Lampu Kuning Impor Kedelai

Kamis, 20 Oktober 2022 - 20:44 WIB
loading...
Lampu Kuning Impor Kedelai
Muhammad Irvan Mahmud Asia (Foto: Ist)
A A A
Muhammad Irvan Mahmud Asia
Penliti Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam

PERMINTAAN akan kedelai terus naik dari waktu ke waktu, terlihat dari rata-rata konsumsi kedelai sebesar 6.59 kg/kapita/tahun dan cenderung meningkat 1,73%/tahun. Sejak 2015 sampai 2022 konsumsi kedelai tidak pernah turun bahkan saat pandemi Covid 19. Namun produksi dalam negeri masih sangat rendah.

Gap inilah yang kemudian oleh pemerintah ditempuh dengan kebijakan impor. Dalam jangka pendek sah-sah saja, namun ini sudah berlangsung puluhan tahun. Tentu ada sesuatu yang salah.

Baca Juga: koran-sindo.com

Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menyebut impor kedelai pada 2022 mencapai 2.84 juta ton. Impor diperlukan dikarenakan produksi kedelai dalam negeri sangat minim bahkan untuk satu bulan saja tidak cukup, produksi kedelai dalam negeri hanya 200.315 ton, sementara kebutuhan setiap bulan di kisaran 248.626 ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor kedelai Indonesia (juta ton) dari tahun 2015 sampai 2021 secara berturut-turut 2.26, 2.26, 2.7, 2.59, 2.67, 2.48, 2.49. Angka-angka tersebut sebenarnya tidak ada yang berubah bahkan semakin buruk sejak Indonesia mengalami defisit kedelai untuk pertama kali 1976 dengan mengimpor 171.192 ton. Food Agriculture Organization (FAO) mencatat impor kedelai Indonesia 1986 membengkak menjadi 359.271 ton, 1996 menjadi 746.329 ton, 2006 naik menjadi 1.13 juta ton, di 2010 naik menjadi 1.74 juta ton, dan 2014 1.96 juta ton.

Perkiraan Kementrian Perdagangan kenaikan impor kedelai kita rata - rata 3.57 %setiap tahunnya.

Nilai transaksi impor 2015 sampai 2021 cukup fantastis, mencapai puluhan triliun rupiah. Secara berturut-turut impor (dalam USS) tahun 2015 senilai 1,03miliar, tahun 2016 960juta, tahun 2017 1.15miliar, tahun 2018 1.1miliar, tahun 2019 1.06miliar, tahun 2020 1miliar, dan tahun 2021 1.48miliar. Nilai transaksi tahun 2021 tersebut menjadikan impor kedelai menjadi terbesar kedua setelah gandum dan gula.

Nilai Import Dependency Ratio (IDR) yaitu rasio ketergantungan terhadap impor kedelai Indonesia pada 015 sampai 2019 mencapai 78.44%. Tingkat ketergantungan ini sangat tinggi mendekati angka 90%, artinya sudah mendekati lampu merah.

Adapun nilai Self Sufficiency Ratio (SSR) sebesar 21.61% per tahunnya. SSR adalah nilai rasio kemampuan pemerintah menyediakan kedelai dari hasil produksi dalam negeri sebesar 9.15% dari total kebutuhan.

Menurut FAO, produksi kedelai Indonesia memang terus turun, produksi tertinggi tahun 1992 sebesar 1.86 juta ton, kemudian 2000 turun menjadi 1.01 juta ton, tahun 2010 turun lagi menjadi 907.031 ton. Data Kementrian Pertanian RI selama empat (4) tahun terakhir (2015 sampai 2019) produksi kedelai dalam negeri tidak pernah mencapai 1 juta ton.

Hal ini di perkuat dengan Outlook Pangan dari Kementerian Perdagangan tahun 2015 - 2019 bahwa produksi kedelai Indonesia terus turun, rata - rata 1.49 persen per tahun.

Situasi yang pelik ini diperparah dengan kebijakan pembangunan pertanian yang sentralistis, untuk tanaman pangan terfokus pada padi (beras), pangan lain seperti kedelai, bawang putih, sorgum sebagai subtitusi gandum dan komoditas pangan lainnya yang masih impor relatif tidak massif; juga pemerintah lebih mengutamakan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas seperti kelapa sawit.

Kendala di Lapangan
Di periode pertama pemerintahan Joko Widodo, swasembada kedelai pernah dicanangkan, tetapi sekarang tinggallah target. Setidaknya sampai 2024 Indonesia masih akan terus mengimpor jutaan ton kedelai sebagaimana di sampaikan oleh pemerintah

Hal ini berimbas pada penurunan luas panen kedelai sekitar 5% per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2% per tahun.

Pertama, lahan tanam kedelai banyak mengalami alih fungsi dan harus bersaing dengan tanaman strategis lain seperti padi dan jagung. Faktor lain yang mempengaruhi aspek produksi kedelai adalah petani tak memiliki benih standar (benih bermutu), teknologi dan inovasi yang minim, pupuk yang sulit saat dibutuhkan petani, maupun pengendalian hama.

Kedua, petani kurang tertarik menanam kedelai karena rendahnya produktivitas, 1 ha hanya menghasilkan 1.5 sampai 2 ton/100 hari padahal dengan luas serupa, tanaman jagung dapat menghasilkan 5 sampai 6 ton bahkan 7 ton.

Ketiga, minimnya pembinaan petani kedelai dibandingkan petani padi misalnya. Kurangnya pembinaan berdampak pada kedelai dipanen dan dijual terlalu awal dalam kondisi masih sangat muda karena petani membutuhkan uang.
Keempat, mekanisme pasar. Harga jual kedelai yang ditentukan oleh pasar menyulitkan petani untuk melakukan intervensi.

Asosiasi sebagai wadah meningkatkan posisi tawar petani kedelai tidak hanya di hadapan pemerintah namun juga ditingkat pasar.

Inilah masalah-masalah krusial yang harus segera di pecahkan oleh stakeholder terkait. Jika tidak, impor kedelai akan terus terjadi, petani kedelai yang akan merana, dan ketahanan pangan nasional kita menjadi rawan. Apalagi potensi resesi ekonomi global sudah didepan mata. Dalam situasi resesi, ketergantungan pada pangan impor sangat berbahaya. Kalaupun barangnya ada, harganya akan sangat mahal dan akibatnya harga produk turunan kedelai seperti tahu dan tempe akan naik pula.

Mungkinkah Swasembada?
Potensi untuk swasembada kedelai tentu saja ada, beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam upaya swasembada kedelai adalah: Pertama, Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis, harus memiliki roadmap, sebuah petan jalan dan program aksi swasembada kedelai.

Intensifikasi dapat dilakukan dengan peningkatan kesuburan tanah, peningkatan kualitas benih, pencegahan dan penanggulangan hama, pemanfaatan teknologi, pengembangan inovasi, dan sebagainya. Untuk ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pencetakan lahan baru dan/atau pengalihan fungsi lahan nonpertanian pangan menjadi lahan kedelai.

Perluasan ini untuk menjawab kebutuhan nasional yang pertahunnya hampir 3 juta ton. Sebagai catatan, pada 2022 ini pemerintah menargetkan produksi kedelai dalam negeri 1 juta ton yang ditanami dilahan monokultur seluas 650.000 ha (jika ini ditamani semua). Masih ada kekurangan 1.2 sampai 1.35 juta ton.

Kedua, perlindungan lahan kedelai yang sudah ada. Harus ada penegasan kuat sebagaimana perlindungan lahan baku sawah (LBS).

Ketiga, pelatihan dari dinas pertanian harus di tingkatkan, penyuluhan harus di masifkan. Karena keterbatasan jumlah penyuluh maka langkah terdekat adalah meningkatkan jumlah penyuluh, setelah itu meningkatkan kapasitas SDM di lingkup dinas pertanian.

Keempat, untuk meningkatkan produktivitas > 2 ton/ha sebenarnya tidak sulit, varietas unggul kedelai yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian yang sebenarnya tidak kalah kualitasnya dengan kedelai impor, potensi hasil > 2 ton/ha, umur panen lebih cepat dan beragama keunggulan lainnya.

Artinya kedelai lokal ini sejalan dengan kampanye kita selama ini untuk mengurangi GMO. Pekerjaan rumahnya tinggal membangun sistem perbenihan agar ketersediaan varietas yang dimaksud terjaga sepanjang musim tanam.

Dibutuhkan good will dari pemerintah apakah mau menggunakan kreasi varietas lokal yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti di negeri ini, ataukah lebih enak kedelai impor karena ada margin yang bisa didapatkan rent seekers.

Kelima, harga pasar. Petani enggan menanam kedelai karena tidak ada insentif, sementara harga jualnya tak mampu menutup ongkos produksi. Pemerintah tidak perlu ragu untuk melindungi petani kedelai karena di negara lain pun, pemerintahnya juga melindungi hulu maupun produknya.

Negara Brazil mampu swasembada kedelai juga karena didukung kebijakan pemerintahnya dalam menciptakan pasar yang baik. Apalagi didukung dengan peningkatan produktivitas minimal 2 ton/ha akan dapat meningkatkan keunggulan komparatif kedelai.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1582 seconds (0.1#10.140)