Sampai Kapan Kemelut Tahu-Tempe Berakhir?
loading...

Indonesia kembali dihadapkan pada kenaikan harga kedelai impor. Kondisi ini tidak menguntungkan karena akan mengganggu produksi tahu dan tempe yang sangat dibutuhkan masyarakat. (KORAN SINDO/Wawan Bastian)
A
A
A
KALIMAT pertanyaan pada judul di atas menjadi penegasan ulang sekaligus bentuk skeptisisme atas penanganan kemelut harga tahu dan tempe hari-hari ini. Kita semua tahu, Indonesia saat ini kembali dihadapkan pada kenaikan harga kedelai impor, tepatnya kentara terasa sejak Januari lalu. Pada pekan awal Februari sampai kemarin, harga kedelai impor kian merangkak naik tembus hingga Rp11.240 per kilogram (kg).
Kenaikan ini tentu sangat berdampak luas. Selain tingkat kenaikan yang tajam lantaran pada kondisi normal harga kedelai hanya Rp7.500-8.000/kg, kedelai juga menjadi komoditas utama pangan, terutama tahu dan tempe. Dua jenis makanan ini sudah menjadi favorit orang Indonesia ratusan tahun lamanya. Selain murah, tahu dan tempe juga mengandung gizi yang sangat baik.
Jutaan ton tahu dan tempe dikonsumsi orang Indonesia tiap tahunnya. Bahkan Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (Gakoptindo) memproyeksikan pada 2022 ini produksi tahu dan tempe bisa mencapai 3 juta ton. Namun, proyeksi ini tampaknya bakal meleset. Harga kedelai impor yang mulai merambat naik sejak Januari lalu dan diperkirakan baru melandai pada Mei 2022 membuat target itu berpotensi besar terkoreksi.
Entah fenomena fluktuasi harga ini adalah yang ke berapa kali dan sampai kapan bisa teratasi. Yang kita heran, benarkah pemerintah benar-benar tak punya daya kuat sehingga seolah mudah terombang-ambingkan dengan dalih harga dunia?
Masalah harga ini jelas tidak sesederhana soal angka-angka semata. Imbas harga yang tak henti melonjak ini pasti membuat produksi tempe dan tahu nasional terganggu. Situasi ini makin membuat UMKM perajin tahu dan tempe kian terjepit. Masyarakat juga kian dihadapkan pilihan pelik. Selain minyak goreng, harga-harga pangan satu per satu naik, namun pendapatan mereka umumnya stagnan.
Kenaikan ini tentu sangat berdampak luas. Selain tingkat kenaikan yang tajam lantaran pada kondisi normal harga kedelai hanya Rp7.500-8.000/kg, kedelai juga menjadi komoditas utama pangan, terutama tahu dan tempe. Dua jenis makanan ini sudah menjadi favorit orang Indonesia ratusan tahun lamanya. Selain murah, tahu dan tempe juga mengandung gizi yang sangat baik.
Jutaan ton tahu dan tempe dikonsumsi orang Indonesia tiap tahunnya. Bahkan Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (Gakoptindo) memproyeksikan pada 2022 ini produksi tahu dan tempe bisa mencapai 3 juta ton. Namun, proyeksi ini tampaknya bakal meleset. Harga kedelai impor yang mulai merambat naik sejak Januari lalu dan diperkirakan baru melandai pada Mei 2022 membuat target itu berpotensi besar terkoreksi.
Entah fenomena fluktuasi harga ini adalah yang ke berapa kali dan sampai kapan bisa teratasi. Yang kita heran, benarkah pemerintah benar-benar tak punya daya kuat sehingga seolah mudah terombang-ambingkan dengan dalih harga dunia?
Masalah harga ini jelas tidak sesederhana soal angka-angka semata. Imbas harga yang tak henti melonjak ini pasti membuat produksi tempe dan tahu nasional terganggu. Situasi ini makin membuat UMKM perajin tahu dan tempe kian terjepit. Masyarakat juga kian dihadapkan pilihan pelik. Selain minyak goreng, harga-harga pangan satu per satu naik, namun pendapatan mereka umumnya stagnan.
Lihat Juga :