Mengenal Marhaenisme, Ideologi Warisan Bung Karno
loading...
A
A
A
"Seorang Marhaen adalah orang yang memiliki alat-alat yang sedikit, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri," kata Soekarno setelah berhasil merumuskan gagasannya tentang Marhaen.
Lebih jauh, Soekarno menganggap, konsep Marhaenisme yang ditemukannya itu adalah bentuk perwujudan sosialisme Indonesia. "Tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik," katanya.
Pertemuan Soekarno dengan pemuda Marhaen dan gagasannya tentang marhaenisme berlangsung saat usianya masih sangat muda, yakni 20 tahun. Pada masa ini, Soekarno telah memasuki tahap baru dalam perkembangan politiknya, mengarah marxisme.
Sebelum 1932, kata marhaenisme tidak pernah terdengar di Indonesia. Namun setelah itu, kata ini kerap mewarnai sejumlah perdebatan. Secara luas, kata itu mulai dipopulerkan Soekarno saat menghadapi sidang Pengadilan Kolonial Belanda.
"Marhaenisme adalah pergaulan hidup yang sebagian besar sekali terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil. Pendek kata, kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil," katanya.
Marhaenisme, bagi Soekarno sama dengan proletar dalam bahasa kaum marxisme-leninisme. Kata itu digunakan untuk menyebut golongan rakyat yang tertindas. Namun, bedanya Marhaen tidak menjual tenaganya kepada orang lain, tetapi hidupnya miskin.
Tinjauan kritis tentang Marxisme yang di-Indonesiakan oleh Soekarno dalam marhaenisme, dilakukan oleh Profesor Sejarah pada Universitas Passau, Jerman Barat, Bernhard Dahm dalam bukunya Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
Menurut Dham, pendekatan Soekarno terhadap marhaenisme, meskipun bergaya marxisme, sebenarnya bukan marxis. Sebaliknya, pendekatan Soekarno anti-marxisme. Soekarno dinilai tidak tahu cara menempatkan landasan materialistis dari marxisme.
Soekarno bahkan tidak pernah menjadi marxis dan seorang materialis. Sejak semula, meski sering berprilaku sebagai marxis, Soekarno sebenarnya berada dalam kubu idealisme. Kekuatan yang menggerakkannya dalam marhaenisme adalah persatuan.
Hal yang membuat marhaenisme seolah-olah marxisme, berasal dari bacaan Soekarno terhadap marxisme. Baginya, marxisme bukan hanya membuktikan kebobrokan kapitalisme dan imperialisme, tetapi juga menjanjikan suatu harapan dan kemenangan.
Lebih jauh, Soekarno menganggap, konsep Marhaenisme yang ditemukannya itu adalah bentuk perwujudan sosialisme Indonesia. "Tidak ada penghisapan tenaga seseorang oleh orang lain. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik," katanya.
Pertemuan Soekarno dengan pemuda Marhaen dan gagasannya tentang marhaenisme berlangsung saat usianya masih sangat muda, yakni 20 tahun. Pada masa ini, Soekarno telah memasuki tahap baru dalam perkembangan politiknya, mengarah marxisme.
Sebelum 1932, kata marhaenisme tidak pernah terdengar di Indonesia. Namun setelah itu, kata ini kerap mewarnai sejumlah perdebatan. Secara luas, kata itu mulai dipopulerkan Soekarno saat menghadapi sidang Pengadilan Kolonial Belanda.
"Marhaenisme adalah pergaulan hidup yang sebagian besar sekali terdiri dari kaum tani kecil, kaum buruh kecil, kaum pedagang kecil, kaum pelayar kecil. Pendek kata, kaum kromo dan kaum marhaen yang apa-apanya semua kecil," katanya.
Marhaenisme, bagi Soekarno sama dengan proletar dalam bahasa kaum marxisme-leninisme. Kata itu digunakan untuk menyebut golongan rakyat yang tertindas. Namun, bedanya Marhaen tidak menjual tenaganya kepada orang lain, tetapi hidupnya miskin.
Tinjauan kritis tentang Marxisme yang di-Indonesiakan oleh Soekarno dalam marhaenisme, dilakukan oleh Profesor Sejarah pada Universitas Passau, Jerman Barat, Bernhard Dahm dalam bukunya Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan.
Menurut Dham, pendekatan Soekarno terhadap marhaenisme, meskipun bergaya marxisme, sebenarnya bukan marxis. Sebaliknya, pendekatan Soekarno anti-marxisme. Soekarno dinilai tidak tahu cara menempatkan landasan materialistis dari marxisme.
Soekarno bahkan tidak pernah menjadi marxis dan seorang materialis. Sejak semula, meski sering berprilaku sebagai marxis, Soekarno sebenarnya berada dalam kubu idealisme. Kekuatan yang menggerakkannya dalam marhaenisme adalah persatuan.
Hal yang membuat marhaenisme seolah-olah marxisme, berasal dari bacaan Soekarno terhadap marxisme. Baginya, marxisme bukan hanya membuktikan kebobrokan kapitalisme dan imperialisme, tetapi juga menjanjikan suatu harapan dan kemenangan.