Menyikapi Gerakan Khilafah dan Radikalisme di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
PERKEMBANGAN gerakan khilafah dan radikalisme kanan, semakin hari semakin meningkat, termasuk gerakan di bawah tanah, bukan hanya terbatas di kalangan kelompok tertentu melainkan juga di kalangan intelektual.
Dalam bentuk paradigmatik terbalik, gerakan tersebut tampak mengerucut di puncak terbatas pada kelompok kecil intelektual, tetapi semakin melebar dan meluas di dasar yang kebanyakan diisi koordinator lapangan dan anggotanya.
Dirunut ke masa lampau pendirian negara khilafah telah dimulai sejak perjuangan Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan terkini adalah sempalan-sempalan yang diperkuat oleh gerakan ISIS internasional yang berdampak nasional dan transnasional yang didukung dana dari Suriah dan Yaman.
Gerakan tersebut ikut menjadi 'pemumpang gelap' dalam kegiatan Pilpres 2019 dan sampai saat ini masih muncul kegiatan-kegiatan untuk membenturkan konsep khilafah dan NKRI serta Pancasila, termasuk riak-riak yang terjadi baru-baru ini, konvoi kendaraan dengan bendera khilafah.
Penangkapan pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baradja di Lampung, bukti bahwa kegiatan radikalisme dan kegiatan berpotensi terorisme, nyata bukan isapan jempol belaka untuk menyudutkan umat Islam. Achamd Baradja adalah merupakan motivator dan sponsor konvoi kendaraan berbendera khilafah.
Aparatur kepolisian kini tengah menangani kasus tersebut. Namun langkah tersebut layaknya 'pemadam kebakaran' sehingga sampai saat ini semakin tidak jelas dan nyata siapa lawan dan siapa kawan.
Di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2012 yang telah diberlakukan dengan UU Nomor 15 Tahun 2003 telah ditegaskan agar aparat penegak hukum proaktif melaksanakan tindakan hukum. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Tindak pidana terorisme bukan tindak politik atau tindak pidana yang disponsori oleh kegiatan politik atau tindak pidana yang berkolaborasi dengan politik. Secara hukum, terorisme tidak ada kaitan dengan politik, sehingga sekalipun kemudian terdapat bukti keterlibatan parpol tertentu, tetap saja penegak hukum harus berpegang teguh pada ketentuan peraturan per UU-an yang berlaku. Aparat tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan tindakan pro justitia, termasuk terhadap pengurus partai politik tersebut.
Namun di sisi lain, dalam menghadapi terorisme sekalipun telah terdapat pengaturan tegas dalam UU Terorisme. Aparat harus merujuk pada KUHP yang mengatur antara lain larangan perbuatan yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia (Pasal 157 KUHP); perbuatan yang menentang penguasa umum (pemerintah) dengan kekerasan, atau menentang suatu hal lain seperti dimaksud alam pasal di atas dengan maksud agar isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum (Pasal 161 KUHP); perbuatan dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa/pemerintah yang ada di Indonesia (Pasal 207 KUHP).
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
PERKEMBANGAN gerakan khilafah dan radikalisme kanan, semakin hari semakin meningkat, termasuk gerakan di bawah tanah, bukan hanya terbatas di kalangan kelompok tertentu melainkan juga di kalangan intelektual.
Dalam bentuk paradigmatik terbalik, gerakan tersebut tampak mengerucut di puncak terbatas pada kelompok kecil intelektual, tetapi semakin melebar dan meluas di dasar yang kebanyakan diisi koordinator lapangan dan anggotanya.
Dirunut ke masa lampau pendirian negara khilafah telah dimulai sejak perjuangan Kartosuwiryo di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Gerakan terkini adalah sempalan-sempalan yang diperkuat oleh gerakan ISIS internasional yang berdampak nasional dan transnasional yang didukung dana dari Suriah dan Yaman.
Gerakan tersebut ikut menjadi 'pemumpang gelap' dalam kegiatan Pilpres 2019 dan sampai saat ini masih muncul kegiatan-kegiatan untuk membenturkan konsep khilafah dan NKRI serta Pancasila, termasuk riak-riak yang terjadi baru-baru ini, konvoi kendaraan dengan bendera khilafah.
Penangkapan pimpinan tertinggi Khilafatul Muslimin, Abdul Qadir Baradja di Lampung, bukti bahwa kegiatan radikalisme dan kegiatan berpotensi terorisme, nyata bukan isapan jempol belaka untuk menyudutkan umat Islam. Achamd Baradja adalah merupakan motivator dan sponsor konvoi kendaraan berbendera khilafah.
Aparatur kepolisian kini tengah menangani kasus tersebut. Namun langkah tersebut layaknya 'pemadam kebakaran' sehingga sampai saat ini semakin tidak jelas dan nyata siapa lawan dan siapa kawan.
Di dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2012 yang telah diberlakukan dengan UU Nomor 15 Tahun 2003 telah ditegaskan agar aparat penegak hukum proaktif melaksanakan tindakan hukum. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Tindak pidana terorisme bukan tindak politik atau tindak pidana yang disponsori oleh kegiatan politik atau tindak pidana yang berkolaborasi dengan politik. Secara hukum, terorisme tidak ada kaitan dengan politik, sehingga sekalipun kemudian terdapat bukti keterlibatan parpol tertentu, tetap saja penegak hukum harus berpegang teguh pada ketentuan peraturan per UU-an yang berlaku. Aparat tidak perlu ragu-ragu untuk melakukan tindakan pro justitia, termasuk terhadap pengurus partai politik tersebut.
Namun di sisi lain, dalam menghadapi terorisme sekalipun telah terdapat pengaturan tegas dalam UU Terorisme. Aparat harus merujuk pada KUHP yang mengatur antara lain larangan perbuatan yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia (Pasal 157 KUHP); perbuatan yang menentang penguasa umum (pemerintah) dengan kekerasan, atau menentang suatu hal lain seperti dimaksud alam pasal di atas dengan maksud agar isi yang menghasut diketahui atau lebih diketahui oleh umum (Pasal 161 KUHP); perbuatan dengan sengaja di muka umum dengan tulisan menghina suatu penguasa/pemerintah yang ada di Indonesia (Pasal 207 KUHP).