Kebijakan Swasembada Kedelai

Jum'at, 15 Januari 2021 - 04:25 WIB
loading...
Kebijakan Swasembada...
Khudori (Foto: Istimewa)
A A A
Khudori
Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian, dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

PERTANYAAN bernada heran kembali muncul: mengapa impor kedelai masih saja besar jumlahnya? Produksi kedelai domestik hanya mampu menopang sekitar 30% dari kebutuhan kedelai setahun: 2,8-3 juta ton. Bukankah program swasembada kedelai sudah dicanangkan sejak dua dekade lalu? Bukankah anggaran pajale (padi, jagung, kedelai) lebih besar dari komoditas lainnya? Pertanyaan berisi gugatan ini muncul seiring mogok produsen tahu-tempe selama 3 hari (1-3 Januari) karena harga kedelai impor naik tinggi.

Adalah benar swasembada kedelai sudah ditargetkan cukup lama. Akan tetapi, tanda-tanda swasembada kedelai bakal tercapai masih jauh. Alih-alih kemajuan, yang terjadi justru stagnasi, bahkan kemunduran. Stagnasi dan kemunduran tampak dari produksi. Pada 1992 luas panen kedelai masih 1.665.706 hektare, tapi pada 2018 tinggal 680.373 hektare (40,8% dari 1992). Produktivitas kedelai hanya 1,4-1,5 ton/ha, tak sampai setengah produktivitas negara eksportir utama kedelai. Konsekuensinya produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) tinggal 0,982 juta ton (2018) atau tinggal 52,5%.

Melihat angka-angka pencapaian saat ini, sepertinya target swasembada kedelai sulit digapai. Sudah terlalu lama terjadi politik pembiaran (hands-of economic policy) pada sistem insentif dan kebijakan agrobisnis kedelai. Diakui atau tidak, modal sosial petani kedelai telah hancur dan bahkan rusak akibat inkonsistensi kebijakan dan politik pembiaran. Yang terjadi kemudian bukan kemajuan, tapi fenomena dekedelaisasi, yakni proses yang semakin menjauh dari kedelai. Emoh tanam kedelai di petani terus berlanjut.

Di level usaha tani, inkonsistensi muncul karena kebijakan yang mendua terhadap produk hasil rekayasa genetika (genetic modified organism/GMO). Diyakini belum aman dari sisi lingkungan dan kesehatan, pemerintah melarang kedelai transgenik diusahakan di sini. Sebaliknya, impor kedelai transgenik dari Amerika Serikat untuk bahan baku tahu-tempe-kecap melaju di jalan tol tanpa hambatan. Inkonsistensi kebijakan itu berbuah ketergantungan Indonesia nyaris mutlak, sekitar 90%, pada kedelai transgenik dari AS.

Inkonsistensi lain tampak dari absennya insentif buat petani. Petani didorong-dorong agar mau berusaha tani kedelai. Tapi pemerintah lupa merancang insentif agar petani mau kembali bertanam kedelai. Sebagai makhluk ekonomi yang rasional, petani pasti akan bertanam kedelai jika mengusahakan komoditas itu lebih menguntungkan dari yang lain. Saat ini, keuntungan relatif bertanam kedelai jauh tertinggal dari padi, jagung, dan tebu. Padahal, empat komoditas ini bertarung di lahan yang sama, yaitu sawah.

Di level perdagangan, inkonsistensi terjadi karena penyerahan tata niaga kedelai sepenuhnya kepada mekanisme pasar sejak 2015. Siapa pun bisa mengimpor kedelai tanpa harus mengantongi izin dan kuota impor dari pemerintah, juga tak membayar tarif bea masuk. Sampai akhir 2020, pasokan kedelai lancar, harga stabil. Karena lima tahun terakhir harga kedelai impor cukup rendah, produsen tahu-tempe tenang dalam berusaha. Importir senang karena untung terus mengalir, pemerintah juga tak pusing soal inflasi.

Ketika pandemi Covid-19 mengacaukan rantai pasok global, masalah muncul. Plus permintaan kedelai dari China yang melonjak dua kali dari situasi normal, pasar jadi terguncang. Sesuai hukum besi supply-demand, harga terpantik tinggi dan langsung ditransmisikan ke pasar Indonesia. Produsen tahu-tempe mogok, konsumen pun menjerit karena harga tahu-tempe melonjak tinggi. Dininabobokan harga kedelai impor murah, kita terlena membangun kedaulatan dan kemandirian kedelai berbasis domestik.

Seperti pahlawan kesiangan, elite dan pejabat negara berlomba-lomba membela produsen dan konsumen tahu-tempe. Sebaliknya, mereka sama sekali tak bersuara kala petani merugi karena serbuan kedelai impor murah. Mereka justru menuding petani domestik tidak efisien. Mereka menunjuk indikator harga murah kedelai di pasar dunia. Mereka lupa, harga murah kedelai di pasar dunia bukan cermin daya saing dan efisiensi karena terdistorsi oleh subsidi, langsung maupun tidak langsung, di negara produsen.

Daftar inkonsistensi ini tidak perlu dibuat berpanjang-panjang. Apa yang hendak penulis sampaikan bahwa swasembada kedelai tidak mungkin dicapai lewat kebijakan yang parsial. Kebijakan harus padu dan komprehensif. Mulai dari kebijakan anggaran, tata niaga, perdagangan, infrastruktur dan sarana produksi hingga riset. Kala swasembada jadi program pemerintah, semua kementerian/lembaga harus bersatu mewujudkannya. Caranya dengan mengeroyok lewat kebijakan pendukung sesuai tupoksi masing-masing.

Mustahil menyerahkan pencapaian swasembada pada satu kementerian, apalagi kementerian teknis seperti Kementerian Pertanian. Karena kewenangan Kementan amat terbatas: hanya bertanggung jawab urusan on-farm. Sementara sisi anggaran, tata niaga, perdagangan, infrastruktur, dan riset diurus K/L lain. Tanda-tanda swasembada kedelai kian menjauh tak lain karena kebijakan yang parsial. Dipandu Kemenko Perekonomian atau Presiden langsung, orkestra kebijakan swasembada kedelai bisa dimulai ditabuh.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1522 seconds (0.1#10.140)