Berani Beda, Fashion Jalanan Remaja Citayam Diramal Berkembang
loading...
A
A
A
Baca juga: ABG Tanah Abang Ini Raup Cuan Rp900 Ribu per Hari di Citayam Fashion Week, Kok Bisa?
Apakah "Citayam Fashion Week" akan bertahan hanya fenomena musiman? Toto menilai itu akan tergantung bagaimana para remaja tersebut mengikat diri. "Jika mereka berkembang menjadi komunitas, apalagi tumbuh sebagai identitas, maka akan mampu bertahan," katanya menganalisis.
Dia lantas mencontohklan subkultur lain seperti kaum Punk. Mereka tumbuh sebagai komunitas, memiliki identitas jelas, bahkan sampai sekarang tetap ada. Sebagai komunitas, kaum Punk saling berkomunikasi melalui media yang beranggotakan sesama mereka dan juga punya event untuk menyalurkan hasrat berkreativitas.
"Sebaliknya, kalau 'Citayam Fashion Week' sekadar iseng mejeng, tidak tumbuh sebagai komunitas, rasanya memang akan bersifat musiman saja. Namun, setidaknya mereka telah mencatatkan diri dalam sejarah subkultur Indonesia," tandasnya.
Pengamat fashion Rahmatia memandang fenomena "Citayam Fashion Week" sebagai sebuah kejutan di dunia mode, terlebih setelah dua tahun mobilitas masyarakat yang terkurung karena pandemi Covid-19. Menurut dia, munculnya kalangan remaja tanggung di Kawasan Dukuh Atas dapat dilihat dari sisi budaya dan tren fashion. Remaja seperti Jeje slebew, Bonge, dan kawan-kawannya yang juga dijuluki remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok) diakuinya sebagai bukti betapa masyarakat sangat membutuhkan ruang publik yang aman, nyaman, dan terbuka bagi semua.
Baca juga: Melihat Peluang di Balik Hebohnya Citayam Fashion Week
“Kebetulan, fenomena 'Citayam Fashion Week' saat ini berpusat di kawasan Sudirman, Jakarta. Toh, Jakarta adalah ruang bagi keberagaman. Street style yang ada di sana adalah salah satu aspek dalam spektrum warna keberagaman,” tutur Rahmatia saat dihubungi Minggu (17/7/2022).
Alumnus sekolah fashion Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo ini menilai konsep "Citayam Fashion Week" membawa warna dan kesan tersendiri pada kawasan Sudirman yang selama ini lekat dengan gaya busana kantor (office style).
Namun, tampilan fashion street di Dukuh Atas diakui berbeda dengan Harajuku style maupun Hip-Hop style. Secara fashion, kata dia, konsep berpakaian di "Citayam Fashion Week" juga dinilai masih terkesan "main aman” dengan paduan kemeja flannel, crop top, jeans belel, dan hoodie yang cenderung berwarna monokrom atau earth tone.
Meski begitu, dia juga menyebut kehadiran "Citayam Fashion Week: sebagai bentuk kreativitas kalangan muda masa kini yang patut diapresiasi. “Tetap perlu diapresiasi karena corak yang mereka bawa adalah hasil kreativitas, memadupadankan outfit streetwear mulai dari head to toe. Kepercayaan diri komunitas remaja yang menjadikan fenomena 'Citayam Fashion Week' ini menarik dan khas,” sanjungnya.
Apakah "Citayam Fashion Week" akan bertahan hanya fenomena musiman? Toto menilai itu akan tergantung bagaimana para remaja tersebut mengikat diri. "Jika mereka berkembang menjadi komunitas, apalagi tumbuh sebagai identitas, maka akan mampu bertahan," katanya menganalisis.
Dia lantas mencontohklan subkultur lain seperti kaum Punk. Mereka tumbuh sebagai komunitas, memiliki identitas jelas, bahkan sampai sekarang tetap ada. Sebagai komunitas, kaum Punk saling berkomunikasi melalui media yang beranggotakan sesama mereka dan juga punya event untuk menyalurkan hasrat berkreativitas.
"Sebaliknya, kalau 'Citayam Fashion Week' sekadar iseng mejeng, tidak tumbuh sebagai komunitas, rasanya memang akan bersifat musiman saja. Namun, setidaknya mereka telah mencatatkan diri dalam sejarah subkultur Indonesia," tandasnya.
Pengamat fashion Rahmatia memandang fenomena "Citayam Fashion Week" sebagai sebuah kejutan di dunia mode, terlebih setelah dua tahun mobilitas masyarakat yang terkurung karena pandemi Covid-19. Menurut dia, munculnya kalangan remaja tanggung di Kawasan Dukuh Atas dapat dilihat dari sisi budaya dan tren fashion. Remaja seperti Jeje slebew, Bonge, dan kawan-kawannya yang juga dijuluki remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok) diakuinya sebagai bukti betapa masyarakat sangat membutuhkan ruang publik yang aman, nyaman, dan terbuka bagi semua.
Baca juga: Melihat Peluang di Balik Hebohnya Citayam Fashion Week
“Kebetulan, fenomena 'Citayam Fashion Week' saat ini berpusat di kawasan Sudirman, Jakarta. Toh, Jakarta adalah ruang bagi keberagaman. Street style yang ada di sana adalah salah satu aspek dalam spektrum warna keberagaman,” tutur Rahmatia saat dihubungi Minggu (17/7/2022).
Alumnus sekolah fashion Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo ini menilai konsep "Citayam Fashion Week" membawa warna dan kesan tersendiri pada kawasan Sudirman yang selama ini lekat dengan gaya busana kantor (office style).
Namun, tampilan fashion street di Dukuh Atas diakui berbeda dengan Harajuku style maupun Hip-Hop style. Secara fashion, kata dia, konsep berpakaian di "Citayam Fashion Week" juga dinilai masih terkesan "main aman” dengan paduan kemeja flannel, crop top, jeans belel, dan hoodie yang cenderung berwarna monokrom atau earth tone.
Meski begitu, dia juga menyebut kehadiran "Citayam Fashion Week: sebagai bentuk kreativitas kalangan muda masa kini yang patut diapresiasi. “Tetap perlu diapresiasi karena corak yang mereka bawa adalah hasil kreativitas, memadupadankan outfit streetwear mulai dari head to toe. Kepercayaan diri komunitas remaja yang menjadikan fenomena 'Citayam Fashion Week' ini menarik dan khas,” sanjungnya.