangnya pembinaan berdampak pada kedelai dipanen dan dijual terlalu awal dalam kondisi masih sangat muda karena petani membutuhkan uang.
Keempat, mekanisme pasar. Harga jual kedelai yang ditentukan oleh pasar menyulitkan petani untuk melakukan intervensi.
Asosiasi sebagai wadah meningkatkan posisi tawar petani kedelai tidak hanya di hadapan pemerintah namun juga ditingkat pasar.
Inilah masalah-masalah krusial yang harus segera di pecahkan oleh stakeholder terkait. Jika tidak, impor kedelai akan terus terjadi, petani kedelai yang akan merana, dan ketahanan pangan nasional kita menjadi rawan. Apalagi potensi resesi ekonomi global sudah didepan mata. Dalam situasi resesi, ketergantungan pada pangan impor sangat berbahaya. Kalaupun barangnya ada, harganya akan sangat mahal dan akibatnya harga produk turunan kedelai seperti tahu dan tempe akan naik pula.