Ekonomi Kedelai Bukan Masalah Kelas Tempe
loading...
A
A
A
Asriana Ariyanti
Statistisi BPS Kota Bogor
BETAPA ramainya keluhan para ibu pada awal 2021 dengan menghilangnya tempe dan tahu di pasar. Dua komoditas yang sering dijadikan simbol makanan rakyat, makanan sederhana dan hemat tersebut tiba-tiba menjadi primadona perbincangan semua kalangan. Kalangan akademisi yang menyorot nilai ekonomi dan bagaimana teknis budidaya kedelai, kalangan birokrat tentang kebijakan importasi dan arah kebijakan sektor pangan. Masyarakat awam pun mengkhawatirkan ketiadaan tempe tahu dengan berbagai spekulasi kenaikan harga serta kelompok pengusaha yang memikirkan bagaimana kelanjutan bisnisnya terkait dengan kedelai.
Demand dan Supply Kedelai Nasional
Dominasi tahu dan tempe sebagai salah satu sumber protein utama keluarga di Indonesia tidak dapat dimungkiri. Menu ini hampir selalu ada di pola konsumsi masyarakat Indonesia dari kelompok ekonomi bawah hingga kelompok ekonomi atas. Pertumbuhan ekonomi masyarakat juga mengakibatkan perubahan pola konsumsi, yang semula didominasi bahan pangan penghasil energi menjadi konsumsi bahan pangan penghasil protein. Untuk memenuhi kebutuhan proteinnya, masyarakat mengonsumsi protein hewani dan juga protein nabati. Salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah pangan berbahan dasar kedelai.
Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi secara otomatis meningkatkan kebutuhan kedelai sebagai bahan pangan sumber protein. Hal ini secara otomatis mendorong perkembangan sektor industri pangan berbahan baku kedelai juga. Selain kebutuhan untuk memenuhi industri pangan berbasi kedelai bagi masyarakat, kedelai juga sangat dibutuhkan sebagai salah satu komponen pakan ternak yang terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Semakin tinggi produk ternak yang dikonsumsi masyarakat, maka akan semakin meningkat pula kebutuhan bungkil kedelai sebagai pakan ternak.
Menurut data dari Kementerian Pertanian, rata-rata kebutuhan kedelai pada 2019 adalah 2,8 juta ton per tahun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2019 total impor kedelai Indonesia 2,67 juta ton yang berasal dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, Brasil, Myanmar dan Prancis. Impor kedelai dari AS sebesar 2,51 juta ton kedelai atau sebesar 94,1% dan sebesar 5,9% diimpor dari Kanada, Brasil dan Malaysia.
Melihat besarnya total kebutuhan sebesar 2,8 juta ton dengan impor sebesar 2,67 juta ton, maka sebuah fakta bahwa sebagian besar kebutuhan kedelai nasional dipenuhi oleh impor. Kedelai impor berkisar 95,4% dan hanya kurang dari 5% merupakan produksi dalam negeri. BPS mencatat pada awal 2019 produksi kedelai domestik hanya 0,98 juta ton, sangat jauh dari kebutuhan kedelai nasional.
Beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas tanaman kedelai di Indonesia adalah semakin sempitnya lahan pertanian tanaman kedelai serta kondisi iklim tropis yang tidak cocok untuk menghasilkan produktivitas optimal. Made Astawan, Guru Besar Bidang Pangan dan Kesehatan IPB University yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Tempe Indonesia menyebutkan bahwa produktivitas kedelai di Indonesia hanya sekitar 50% dibandingkan produktivitas kedelai di Amerika Serikat. Hal ini berkaitan dengan kedelai yang lebih cocok ditanam di iklim subtropis dengan penyinaran matahari sekitar 16 jam sedangkan di Indonesia hanya 12 jam. Jika di negeri Paman Sam tiap hektare lahan dapat menghasilkan rata-rata 4 ton, maka di Indonesia hanya berkisar 1,5-2 ton.
Selain iklim, tingginya komposisi ongkos produksi tanaman kedelai juga lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan lain seperti padi sawah, padi ladang dan jagung. Menurut BPS, pada setiap hektare lahan produktif, akan menghasilkan nilai produksi kedelai sebesar Rp10.274.310,- dengan ongkos produksi sebesar Rp9.045.850. Proporsi ongkos produksi dibandingkan nilai produksi tanaman kedelai sebesar 88,04% dan hanya memberikan keuntungan pada petani sebesar 11,96% pada tiap musim tanam per hektare lahan. Hal ini tentu di bawah keuntungan jika lahan produktif ditanami jagung yang dapat memberikan keuntungan sebesar 29,12%, padi sawah sebesar 26,77% dan padi ladang sebesar 21,27%. Tingginya ongkos produksi kedelai menyebabkan petani lebih memilih tanaman lain di lahan produktifnya.
Politik Ekonomi Kedelai
Polemik mogoknya pengusaha tempe tahu pada awal 2021 ini membuat masyarakat berspekulasi tentang kondisi ekonomi dan politik nasional. Kembali dipertanyakan berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan perdagangan dan impor kedelai serta kemampuan pemerintah dalam melindungi pengusaha dan konsumen produk berbahan baku kedelai.
Masalah politik ekonomi kedelai bukan saja ditentukan oleh kebijakan nasional semata. Hal ini disebabkan kedelai sebagai komoditas impor yang melibatkan hubungan antarnegara serta dipengaruhi oleh perdagangan global. Dominasi impor kedelai Indonesia dari Amerika Serikat pada akhir 2020 diguncang oleh keterbatasan stok dan kenaikan harga.
Statistisi BPS Kota Bogor
BETAPA ramainya keluhan para ibu pada awal 2021 dengan menghilangnya tempe dan tahu di pasar. Dua komoditas yang sering dijadikan simbol makanan rakyat, makanan sederhana dan hemat tersebut tiba-tiba menjadi primadona perbincangan semua kalangan. Kalangan akademisi yang menyorot nilai ekonomi dan bagaimana teknis budidaya kedelai, kalangan birokrat tentang kebijakan importasi dan arah kebijakan sektor pangan. Masyarakat awam pun mengkhawatirkan ketiadaan tempe tahu dengan berbagai spekulasi kenaikan harga serta kelompok pengusaha yang memikirkan bagaimana kelanjutan bisnisnya terkait dengan kedelai.
Demand dan Supply Kedelai Nasional
Dominasi tahu dan tempe sebagai salah satu sumber protein utama keluarga di Indonesia tidak dapat dimungkiri. Menu ini hampir selalu ada di pola konsumsi masyarakat Indonesia dari kelompok ekonomi bawah hingga kelompok ekonomi atas. Pertumbuhan ekonomi masyarakat juga mengakibatkan perubahan pola konsumsi, yang semula didominasi bahan pangan penghasil energi menjadi konsumsi bahan pangan penghasil protein. Untuk memenuhi kebutuhan proteinnya, masyarakat mengonsumsi protein hewani dan juga protein nabati. Salah satu sumber protein nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah pangan berbahan dasar kedelai.
Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi secara otomatis meningkatkan kebutuhan kedelai sebagai bahan pangan sumber protein. Hal ini secara otomatis mendorong perkembangan sektor industri pangan berbahan baku kedelai juga. Selain kebutuhan untuk memenuhi industri pangan berbasi kedelai bagi masyarakat, kedelai juga sangat dibutuhkan sebagai salah satu komponen pakan ternak yang terus meningkat seiring dengan peningkatan kebutuhan pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Semakin tinggi produk ternak yang dikonsumsi masyarakat, maka akan semakin meningkat pula kebutuhan bungkil kedelai sebagai pakan ternak.
Menurut data dari Kementerian Pertanian, rata-rata kebutuhan kedelai pada 2019 adalah 2,8 juta ton per tahun. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2019 total impor kedelai Indonesia 2,67 juta ton yang berasal dari Amerika Serikat (AS), Kanada, Malaysia, Brasil, Myanmar dan Prancis. Impor kedelai dari AS sebesar 2,51 juta ton kedelai atau sebesar 94,1% dan sebesar 5,9% diimpor dari Kanada, Brasil dan Malaysia.
Melihat besarnya total kebutuhan sebesar 2,8 juta ton dengan impor sebesar 2,67 juta ton, maka sebuah fakta bahwa sebagian besar kebutuhan kedelai nasional dipenuhi oleh impor. Kedelai impor berkisar 95,4% dan hanya kurang dari 5% merupakan produksi dalam negeri. BPS mencatat pada awal 2019 produksi kedelai domestik hanya 0,98 juta ton, sangat jauh dari kebutuhan kedelai nasional.
Beberapa hal yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas tanaman kedelai di Indonesia adalah semakin sempitnya lahan pertanian tanaman kedelai serta kondisi iklim tropis yang tidak cocok untuk menghasilkan produktivitas optimal. Made Astawan, Guru Besar Bidang Pangan dan Kesehatan IPB University yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Tempe Indonesia menyebutkan bahwa produktivitas kedelai di Indonesia hanya sekitar 50% dibandingkan produktivitas kedelai di Amerika Serikat. Hal ini berkaitan dengan kedelai yang lebih cocok ditanam di iklim subtropis dengan penyinaran matahari sekitar 16 jam sedangkan di Indonesia hanya 12 jam. Jika di negeri Paman Sam tiap hektare lahan dapat menghasilkan rata-rata 4 ton, maka di Indonesia hanya berkisar 1,5-2 ton.
Selain iklim, tingginya komposisi ongkos produksi tanaman kedelai juga lebih tinggi dibandingkan tanaman pangan lain seperti padi sawah, padi ladang dan jagung. Menurut BPS, pada setiap hektare lahan produktif, akan menghasilkan nilai produksi kedelai sebesar Rp10.274.310,- dengan ongkos produksi sebesar Rp9.045.850. Proporsi ongkos produksi dibandingkan nilai produksi tanaman kedelai sebesar 88,04% dan hanya memberikan keuntungan pada petani sebesar 11,96% pada tiap musim tanam per hektare lahan. Hal ini tentu di bawah keuntungan jika lahan produktif ditanami jagung yang dapat memberikan keuntungan sebesar 29,12%, padi sawah sebesar 26,77% dan padi ladang sebesar 21,27%. Tingginya ongkos produksi kedelai menyebabkan petani lebih memilih tanaman lain di lahan produktifnya.
Politik Ekonomi Kedelai
Polemik mogoknya pengusaha tempe tahu pada awal 2021 ini membuat masyarakat berspekulasi tentang kondisi ekonomi dan politik nasional. Kembali dipertanyakan berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan perdagangan dan impor kedelai serta kemampuan pemerintah dalam melindungi pengusaha dan konsumen produk berbahan baku kedelai.
Masalah politik ekonomi kedelai bukan saja ditentukan oleh kebijakan nasional semata. Hal ini disebabkan kedelai sebagai komoditas impor yang melibatkan hubungan antarnegara serta dipengaruhi oleh perdagangan global. Dominasi impor kedelai Indonesia dari Amerika Serikat pada akhir 2020 diguncang oleh keterbatasan stok dan kenaikan harga.