Relasi Kuasa dalam Fenomena Citayam Fashion Week
loading...
A
A
A
Anis Masykhur
Praktisi Pendidikan pada Alhikmah Islamic Institut Jakarta dan ASN Kementerian Agama
FENOMENA "wisata" kreatif ala Citayam Fashion Week (CFW) sebagai ajang artikulasi kreasi anak muda harus dicermati secara tepat. Ini fenomena yang menarik dicermati dalam diskursus keilmuan. CFW menjadi akronim yang bergandengan dengan SCBD.
SCBD (Sudirman Central Business District) yang semula menggambarkan kawasan bisnis kalangan elite ekonomi menengah atas kini menjadi populer dengan akronim yang merepresentasikan wilayah urban: Sudirman, Citayam, Bojong, dan Depok. Ia menjadi tempat berkumpulnya anak-anak milenial yang berusaha “melawan” zaman.
Awalnya adalah keisengan yang biasa lalu jadi viral dan kian membesar akibat keterlibatan media sosial. Benar-benar disruptif karena mengganggu kemapanan (status quo). Kekuasaan modal serasa terancam oleh kekuatan yang tidak bermodal. Bahwa kekuasaan atau otoritas yang selalu dipersepsikan hanya dapat dimiliki oleh orang-orang tertentu jadi ambyar.
CFW seolah ingin menegaskan teori Michel Foucault bahwa kekuasaan tidak hanya berpusat pada satu subjek atau lembaga, melainkan tersebar di mana-mana (omnipresent) dalam setiap relasi sosial. Setidaknya di CFW otoritas model "direbut" oleh anak-anak yang sedang "gabut" menghadapi ganasnya kehidupan.
Foucault menyebutkan bahwa dalam masyarakat modern, bentuk kekuasaan bukanlah sovereign power, melainkan disciplinary power. Disciplinary power dipahami sebagai konsep kekuasaan yang tidak berdasarkan otoritas untuk melakukan penghukuman dan kontrol secara represif sebagaimana dalam sovereign power, melainkan bekerja untuk menormalisasi kelakuan di berbagai relasi sosial.
Selama ini kekuasaan dipahami dan diulas sebagai sebuah kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh individu ataupun organisasi yang berusaha untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Secara tidak sadar, kekuasaan bekerja dalam jaringan kesadaran publik. Dalam hal ini kekuasaan tidak datang dari luar, tetapi dari dalam untuk menentukan struktur, aturan, dan sebuah hubungan.
Maka dalam mencermati fenomena CFW harus melibatkan banyak keahlian lintas disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya adalah para pakar pendidikan harus melihat dengan cermat fenomena ini sebagai tren atau kritik. Beberapa hal yang patut diperhatikan sebagai bahan pencermatan adalah sebagaimana diulas berikut di bawah ini.
Pertama, CFW diawali oleh anak-anak usia sekolah yang "gagal" di kelas lalu mengekspresikannya di lapangan terbuka. Tentunya ini sekaligus menjadi kritik bahwa lembaga pendidikan formal dipandang kurang mampu mengakomodasi kreativitas anak milenial ini.
Tentunya penolak kritik selalu akan melakukan pembelaan, misalnya dengan menyatakan bahwa pendidikan sudah sedemikian rupa mengakomodasi pelbagai potensi, tetapi sayangnya sering bertentangan di level implementasi. Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) ala Gardner harus menjadi perhatian dan kepedulian praktisi pendidikan. Karena pengabaian terhadap salah satu jenis kercerdasan itu adalah bentuk pelanggaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan (dehumanisasi).
Praktisi Pendidikan pada Alhikmah Islamic Institut Jakarta dan ASN Kementerian Agama
FENOMENA "wisata" kreatif ala Citayam Fashion Week (CFW) sebagai ajang artikulasi kreasi anak muda harus dicermati secara tepat. Ini fenomena yang menarik dicermati dalam diskursus keilmuan. CFW menjadi akronim yang bergandengan dengan SCBD.
SCBD (Sudirman Central Business District) yang semula menggambarkan kawasan bisnis kalangan elite ekonomi menengah atas kini menjadi populer dengan akronim yang merepresentasikan wilayah urban: Sudirman, Citayam, Bojong, dan Depok. Ia menjadi tempat berkumpulnya anak-anak milenial yang berusaha “melawan” zaman.
Awalnya adalah keisengan yang biasa lalu jadi viral dan kian membesar akibat keterlibatan media sosial. Benar-benar disruptif karena mengganggu kemapanan (status quo). Kekuasaan modal serasa terancam oleh kekuatan yang tidak bermodal. Bahwa kekuasaan atau otoritas yang selalu dipersepsikan hanya dapat dimiliki oleh orang-orang tertentu jadi ambyar.
CFW seolah ingin menegaskan teori Michel Foucault bahwa kekuasaan tidak hanya berpusat pada satu subjek atau lembaga, melainkan tersebar di mana-mana (omnipresent) dalam setiap relasi sosial. Setidaknya di CFW otoritas model "direbut" oleh anak-anak yang sedang "gabut" menghadapi ganasnya kehidupan.
Foucault menyebutkan bahwa dalam masyarakat modern, bentuk kekuasaan bukanlah sovereign power, melainkan disciplinary power. Disciplinary power dipahami sebagai konsep kekuasaan yang tidak berdasarkan otoritas untuk melakukan penghukuman dan kontrol secara represif sebagaimana dalam sovereign power, melainkan bekerja untuk menormalisasi kelakuan di berbagai relasi sosial.
Selama ini kekuasaan dipahami dan diulas sebagai sebuah kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh individu ataupun organisasi yang berusaha untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Secara tidak sadar, kekuasaan bekerja dalam jaringan kesadaran publik. Dalam hal ini kekuasaan tidak datang dari luar, tetapi dari dalam untuk menentukan struktur, aturan, dan sebuah hubungan.
Maka dalam mencermati fenomena CFW harus melibatkan banyak keahlian lintas disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya adalah para pakar pendidikan harus melihat dengan cermat fenomena ini sebagai tren atau kritik. Beberapa hal yang patut diperhatikan sebagai bahan pencermatan adalah sebagaimana diulas berikut di bawah ini.
Pertama, CFW diawali oleh anak-anak usia sekolah yang "gagal" di kelas lalu mengekspresikannya di lapangan terbuka. Tentunya ini sekaligus menjadi kritik bahwa lembaga pendidikan formal dipandang kurang mampu mengakomodasi kreativitas anak milenial ini.
Tentunya penolak kritik selalu akan melakukan pembelaan, misalnya dengan menyatakan bahwa pendidikan sudah sedemikian rupa mengakomodasi pelbagai potensi, tetapi sayangnya sering bertentangan di level implementasi. Teori kecerdasan majemuk (multiple intelligence) ala Gardner harus menjadi perhatian dan kepedulian praktisi pendidikan. Karena pengabaian terhadap salah satu jenis kercerdasan itu adalah bentuk pelanggaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan (dehumanisasi).