Mengenal Marhaenisme, Ideologi Warisan Bung Karno
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mengenal marhaenisme, ideologi warisan Bung Karno jadi satu hal yang menarik untuk dibahas. Pasalnya ada cerita unik di balik munculnya ideologi marhaenisme Bung Karno ini.
Dalam buku Kuantar ke Gerbang, Bung Karno tengah bersepeda kala itu ke Cigereleng sampai di Desa Cibintinu, yang merupakan daerah di selatan Kota Bandung. Saat itu Soekarno bertemu dengan petani muda bernama Marhaen.
Cerita ini diceritakan istri Bung Karno, Inggit Ganarsih. Kata Inggit, sehabis mengayuh sepedanya, Bung Karno menceritakan kesannya saat bertemu Marhaen.
Perhatian Soekarno tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Petani itu bekerja seorang diri, dan pakaiannya sudah lusuh. Setelah menghentikan laju sepedanya, Soekarno sempat memperhatikannya dengan diam.
Soekarno melanjutkan, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?" Dijawab, "O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya." "Tanah ini kau beli?" sambung Soekarno. "Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun," tegasnya.
Usai percakapan singkat itu, petani Marhaen melanjutkan pekerjaannya mencangkul sawah. Sementara Soekarno diam sejenak, mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sedang dipikirkannya saat bersepeda tadi. Percakapan pun dimulai lagi.
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ini kepunyaanmu juga?" tanya Soekarno. "Ya, gan," jawabnya. "Dan cangkul?" sambungnya. "Ya, gan," jawabnya. "Bajak?" tambah Soekarno. "Saya punya, gan," katanya.
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?" sambung Soekarno lagi. "Untuk saya, gan," jawabnya. "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" tanya Soekarno mendesak. Pernyataan itu sempat membuat petani Marhaen diam dan berpikir sejenak.
"Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?" jawab petani itu segera dengan pertanyaan. Setelah mendengar jawaban itu, Soekarno kembali melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya.
Dalam buku Kuantar ke Gerbang, Bung Karno tengah bersepeda kala itu ke Cigereleng sampai di Desa Cibintinu, yang merupakan daerah di selatan Kota Bandung. Saat itu Soekarno bertemu dengan petani muda bernama Marhaen.
Cerita ini diceritakan istri Bung Karno, Inggit Ganarsih. Kata Inggit, sehabis mengayuh sepedanya, Bung Karno menceritakan kesannya saat bertemu Marhaen.
Perhatian Soekarno tertuju pada seorang petani yang sedang mencangkul tanah miliknya. Petani itu bekerja seorang diri, dan pakaiannya sudah lusuh. Setelah menghentikan laju sepedanya, Soekarno sempat memperhatikannya dengan diam.
Baca Juga
Soekarno melanjutkan, "Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?" Dijawab, "O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya." "Tanah ini kau beli?" sambung Soekarno. "Tidak. Warisan bapak kepada anak turun temurun," tegasnya.
Usai percakapan singkat itu, petani Marhaen melanjutkan pekerjaannya mencangkul sawah. Sementara Soekarno diam sejenak, mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sedang dipikirkannya saat bersepeda tadi. Percakapan pun dimulai lagi.
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apa ini kepunyaanmu juga?" tanya Soekarno. "Ya, gan," jawabnya. "Dan cangkul?" sambungnya. "Ya, gan," jawabnya. "Bajak?" tambah Soekarno. "Saya punya, gan," katanya.
"Untuk siapa hasil yang kaukerjakan?" sambung Soekarno lagi. "Untuk saya, gan," jawabnya. "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" tanya Soekarno mendesak. Pernyataan itu sempat membuat petani Marhaen diam dan berpikir sejenak.
"Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang istri dan empat orang anak?" jawab petani itu segera dengan pertanyaan. Setelah mendengar jawaban itu, Soekarno kembali melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya.