Politisasi Barat tentang Isu HAM di Xinjiang dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia

Rabu, 12 Oktober 2022 - 15:33 WIB
loading...
A A A
OPM bertujuan untuk memerdekakan diri dari Indonesia karena merasa tidak ada distribusi pembangunan yang merata ke wilayah Papua. Namun, aparat keamanan tentu tidak tinggal diam dengan membalas aksi-aksi kejahatan OPM dengan strategi yang setimpal. Saat ini, Pemimpin Tertinggi OPM yang bernama Jacob Prai berdomisili di Malmo, Swedia sedang mengorganisir OPM dari kantor-kantor perwakilan di negara-negara Eropa dan Australia.

Selain gerakan separatisme yang disebutkan tadi, kejadian yang cukup mengagetkan dan merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat memukul Indonesia adalah peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 silam. Peristiwa tersebut menelan korban jiwa sebanyak 203 orang yang kebanyakan merupakan para turis asing asal Australia dan Inggris, serta turis domestik Indonesia sendiri.

Buntut dari tragedi tersebut, pihak kepolisian mendapatkan 28 tersangka yang kemudian 2 divonis hukuman mati, 5 orang tewas dalam pengejaran aparat, serta lainnya divonis seumur hidup dan masih mendekam di penjara khusus

Dalam hal kestabilan politik, organisasi politik seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) juga sempat eksis di Indonesia selama belasan tahun yang pada akhirnya dibubarkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dengan mengusung tema-tema khilafah, organisasi HTI kerap menggalang opini yang bertujuan penghasutan dan penyebaran kabar palsu di tengah-tengah masyarakat Indonesia. HTI sendiri merupakan organisasi yang terafiliasi Hizbut Tahrir global yang berkantor pusat di London.

Pemerintah Indonesia mengacu pada UU No.5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mendefinisikan bahwa segala tindakan yang berbentuk fisik maupun psikis yang bertujuan untuk menimbulkan teror, menimbulkan korban jiwa, menimbulkan kerusakan dan/atau kehancuran terhadap fasilitas umum, fasilitas internasional, fasilitas lingkungan hidup, objek-objek vital dengan motif. Motif-motif tersebut antara lain ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Kebanyakan dari praktik-praktik terorisme di Indonesia dilatarbelakangi oleh ekstremisme atau radikalisme. Dengan kesemuanya itu bertujuan untuk gerakan politik kekuasaan menggoyang pemerintahan yang sah dan berdaulat. Dengan cara-cara mendistorsi dan mempolitisasi agama, kelompok-kelompok ekstrim itu antara lain ingin mendirikan negara agama versi mereka, serta ingin memisahkan diri dari NKRI.

Pada tahun 2019, indeks potensi radikalisme di Indonesia berada pada angka 38,4%. Kemudian pada tahun 2021 turun di angka 12.2%. Dengan parameter-parameter tertentu, aparat keamanan, kepolisian maupun intelijen, dapat menggunakan data tersebut sebagai latar belakang kontra-terorisme dan kontra-radikalisme yang ada di Indonesia.

Salah satu gejala yang sangat jelas dari kelompok-kelompok radikal itu tadi adalah karena menolak Pancasila sebagai ideologi negara, dan cenderung menginginkan agama sebagai asas tunggal kenegaraan. Kelompok-kelompok radikal itu juga cenderung menghasut dan memfitnah kelompok-kelompok lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka.

Di Indonesia, penanggulangan terorisme diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori. Kategori pencegahan, kategori penindakan, dan kategori pembimbingan. Kategori pencegahan ini secara kontinu dilakukan dan dikampanyekan umumnya untuk kalangan generasi muda dan ekosistem yang kondusif seperti sekolah, kampus, atau komunitas-komunitas kebudayaan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1215 seconds (0.1#10.140)