Mengenal Marhaenisme, Ideologi Warisan Bung Karno
loading...
A
A
A
"Apakah ada yang dijual dari hasilmu?" katanya. "Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual," jawabnya. "Kau pekerjakan orang lain?" sambungnya. "Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya," jawabnya.
"Apakah engkau pernah memburu?" sambung Soekarno memburu. "Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya," jawab petani Marhaen lagi. Soekarno diam sebentar dan mengalihkan pandangannya.
Dia melihat ke arah gubuk yang berada tidak jauh dari tempat petani itu membajak sawahnya. "Siapa yang punya rumah itu?" tanya Soekarno lagi. "Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri," jawabnya merasa bangga.
Jauh di dalam hati dan pikirannya, Soekarno merasa bangga dengan petani itu. Dia memiliki semuanya untuk dirinya sendiri. "Jadi kalau begitu, semua ini engkau punya?" kata Soekarno melanjutkan. "Ya, gan," jawab petani itu.
Dalam percakapan itu, karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri dan sejumlah pertanyaan yang ingin ditahuinya, Soekarno hampir lupa menanyakan siapa nama petani muda itu. Setelah ditanya, petani itu menjawab, "Marhaen."
Selesai dengan percakapan itu, Soekarno pamit pulang. Selama dalam perjalanan pulang itu, dia membatin di atas sadel sepedanya. "Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia!" katanya.
Dari sinilah Soekarno mendapat inspirasi tentang Marhanisme. Pada diri Marhaen tidak ada pengisapan tenaga dari seseorang oleh orang lain. "Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik," cerita Soekarno kepada Inggit.
Sepanjang hari, setelah pertemuan itu, Soekarno masih suka mengayuh sepeda tuanya berkeliling kampung. Di atas sadelnya, dia terus berpikir untuk membangun konsep Marhaenisme dan memaparkannya dalam suatu rapat pemuda.
"Para petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah korban dari sistem feodal, di mana pada awalnya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama, dan seterusnya sampai ke anak cucunya," terangnya.
Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban dari imperialisme Belanda, karena nenek moyangnya dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha kecil. Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen.
"Apakah engkau pernah memburu?" sambung Soekarno memburu. "Tidak, gan. Saya harus membanting tulang, akan tetapi jerih payah saya semua untuk saya," jawab petani Marhaen lagi. Soekarno diam sebentar dan mengalihkan pandangannya.
Dia melihat ke arah gubuk yang berada tidak jauh dari tempat petani itu membajak sawahnya. "Siapa yang punya rumah itu?" tanya Soekarno lagi. "Itu gubuk saya, gan. Hanya gubuk kecil saja, tapi kepunyaan saya sendiri," jawabnya merasa bangga.
Jauh di dalam hati dan pikirannya, Soekarno merasa bangga dengan petani itu. Dia memiliki semuanya untuk dirinya sendiri. "Jadi kalau begitu, semua ini engkau punya?" kata Soekarno melanjutkan. "Ya, gan," jawab petani itu.
Dalam percakapan itu, karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri dan sejumlah pertanyaan yang ingin ditahuinya, Soekarno hampir lupa menanyakan siapa nama petani muda itu. Setelah ditanya, petani itu menjawab, "Marhaen."
Selesai dengan percakapan itu, Soekarno pamit pulang. Selama dalam perjalanan pulang itu, dia membatin di atas sadel sepedanya. "Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia!" katanya.
Dari sinilah Soekarno mendapat inspirasi tentang Marhanisme. Pada diri Marhaen tidak ada pengisapan tenaga dari seseorang oleh orang lain. "Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik," cerita Soekarno kepada Inggit.
Sepanjang hari, setelah pertemuan itu, Soekarno masih suka mengayuh sepeda tuanya berkeliling kampung. Di atas sadelnya, dia terus berpikir untuk membangun konsep Marhaenisme dan memaparkannya dalam suatu rapat pemuda.
"Para petani kita mengusahakan bidang tanah yang sangat kecil sekali. Mereka adalah korban dari sistem feodal, di mana pada awalnya petani pertama diperas oleh bangsawan yang pertama, dan seterusnya sampai ke anak cucunya," terangnya.
Rakyat yang bukan petani pun menjadi korban dari imperialisme Belanda, karena nenek moyangnya dipaksa untuk hanya bergerak di bidang usaha kecil. Rakyat yang menjadi korban ini, yang meliputi hampir seluruh penduduk Indonesia, adalah Marhaen.