Menyikapi Gerakan Khilafah dan Radikalisme di Indonesia

Selasa, 07 Juni 2022 - 13:54 WIB
loading...
Menyikapi Gerakan Khilafah dan Radikalisme di Indonesia
Romli Atmasasmita. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

PERKEMBANGAN gerakan khilafah dan radikalisme kanan, semakin hari semakin meningkat, termasuk gerakan di bawah tanah, bukan hanya terbatas di kalangan kelompok tertentu melainkan juga di kalangan intelektual.

Dalam bentuk paradigmatik terbalik, gerakan tersebut tampak mengerucut di puncak terbatas pada kelompok kecil intelektual, tetapi semakin melebar dan meluas di dasar yang kebanyakan diisi koordinator lapangan dan anggotanya.

Dirunut ke masa lampau pendirian negara khilafah telah dimulai sejak perjuangan Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan terkini adalah sempalan-sempalan yang diperkuat oleh gerakan ISIS internasional yang berdampak nasional dan transnasional yang didukung dana dari Suriah dan Yaman.

Gerakan tersebut ikut menjadi 'pemumpang gelap' dalam kegiatan Pilpres 2019 dan sampai saat ini masih muncul kegiatan-kegiatan untuk membenturkan konsep khilafah dan NKRI serta Pancasila, termasuk riak-riak yang terjadi baru-baru ini, konvoi kendaraan dengan bendera khilafah.

Penangkapan pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baradja di Lampung, bukti bahwa kegiatan radikalisme dan kegiatan berpotensi terorisme, nyata bukan isapan jempol belaka untuk menyudutkan umat Islam. Achamd Baradja adalah merupakan motivator dan sponsor konvoi kendaraan berbendera khilafah.

Aparatur kepolisian kini tengah menangani kasus tersebut. Namun langkah tersebut layaknya 'pemadam kebakaran' sehingga sampai saat ini semakin tidak jelas dan nyata siapa lawan dan siapa kawan.

Di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2012 yang telah diberlakukan dengan UU Nomor 15 Tahun 2003 telah ditegaskan agar aparat penegak hukum proaktif melaksanakan tindakan hukum. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

Tindak pidana terorisme bukan tindak politik atau tindak pidana yang disponsori oleh kegiatan politik atau tindak pidana yang berkolaborasi dengan politik. Secara hukum, terorisme tidak ada kaitan dengan politik, sehingga sekalipun kemudian terdapat bukti keterlibatan parpol tertentu, tetap saja penegak hukum harus berpegang teguh pada ketentuan peraturan per UU-an yang berlaku. Aparat tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan tindakan pro justitia, termasuk terhadap pengurus partai politik tersebut.

Namun di sisi lain, dalam menghadapi terorisme sekalipun telah terdapat pengaturan tegas dalam UU Terorisme. Aparat harus merujuk pada KUHP yang mengatur antara lain larangan perbuatan yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia (Pasal 157 KUHP); perbuatan yang menentang penguasa umum (pemerintah) dengan kekerasan, atau menentang suatu hal lain seperti dimaksud alam pasal di atas dengan maksud agar isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum (Pasal 161 KUHP); perbuatan dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa/pemerintah yang ada di Indonesia (Pasal 207 KUHP).

APH juga haus menyelidiki perbuatan makar dan perbuatan persiapan untuk melakukan makar (Pasal (Pasal 104, 108, dan Pasal 107 KUH). Tidak ada alasan hukum, tidak ada UU atau ketentuan lain yang melarang perbuatan pernyataan berbau khilafah dan secara terang-terangan di muka umum menghasut dan atau menggerakan masyarakat untuk membentuk negara khilafah atau radikalisme.

Bukti dari hal ini adalah pencabutan izin ormas HTI dan FPI serta tindakan hukum terhadap HRS dan tuntutan terorisme terhadap M (tokoh FPI) dan tercatat 922 narapidana terorisme di seluruh Lapas di Indonesia.

Di dalam menghadapi Gerakan radikalisme dan terorisme demi tegaknya NKRI dan Pancasila yang berbasiskan perlindungan Hak Asasi Manusia, diperlukan ketegasan sikap pemerintah. Negeri ini ber-Pancasila, sehingga pendekatan humanis-agamis dan kebebasan hak dan tanggung jawab berbangsa dan bernegara tetap dipertahankan dan diwujudkan dalam setiap langkah hukum, termasuk tindakan Densus 88 Antiteror. Selain langkah hukum, juga program deradikalisasi dan pembinaan serta rehabilitasi.

Namun pendekatan hukum dan non-hukum tersebut tidak menimbulkan efek jera dan tidak ada pengaruhnya terhadap aktivitas pendukung khilafah. Bahkan secara terang-terangan dan terbuka berani seorang ulama-kelompok masyarakat tertentu menyatakan bahwa yang cocok bagi negeri ini negara khilafah dan bom bunuh diri adalah syahid.

Pernyataan tersebut termasuk penghasutan terhadap masyarakat untuk 'memisahkan' NKRI dari Pancasila dan UUD 45 serta berpotensi memecah belah persatuan Indonesia berdasarkan status agamanya. Pernyataan ulama tersebut jelas bertentangan dengan Konstitusi UUD 45 yang telah mengakui perbedaan dalam kesatuan tanpa membeda-bedakan atas dasar suku, agama dan etnik.

Ratifikasi Indonesia atas International Convention for the Suppression on Financing Terrorism, dengan UU Nomor 9 Tahun 2013 membuktikan komitmen Indonesia menghadapi pendanaan terorisme. Setiap bentuk pengumpulan dana atau kampanya pendanaan untuk membantu konflik Suriah dan di negara Arab lain merupakan perbuatan pelanggaran hukum, sehingga seharusnya dicegah dan atau ditindak secara hukum tanpa kecuali siapa pun pelakunya.

Tidak ada kegiatan terorisme tanpa pendanaan dan kegiatan tersebut selalu dibalut kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini betapa pentingnya peranan masyarakat untuk memberikan informasi kegiatan radikalisme dan terorisme serta PPATK untuk mengumpulkan informasi dan menelusuri asal muasal dana-dana yang masuk dan keluar dari orang per orangan atau ormas atau parpol tertentu.

Dana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU Nomor 9 tahun 2013 adalah semua aset atau benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan dengan semua aset atau benda tersebut, tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan utang.

Sedangkan pengertian pendanaan terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris.

Berdasarkan kedua definisi terkait pendanaan terorisme, dapat dipastikan bahwa frasa 'setiap orang' adalah orang perorangan atau korporasi. Terlepas apa statusnya dan siapa pemiliknya dapat dihukum jika perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur tindak pidana pendanaan terorisme tanpa kecuali, termasuk alasan kemanusiaan.

Merujuk pada uraian tersebut dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, dan ketentuan KUHP. Tidak ada alasan apa pun bagi pemerintah, khususnya aparatur Densus 88 untuk tidak melakukan tindakan hukum terhadap kegiatan terorisme, termasuk tidak terbatas pada kegiatan apapun yang berbau khilafah.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3462 seconds (0.1#10.140)
pixels