Menyikapi Gerakan Khilafah dan Radikalisme di Indonesia

Selasa, 07 Juni 2022 - 13:54 WIB
loading...
A A A
APH juga haus menyelidiki perbuatan makar dan perbuatan persiapan untuk melakukan makar (Pasal (Pasal 104, 108, dan Pasal 107 KUH). Tidak ada alasan hukum, tidak ada UU atau ketentuan lain yang melarang perbuatan pernyataan berbau khilafah dan secara terang-terangan di muka umum menghasut dan atau menggerakan masyarakat untuk membentuk negara khilafah atau radikalisme.

Bukti dari hal ini adalah pencabutan izin ormas HTI dan FPI serta tindakan hukum terhadap HRS dan tuntutan terorisme terhadap M (tokoh FPI) dan tercatat 922 narapidana terorisme di seluruh Lapas di Indonesia.

Di dalam menghadapi Gerakan radikalisme dan terorisme demi tegaknya NKRI dan Pancasila yang berbasiskan perlindungan Hak Asasi Manusia, diperlukan ketegasan sikap pemerintah. Negeri ini ber-Pancasila, sehingga pendekatan humanis-agamis dan kebebasan hak dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara tetap dipertahankan dan diwujudkan dalam setiap langkah hukum, termasuk tindakan Densus 88 Antiteror. Selain langkah hukum, juga program deradikalisasi dan pembinaan serta rehabilitasi.

Namun pendekatan hukum dan non-hukum tersebut tidak menimbulkan efek jera dan tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas pendukung khilafah. Bahkan secara terang-terangan dan terbuka berani seorang ulama-kelompok masyarakat tertentu menyatakan bahwa yang cocok bagi negeri ini negara khilafah dan bom bunuh diri adalah syahid.

Pernyataan tersebut termasuk penghasutan terhadap masyarakat untuk 'memisahkan' NKRI dari Pancasila dan UUD 45 serta berpotensi memecah belah persatuan Indonesia berdasarkan status agamanya. Pernyataan ulama tersebut jelas bertentangan dengan Konstitusi UUD 45 yang telah mengakui perbedaan dalam kesatuan tanpa membeda-bedakan atas dasar suku, agama dan etnik.

Ratifikasi Indonesia atas International Convention for the Suppression on Financing Terrorism, dengan UU Nomor 9 Tahun 2013 membuktikan komitmen Indonesia menghadapi pendanaan terorisme. Setiap bentuk pengumpulan dana atau kampanya pendanaan untuk membantu konflik Suriah dan di negara Arab lain merupakan perbuatan pelanggaran hukum, sehingga seharusnya dicegah dan atau ditindak secara hukum tanpa kecuali siapa pun pelakunya.

Tidak ada kegiatan terorisme tanpa pendanaan dan kegiatan tersebut selalu dibalut kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini betapa pentingnya peranan masyarakat untuk memberikan informasi kegiatan radikalisme dan terorisme serta PPATK untuk mengumpulkan informasi dan menelusuri asal muasal dana-dana yang masuk dan keluar dari orang per orangan atau ormas atau parpol tertentu.

Dana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 9 tahun 2013 adalah semua aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau benda tersebut, tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan utang.

Sedangkan pengertian pendanaan terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.

Berdasarkan kedua definisi terkait pendanaan terorisme, dapat dipastikan bahwa frasa 'setiap orang' adalah orang perorangan atau korporasi. Terlepas apa statusnya dan siapa pemiliknya dapat dihukum jika perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur tindak pidana pendanaan terorisme tanpa kecuali, termasuk alasan kemanusiaan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1759 seconds (0.1#10.140)