Imparsial Minta DPR Hentikan Pembahasan RUU yang Mengancam Demokrasi dan Negara Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - DPR periode 2019-2024 tidak lama lagi akan mengakhiri masa tugasnya pada 30 September 2024. Meski sudah di penghujung masa tugasnya, DPR periode ini justru mempercepat pembahasan sejumlah RUU yang kontroversial, berpotensi merusak demokrasi, negara hukum, dan melanggar konstitusi.
Beberapa RUU yang bermasalah yang perlu dihentikan pembahasan dan pengesahannya meliputi RUU Pilkada, RUU Penyiaran, revisi UU Polri, revisi UU TNI dan RUU Wantimpres.
Koordinator Program Reformasi Sektor Keamanan Imparsial Husein Ahmad mengatakan, pembahasan RUU Pilkada yang membegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan soal batas usia dan syarat dukungan partai calon kepala daerah adalah bentuk sikap politik ugal-ugalan DPR dalam legislasi di ujung masa baktinya. Langkah DPR tersebut nyata-nyata sebagai bentuk pembangkangan konstitusi dan sarat dengan ambisi kekuasaan. Hal ini merusak negara hukum dan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
”DPR dan Pemerintah saat ini tidak boleh membuat UU yang bermasalah yang akan berdampak serius kepada kehidupan negara demokrasi, negara hukum, dan Hak Asasi Manusia di masa depan. Terlebih, RUU tersebut dilakukan pembahasannya secara terburu-buru, tertutup, dan tanpa penyerapan aspirasi publik secara bermakna. Sudah tentu UU yang akan dihasilkan akan sangat jauh dari kepentingan publik dan hanya demi kepentingan segelintir elite kelompok kekuasaan,” ujarnya, Minggu (25/8/2024).
Ahmad menyebut, DPR dan pemerintah juga tengah memaksakan pembahasan sejumlah RUU lain yang bermasalah, di antaranya revisi UU TNI, revisi UU Polri, revisi UU Penyiaran, dan RUU tentang Wantimpres yang akan menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dulu telah dibubarkan oleh gerakan Reformasi 1998. ”Pemaksaan pembahasan terhadap sejumlah revisi UU/RUU tersebut sangat kental aroma kepentingan elite kekuasaan dan kelompok tertentu dan bukan untuk kepentingan rakyat,” katanya.
Revisi UU TNI misalnya, akan memberikan ruang yang luas bagi TNI aktif untuk menduduki berbagai jabatan sipil, menghapus larangan berbisnis bagi anggota TNI, dan memberikan kewenangan penegakan hukum kepada TNI AD. Begitu pula dengan RUU Polri yang memberikan kewenangan penyadapan tanpa terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan.
Selain itu, RUU Pilkada juga akan menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Berbagai RUU tersebut ditujukan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan segelintir elite dan kelompok di negri ini dan bukan untuk kepentingan rakyat.
“Imparsial mendesak Pemerintah, DPR, dan para pimpinan partai politik untuk menghentikan semua proses pembahasan RUU yang bermasalah tersebut, karena selain secara substansi akan merusak demokrasi, negara hukum, melanggar Konstitusi, kental aroma kepentingan elite politik, secara prosedur juga telah mengabaikan hak konstitusional warga negara untuk didengar dan berpartisipasi secara bermakna dalam proses pengambilan kebijakan tersebut,” ucapnya.
Beberapa RUU yang bermasalah yang perlu dihentikan pembahasan dan pengesahannya meliputi RUU Pilkada, RUU Penyiaran, revisi UU Polri, revisi UU TNI dan RUU Wantimpres.
Koordinator Program Reformasi Sektor Keamanan Imparsial Husein Ahmad mengatakan, pembahasan RUU Pilkada yang membegal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan soal batas usia dan syarat dukungan partai calon kepala daerah adalah bentuk sikap politik ugal-ugalan DPR dalam legislasi di ujung masa baktinya. Langkah DPR tersebut nyata-nyata sebagai bentuk pembangkangan konstitusi dan sarat dengan ambisi kekuasaan. Hal ini merusak negara hukum dan mengancam kehidupan demokrasi di Indonesia.
”DPR dan Pemerintah saat ini tidak boleh membuat UU yang bermasalah yang akan berdampak serius kepada kehidupan negara demokrasi, negara hukum, dan Hak Asasi Manusia di masa depan. Terlebih, RUU tersebut dilakukan pembahasannya secara terburu-buru, tertutup, dan tanpa penyerapan aspirasi publik secara bermakna. Sudah tentu UU yang akan dihasilkan akan sangat jauh dari kepentingan publik dan hanya demi kepentingan segelintir elite kelompok kekuasaan,” ujarnya, Minggu (25/8/2024).
Ahmad menyebut, DPR dan pemerintah juga tengah memaksakan pembahasan sejumlah RUU lain yang bermasalah, di antaranya revisi UU TNI, revisi UU Polri, revisi UU Penyiaran, dan RUU tentang Wantimpres yang akan menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dulu telah dibubarkan oleh gerakan Reformasi 1998. ”Pemaksaan pembahasan terhadap sejumlah revisi UU/RUU tersebut sangat kental aroma kepentingan elite kekuasaan dan kelompok tertentu dan bukan untuk kepentingan rakyat,” katanya.
Revisi UU TNI misalnya, akan memberikan ruang yang luas bagi TNI aktif untuk menduduki berbagai jabatan sipil, menghapus larangan berbisnis bagi anggota TNI, dan memberikan kewenangan penegakan hukum kepada TNI AD. Begitu pula dengan RUU Polri yang memberikan kewenangan penyadapan tanpa terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari ketua pengadilan.
Selain itu, RUU Pilkada juga akan menghidupkan kembali pasal-pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Berbagai RUU tersebut ditujukan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan segelintir elite dan kelompok di negri ini dan bukan untuk kepentingan rakyat.
“Imparsial mendesak Pemerintah, DPR, dan para pimpinan partai politik untuk menghentikan semua proses pembahasan RUU yang bermasalah tersebut, karena selain secara substansi akan merusak demokrasi, negara hukum, melanggar Konstitusi, kental aroma kepentingan elite politik, secara prosedur juga telah mengabaikan hak konstitusional warga negara untuk didengar dan berpartisipasi secara bermakna dalam proses pengambilan kebijakan tersebut,” ucapnya.
(cip)