Berani Beda, Fashion Jalanan Remaja Citayam Diramal Berkembang

Senin, 18 Juli 2022 - 13:49 WIB
loading...
Berani Beda, Fashion Jalanan Remaja Citayam Diramal Berkembang
Sejumlah remaja bergaya bak model profesional sedang berjalan di zebra cross yang difungsikan sebagai catwalk di kawasan Dukuh Atas, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (17/07/2022). (Foto: Yulianto, Ilustrasi: Bobby Firmansyah)
A A A
JAKARTA- Fenomena fashion street di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat oleh remaja Citayam dan sekitarnya kian ramai diperbincangkan publik. Terlepas dari suara pro dan kontra, semangat kreativitas para remaja tersebut patut diapresiasi, bahkan perlu diwadahi dan difasilitasi.

Dalam dua pekan terakhir remaja Citayam menjadikan kawasan Taman MRT Dukuh Atas di Jalan Sudirman sebagai ajang fashion street style atau fashion jalanan. Mereka tampil dengan pakaian nyentrik. Sebagian dari mereka bahkan tak segan bergaya bak model profesional dengan menjadikan zebra cross sebagai catwalk.

Baca juga: Anies Datangi Citayam Fashion Week di Stasiun MRT Dukuh Atas, Ini Pesannya

Setelah viral di media sosial, aksi remaja yang sebagian besar berasal dari wilayah penyangga Jakarta, seperti Citayam, Bojonggede, Depok, Bekasi tersebut kini ikut disorot media asing. Satu di antaranya adalah TokyoFashion.com. Pada Senin (11/7/2022), melalui akun Twitter @TokyoFashion, media asal Jepang tersebut mengapresiasi ajang fashion street remaja Citayam dan meminta agar situs dan akun street snap Indonesia mendokumentasikan dan mendukung aksi mereka.

Apresiasi dan dukungan positif terhadap fenomena remaja Citayam yang akrab dengan sebutan “Citayam Fashion Week” juga disampaikan kalangan pengamat dan akademisi Tanah Air, di antaranya pengamat budaya Toto TIS Suparto, pengamat fashion Rahmatia, dosen Sosiologi Perkotaan asal UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansah, dan peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Henny Warsilah Widodo.

Baca juga: Malam Mingguan di Citayam Fashion Week, Begini Gaya ABG Cibitung

Menurut Toto TIS Suparto, energi positif cukup terlihat pada aktivitas remaja Citayam sebagai sebuah subkultur. Pada mulanya remaja tersebut disebut hanya ingin tampil beda saja, bahkan berdandan seadanya. Tetapi seiring berjalannya waktu, "beda" yang disajikan remaja tersebut mulai mengusung nilai kreativitas. Mulai dipikirkan desain busana, kelayakan fashion, hingga hitungan ekonomis. Karena remaja Citayam punya keberanian, rasa percaya diri tinggi, dan memiliki kreativitas, maka fashion jalalan yang mereka usung potensial untuk berkembang.

"Kalau ini dipupuk, bisa saja lahir tren fashion dari 'Citayam Fashion Week'. Inilah subkultur yang naik kelas menjadi budaya dominan," ujar Toto saat dihubungi Minggu (17/7/2022).

Dia pun ikut membandingkan "Citayam Fashion Week" dengan Harajuku di Jepang. Puluhan tahun lalu gaya Harajuku juga adalah subkultur. Semisal, ada kebiasaan anak muda Jepang mejeng di bagian luar Stasiun Shibuya yang letaknya tak jauh dari kawasan Harajuku, Tokyo. Pelaku, kata dia, sengaja tampil di pusat keramaian dengan tujuan berekspresi agar dilihat banyak orang.

Hal serupa dilakukan remaja Citayam. Mereka memilih nongkrong di Stasiun Dukuh Atas, tempat lalu lalang orang banyak dan mudah serta murah untuk dijangkau dengan transportasi umum seperti KRL, MRT, dan Transjakarta.

Baca juga: ABG Tanah Abang Ini Raup Cuan Rp900 Ribu per Hari di Citayam Fashion Week, Kok Bisa?

Apakah "Citayam Fashion Week" akan bertahan hanya fenomena musiman? Toto menilai itu akan tergantung bagaimana para remaja tersebut mengikat diri. "Jika mereka berkembang menjadi komunitas, apalagi tumbuh sebagai identitas, maka akan mampu bertahan," katanya menganalisis.

Dia lantas mencontohklan subkultur lain seperti kaum Punk. Mereka tumbuh sebagai komunitas, memiliki identitas jelas, bahkan sampai sekarang tetap ada. Sebagai komunitas, kaum Punk saling berkomunikasi melalui media yang beranggotakan sesama mereka dan juga punya event untuk menyalurkan hasrat berkreativitas.

"Sebaliknya, kalau 'Citayam Fashion Week' sekadar iseng mejeng, tidak tumbuh sebagai komunitas, rasanya memang akan bersifat musiman saja. Namun, setidaknya mereka telah mencatatkan diri dalam sejarah subkultur Indonesia," tandasnya.

Pengamat fashion Rahmatia memandang fenomena "Citayam Fashion Week" sebagai sebuah kejutan di dunia mode, terlebih setelah dua tahun mobilitas masyarakat yang terkurung karena pandemi Covid-19. Menurut dia, munculnya kalangan remaja tanggung di Kawasan Dukuh Atas dapat dilihat dari sisi budaya dan tren fashion. Remaja seperti Jeje slebew, Bonge, dan kawan-kawannya yang juga dijuluki remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok) diakuinya sebagai bukti betapa masyarakat sangat membutuhkan ruang publik yang aman, nyaman, dan terbuka bagi semua.

Baca juga: Melihat Peluang di Balik Hebohnya Citayam Fashion Week

“Kebetulan, fenomena 'Citayam Fashion Week' saat ini berpusat di kawasan Sudirman, Jakarta. Toh, Jakarta adalah ruang bagi keberagaman. Street style yang ada di sana adalah salah satu aspek dalam spektrum warna keberagaman,” tutur Rahmatia saat dihubungi Minggu (17/7/2022).

Alumnus sekolah fashion Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo ini menilai konsep "Citayam Fashion Week" membawa warna dan kesan tersendiri pada kawasan Sudirman yang selama ini lekat dengan gaya busana kantor (office style).

Namun, tampilan fashion street di Dukuh Atas diakui berbeda dengan Harajuku style maupun Hip-Hop style. Secara fashion, kata dia, konsep berpakaian di "Citayam Fashion Week" juga dinilai masih terkesan "main aman” dengan paduan kemeja flannel, crop top, jeans belel, dan hoodie yang cenderung berwarna monokrom atau earth tone.

Meski begitu, dia juga menyebut kehadiran "Citayam Fashion Week: sebagai bentuk kreativitas kalangan muda masa kini yang patut diapresiasi. “Tetap perlu diapresiasi karena corak yang mereka bawa adalah hasil kreativitas, memadupadankan outfit streetwear mulai dari head to toe. Kepercayaan diri komunitas remaja yang menjadikan fenomena 'Citayam Fashion Week' ini menarik dan khas,” sanjungnya.

Baca juga: 2 Selebriti Citayam Fashion Week Bonge dan Jeje Jadi Duta Sampah Pemprov DKI

Berkaca dari fenomena tersebut, Rahmatia berpendapat fashion tidak selalu harus berbusana mahal, memakai kostum brand terkenal, dan lainnya. Kenyataannya, remaja Citayam mewakili remaja-remaja lain di Indonesia. Mereka mendeskripsikan masyarakat pada umumnya yang mayoritas hidup di dunia nyata.

Selama ini tampil fashionable kerap identik dengan busana branded, mahal, high class. Gaya tersebut, menurut Rahmatia, adalah milik minoritas yang ditampilkan oleh media sosial dan kemudian serempak diikuti sebagai kiblat mode jika orang ingin tampil fashionable.

“Kuncinya adalah nyaman menjadi diri sendiri. Oleh sebab itulah mengapa mereka (remaja Citayam) menarik perhatian? Karena tampil menjadi diri sendiri, tidak malu memakai barang lokal, tidak malu dengan baju mix match yang terkesan serampangan. Mereka berani dan percaya diri walau wajah tidak se-glowing model iklan," paparnya.

Baca juga: Fenomena Citayam Fashion Week Bisa Dikembangkan Jadi Potensi Wisata di Jakarta

Bahkan, Rahmatia tak sungkan menyatakan ketertarikannya terhadap fenomena "Citayam Fahion Week". "Kalau saja saya masih 15 tahun dan tinggal di sekitar Jakarta, mungkin saya juga ikutan nongkrong di sana. Jajan es teh sama adik saya,” ungkap Creative Director of Rahma Ayudya Carnaval Costume ini.

Dia berharap pemerintah maupun masyarakat mendukung kreativitas remaja Citayam tersebut. Keberadaan mereka bukan sebuah gangguan selama tetap menjaga kebersihan dan norma kesopanan. Tidak hanya mengandalkan peran pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga kesadaran para pegiat seni untuk mengarahkan kegiatan mereka ke arah yang lebih positif. Misalnya, mengganti kegiatan nongkrong tanpa tujuan menjadi kegiatan live street music, stand up comedy yang bisa saja diadakan secara spontan di lokasi tanpa mengganggu lalu lintas.

Baca juga: Citayam Fashion Week Bisa Menjadi Ruang Publik untuk Anak Muda Berekspresi

Secara khusus dia memuji pembawaan remaja Citayam yang percaya diri. Itu dinilai modal utamaberkembang dan menjadikan "Citayam Fashion Week" sebagai brand atau ikon kegiatannya.

“Bagaimana mewadahi dan memfasilitasinya, ini memang PR (pekerjaan rumah) kita bersama. Mereka masih remaja, begitu banyak kreativitas yang mampu mereka ciptakan, ada bakat-bakat terpendam yang perlu ditemukan dan diarahkan. Mungkin 'Citayam Fashion Week' ini menjadi salah satu jalannya,” tandasnya.

Dalam pandangan peneliti Pusat Riset Masyarakat dan Budaya BRIN, Henny Warsilah Widodo, munculnya fenomena remaja Citayam didorong oleh revolusi teknologi yang membuat manusia ikut bertransformasi. Melalui platform media sosial seperti Instagram dan Tiktok, para remaja, termasuk yang berada di daerah penyangga Ibu Kota ikut meniru gaya fashion jalanan remaja di Jepang dan Korea. "Media sosial telah ikut menggerakan transformasi ABG (remaja) dalam ber-fashion ala idola mereka," ujarnya saat dihubungi Sabtu (16/7/2022).

Menurutnya, fenomena fashion jalanan di Dukuh Atas menjadi menarik karena dapat melahirkan beragam ide dan kreativitas. Karena itu dia meminta pemerintah tidak perlu sampai jauh mengintervensi bentuk dan selera fashion remaja tersebut. Fashion remaja Citayam, menurut Henny, cukup menjadi fashion street saja, tidak perlu diimpikan untuk jadi fashion ala Avant Garde atau ala Paris Fashion Week.

Baca juga: Podcast Partai Perindo : Menilik Sisi Positif Citayam Fashion Week

"Di situlah muncul dunia fashion on the street ala kelompok remaja yang selalu menjadi menarik, tidak membosankan. Jadi sebatas diapresiasi saja, supaya terwadahi melalui event-event kota," ujarnya.

Dia mengingatkan pemerintah cukup merespons fenomena remaja Citayam dengan cara mengedukasi mereka untuk ikut menjaga fasilitas dan kebersihan ruang publik, tidak menganggu pengguna jalan dan penikmat kota yang lain. Selain itu, perlu pula remaja diberi literasi mengenai penggunaan teknologi digital.

"Cukup mereka diajari bagaimana cara bermedsos secara modern dan positif agar tidak tersangkut konten-konten negatif atau aksi saling bully," ujarnya.

Melawan Kemapanan?
Selain faktor kreativitas dan eksistensi remaja, fenomena remaja Citayam juga bisa dilihat dari sudut pandang lain, yakni adanya upaya melawan kemapanan industri fashion. Dosen Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta, Tantan Hermansah mengatakan, secara teoritis, apa yang dilakukan remaja Citayam bisa dikatakan sebagai upaya melakukan perlawanan atas narasi besar.

Baca juga: 3 Lokasi yang Vibes-nya Mirip 'SCBD Citayam Fashion Week', Semua Bak Model!

"Apa itu narasi besar? Tak lain adalah fashion industri. Jadi kalau orang mau gaya itu harus punya cantelan, kapstok, atau rujukan, mengikuti endorsement siapa, maka remaja Citayam dengan pede-nya menyampaikan kepada publik bahwa untuk gaya itu tidak perlu seperti artis si A, si B, atau si C, atau untuk tampil keren itu tidak mesti mengikuti fashion yang branded," ujarnya saat dihubungi Minggu (17/7).

Fenomena anak muda melawan kemapanan diakuinya bukan hal baru dalam budaya Indonesia, Bahkan dulu sampai berujung pada persoalan politik. Misalnya pada dekade 1960-an ada kebijakan anak muda dilarang gondrong. Itu karena anak muda melakukan protes sosial politik yang diekspresikan dalam bentuk penampilan, salah satunya tampil dengan rambut panjang. Juga Presiden Soekarno pernah melarang musik Barat seperti The Beatles yang disebutnya sebagai ngak ngik ngok.

"Artinya, bahwa ekspresi-ekspresi seni budaya dalam melawan kemapanan itu sudah lama terjadi. Cuma memang tiap zaman dan tiap waktu ada bentuk dan ciri khasnya," ujarnya.

Baca juga: Beraksi di Citayam Fashion Week, Spesialis Penjambret ABG Diringkus Polisi

Tantan menilai apa yang dilakukan remaja Citayam merupakan sebuah alternatif gerakan sosial yang berbasis kreativitas serta kepercayaan diri untuk tampil di tengah keriuhan publik fashion. Lewat aksi fashion street, lanjut dia, remaja Citayam seperti ingin mengatakan kepada publik bahwa meskipun mereka ada di pinggiran namun juga bisa kreatif. Namun, ruang kreatif di pinggiran tersebut selama ini tidak termonitor.

Dia berharap pemerintah bisa merespons fenomena remaja Citayam jauh lebih positif, misalnya remaja itu diberikan fasilitas untuk bisa mengeskpresikan diri jauh lebih baik, diberikan pendidikan desain, diberikan pendidikan fashion supaya lebih fashionable tapi tetap berakarkter dan tidak melupakan aspek lokal.

Dari sudut pandangan psikologi, apa yang dilakukan remaja Citayam adalah hal positif untuk menaikkan rasa percaya diri sekaligus melatih remaja melakukan interaksi sosial. Psikolog anak dan remaja Sani Budiantini Hermawan mengatakan, pada fase remaja setiap anak memang memiliki cara sendiri untuk mengaktualisasikan dirinya.

Baca juga: Pakai Produk Lokal, Wagub DKI: Citayam Fashion Show Keren

Dalam fenomena remaja Citayam, Sani menilai mereka termasuk kelompok remaja yang memiliki minat yang sama untuk mengekspresikan diri melalui mode.

"Itu kegiatan yang positif karena dengan mengekspresikan diri, dia bisa merasa eksis. Dari sisi psikologis juga akan meningkatkan kepercayaan diri, belum lagi apabila memang dalam kelompok ini terjadi interaksi sosial dapat menambah tinggi keterampilan sosial mereka," ungkapnya saat dihubungi Minggu (17/7/2022).

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1368 seconds (0.1#10.140)