Politisasi Barat tentang Isu HAM di Xinjiang dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia

Rabu, 12 Oktober 2022 - 15:33 WIB
loading...
Politisasi Barat tentang Isu HAM di Xinjiang dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Harryanto Aryodiguno. Foto/Istimewa
A A A
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang.
Wasekjen VI Bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo

PADA 31 Agustus 2022 PBB melalui Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR ) merilis pernyataan-pernyataan yang sebetulnya merupakan siklus usang yang terus-menerus diembuskan untuk melakukan aksi provokasi melalui media, khususnya ditujukan kepada negara-negara muslim di dunia.

Kemudian, pada tanggal 6 Oktober 2022 UN Human Rights Council melakukan voting yang diikuti oleh 47 anggota menunjukkan bahwa hanya 17 negara yang setuju untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait dengan dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang . Kebanyakan negara-negara yang setuju tersebut merupakan sekutu atau yang lebih dikenal dengan ‘friends of the West’. 19 negara lainnya termasuk Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas populasi muslim dunia memilih untuk tidak pro Barat dalam hal ini.

Sikap yang diambil oleh Indonesia ini lebih mempertimbangkan kenyataan yang terjadi di Xinjiang denan narasi-narasi yang berkembang di Barat, terutama yang terkait dengan genosida dan pelanggaran HAM di Xinjiang. Pelanggaran HAM di Xinjiang memang ada, tetapi tidak sampai dengan tahap genosida seperti yang digambarkan oleh dunia dan media Barat. Selain itu, 11 negara lainnya termasuk India dan Malaysia ternyata lebih memilih untuk abstain dalam voting ini.



Hal ini menunjukkan bahwa ketika suatu isu terus-menerus diembuskan dan diulangi, kemudian juga tidak ada langkah nyata atau bantuan apa pun dari negara-negara Barat untuk menyelesaikan permasalahan Xinjiang, publik lebih memilih untuk yakin bahwa isu Xinjiang sebenarnya isu yang sengaja dibuat-buat untuk menjatuhkan China dengan dalih HAM.

Negara-negara yang abstain dalam hal ini juga cenderung memiliki posisi untuk bersuara. Namun, mereka tidak melihat adanya dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang. Tetapi di sisi lain, karena kebanyakan negara yang abstain itu juga memiliki hubungan ekonomi, bisnis, ataupun politik yang sangat dekat dengan Barat, maka mereka memilih aman dengan cara abstain.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang cukup direpotkan oleh isu-isu keamanan dan kestabilan politik dalam negeri. Banyak isu-isu keamanan yang ditengarai merupakan sel-sel separatisme yang juga kuat dugaannya didukung oleh negara-negara Barat maupun Australia. Dengan geostrategi Indonesia yang sangat baik, niscaya banyak negara-negara tetangga Indonesia yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kestabilan keamanan dan politik. Hal tersebut tentu akan membuat Indonesia menjadi negara yang stabil dan maju, sehingga menjadi rival yang akan merepotkan para negara tetangga tadi.

Keamanan dan kestabilan politik di Indonesia sangat stabil menjelang tahun-tahun politik. Namun, gerakan-gerakan separatisme masih ada di Indonesia. Salah satu kelompok separatis yang masih eksis dan sering memicu konflik adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, OPM ini sarat akan kepentingan politik internasional. Mereka terus-menerus mencari dan mendapatkan dukungan dari negara-negara Asia Pasifik seperti Australia, New Zealand, Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan tentu Amerika Serikat.

Amerika memiliki kepentingan besar di Papua dengan perusahaan Freeport-McMoran-nya. Perusahaan Freeport telah menambang lebih dari 7,1 miliar ton emas dari bumi Papua dan kebanyakan keuntungannya mengalir ke Amerika Serikat. Hal ini diakibatkan oleh kontrak karya yang diteken oleh pemerintah pada tahun 1967, yang pada saat itu perjanjiannya melemahkan posisi Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1496 seconds (0.1#10.140)