Keadilan Restoratif Satu Catatan dan Dukungan
loading...
A
A
A
Bahkan dia katakan bahwa proses peradilan pidana sering kali tidak terasa seperti keadilan (Howard Zher, 1990:203). Pandangan ini mengecilkan hati pelaku dari memahami dampak kejahatan mereka pada korban.
Oleh karena itu, ia berpendapat perlunya beralih dari lensa 'retributif' ke lensa 'restoratif', yang mengkonseptualisasikan kembali kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dalam pandangan Zehr, ada tiga langkah yang harus dilakukan berkenaan dengan keadilam restorative, pertama adalah memenuhi kebutuhan mendesak, kebutuhan korban, kemudian harus berusaha mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban yang lebih besar.
Dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban ini, proses harus menempatkan kekuasaan dan tanggung jawab di tangan mereka yang terlibat langsung yaitu korban dan pelaku. Pada saat ini ruang untuk keterlibatan masyarakat harus dibuka secara lebar.
Kedua, hubungan korban-pelaku harus ditangani dengan memfasilitasi interaksi dan pertukaran informasi tentang peristiwa, tentang satu sama lain, dan tentang kebutuhan masing-masing. Ketiga, harus fokus pada pemecahan masalah, menangani tidak hanya kebutuhan saat ini tetapi niat masa depan.
Restorative Justice dalam Hukum Indonesia
Sampai sekarang belum ada ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagai dasar hukum untuk menerapkan keadilan restorative. Mekipun Kepolisian telah memulainya sejak 2018, ketika dikeluarkan Surat Edaran Nomor:SE/8/VII/2018 dan kemudian disusul dengan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Pedoman Penerapan Restorative justice dilingkungan Peradilan Umum, kemudian disusul dengan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Realisasi dari pelaksanaan restorative justice tersebut, menurut keterangan Kapolri ada 11811 perkara yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahun 2021, sedangkan Kejaksaan Agung sampai dengan tanggal 27 Oktober 2021 telah menghentikan sebanyak 314 perkara melalui mekanisme restorative justice.
Meskipun sudah cukup banyak kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice oleh Kepolisian atau oleh Kejaksaan, namun kasus atau perkara yang dapat diselesaikan melalui cara restorative justice sangat dibatasi.
Oleh karena itu, ia berpendapat perlunya beralih dari lensa 'retributif' ke lensa 'restoratif', yang mengkonseptualisasikan kembali kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Dalam pandangan Zehr, ada tiga langkah yang harus dilakukan berkenaan dengan keadilam restorative, pertama adalah memenuhi kebutuhan mendesak, kebutuhan korban, kemudian harus berusaha mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban yang lebih besar.
Dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kewajiban ini, proses harus menempatkan kekuasaan dan tanggung jawab di tangan mereka yang terlibat langsung yaitu korban dan pelaku. Pada saat ini ruang untuk keterlibatan masyarakat harus dibuka secara lebar.
Kedua, hubungan korban-pelaku harus ditangani dengan memfasilitasi interaksi dan pertukaran informasi tentang peristiwa, tentang satu sama lain, dan tentang kebutuhan masing-masing. Ketiga, harus fokus pada pemecahan masalah, menangani tidak hanya kebutuhan saat ini tetapi niat masa depan.
Restorative Justice dalam Hukum Indonesia
Sampai sekarang belum ada ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia sebagai dasar hukum untuk menerapkan keadilan restorative. Mekipun Kepolisian telah memulainya sejak 2018, ketika dikeluarkan Surat Edaran Nomor:SE/8/VII/2018 dan kemudian disusul dengan Peraturan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020. Pedoman Penerapan Restorative justice dilingkungan Peradilan Umum, kemudian disusul dengan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2021.
Realisasi dari pelaksanaan restorative justice tersebut, menurut keterangan Kapolri ada 11811 perkara yang diselesaikan melalui mekanisme restorative justice di tahun 2021, sedangkan Kejaksaan Agung sampai dengan tanggal 27 Oktober 2021 telah menghentikan sebanyak 314 perkara melalui mekanisme restorative justice.
Meskipun sudah cukup banyak kasus yang diselesaikan melalui cara restorative justice oleh Kepolisian atau oleh Kejaksaan, namun kasus atau perkara yang dapat diselesaikan melalui cara restorative justice sangat dibatasi.