HIPMI Dukung Media Baru Diatur dalam UU Penyiaran

Jum'at, 03 Juli 2020 - 16:26 WIB
loading...
HIPMI Dukung Media Baru...
Layanan digital over the top (OTT) atau tayangan berbasis internet dinilai harus tunduk pada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Layanan digital over the top (OTT) atau tayangan berbasis internet dinilai harus tunduk pada Undang-Undang (UU) Penyiaran. Mengingat, layanan OTT telah menjadi bisnis model baru di industri penyiaran, sehingga harus ada yang mengatur dan mengawasinya, khususnya pada konten yang ditayangkan.

(Baca juga: UU Penyiaran, ATVSI Sebut Platform Digital Tanpa Pengawasan Ancam Kedaulatan Bangsa)

Merespons hal ini, Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anthony Leong mendukung jika area UU Penyiaran dilakukan perbaikan, sehingga turut mencakup media baru seperti platform siaran streaming atau penyiaran berbasis internet.

(Baca juga: Uji Materi UU Penyiaran ke MK untuk Kepentingan Nasional Lebih Besar)

Salah satu alasannya adalah agar pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap konten atau informasi yang beredar lewat platform tersebut. "Televisi streaming seperti Netflix, GoPlay, Viu selama ini begitu bebas menayangkan konten atau film tanpa ada yg mengawasi," kata Anthony di Jakarta, Jumat (3/7/2020).

Anthony menjelaskan, sementara itu pada televisi convensional atau juga disebut televisi Free To Air (FTA) sangat diatur kontennya melalui P3SPS (Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

"Sangat dirasakan tidak adanya Equal Playing Field antara OTT dengan FTA tersebut. Ini tidak fair karena adanya aturan untuk penyelenggara konvensional dan tanpa aturan untuk penyiaran streaming. Disamping itu juga, OTT asing yang banyak beredar dinegara kita, banyak mendapatkan penghasilan dari iklan tapi tidak bisa dikenakan pajak," ucapnya.

Pakar komunikasi digital tersebut menambahkan, langkah pengawasan penyiaran pada platform online sudah terlebih dulu dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Turki dan Singapura.

Alasannya kontrol tersebut kata dia, adalah sebagai upaya penegakan hukum, keamanan nasional, hingga moralitas. "Media itu agen sosialisasi, entah media cetak atau media sosial, offline maupun online. Semua sama-sama dapat membentuk dan menggiring opini masyarakat," tuturnya.

"Fungsi pengawasan sebenarnya lebih ke arah untuk menjaga keamanan nasional, bukan sekedar sensor kepantasan pada konten dengan kategori dewasa yang berbau pornografi. Perlu segera dipastikan siapa yang akan mengawasi ke depan juga," tambahnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1599 seconds (0.1#10.140)