Jalan Tengah Menghadapi Pandemi Corona
loading...
A
A
A
Kondisi semacam itu menguatkan teori Gurr bahwa tingkat kualitas kemarahan sebagai gerakan emosional masyarakat disebabkan oleh ketegangan yang justru bersumber pada struktur politik yang ada. Pemerintah pusat semakin nampak keliru ketika pengerahan aparat TNI/Polri untuk menertibkan masyarakat selama pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 26 Mei lalu tidak dillakukan sejak awal kebijakannya agar masyarakat semakin mematuhi penerapan protokol kesehatan Covid-19. Bukan saat diujung dengan sebutan new normal.
Seperti kekhawatiran berbagai kalangan, imbas dari keputusan politik pemerintah justru mengakibatkan kasus terus meningkat secara signifikan. Per Senin (15/6/2020) tercatat 38.277 kasus Covid-19, berhasil sembuh sebanyak 14.531 pasien dan kematian yang diakibatkan virus asal Wuhan itu sebanyak 3.134 orang. Selain itu Covid-19 sudah menyebar di seluruh provinsi Indonesia (34 provinsi) dan 430 kabupaten/kota.
Jika ditelaah, dalam kondisi menghadapi pandemi Covid-19, berbagai kompleksitas masalah lain yang dihadapi Indonesia menjadi beban tambahan. Jutaan orang mengalami pemutusan hubungan kerja, angka kemiskinan naik signifikan, kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lumpuh dan berbagai masalah lainnya yang mengakibatkan masyarakat bertindak jauh dari kepatuhan dan keteraturan sosial.
Bagaimana Pemerintah Seharusnya?
Menyitir teori Gurr bahwa kualitas kemarahan dan gerak emosional masyarakat bermuara pada ketegangan yang bersumber pada ketersediaan struktur politik. Gurr menyebutkan bahwa struktur peluang politik (political opportunity structure) menjadi faktor utama dalam perilaku gerakan masyarakat.
Sederhananya, keberadaan struktur politik akan menentukan arah masyarakatnya. Seluruh masyarakat kemudian akan mengikuti arah dari fungsi struktur politik yang ada.
Di Indonesia, struktur politik kita memiliki berbagai unsur mulai formal seperti Eksekutif (Presiden, Gubernur, Walikota hingga Kepala Desa), Legislatif (DPR hingga BPD), Yudikatif (Kejaksaan, KPK, MK, MA dan lainnya). Selain itu Indonesia memiliki khazanah yang sangat berbeda dengan lainnya yakni struktur politik informal seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan dan kelompok sosial lain yang dalam perjalanan bangsa Indonesia memiliki peran yang sangat vital.
Selama ini, pemerintah memiliki kecenderungan menerapkan kebijakan tanpa melibatkan unsur-unsur penting dalam struktur politik kita. Bahkan boleh dikata, pemerintah terkesan menangani pandemi Covid-19 dengan logika, skema dan strateginya sendiri. Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan berbagai organisasi yang memiliki basis umat yang jelas cenderung melakukan gerakan sendiri tanpa dilibatkan oleh pemerintah.
Saya kira dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum jelas ujung pangkalnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap segala perangkat kebijakan dalam menangani Covid-19. Upaya maksimal pemerintah dengan menggelontorkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 677,2 triliun harus berjalan sesuai aturan dan ketentuan perundang-undangan. Jangan sampai ada penumpang gelap yang justru memancing air keruh pandemi dengan mengkorupsi dan mengkapitalisasi untuk kepentingan golongannya semata.
Kehadiran Negarawan Sebagai Jalan Tengah
Dalam situasi krisis seperti saat ini, sudah selayaknya kita meneladani para negarawan yang pernah memberikan pengorbanannya hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan secara total. Sifat kenegarawaan yang tersublimasi dalam tindakan hidupnya. Berjuang tanpa mengenal suku, agama, ras dan golongannya dan semata-mata untuk menciptakan suatu negara yang berdaulat, maju dan beradab.
Para negarawan yang merintis pergerakan nasional kiranya tepat menjadi sumber motivasi bagaimana seharusnya anak bangsa menghadapi wabah virus yang mahakecil ini. Sang Proklamator Soekarno mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman, Ir Djuanda, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro sepertinya tak perlu diragukan lagi khidmatnya untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan negara agar lebih maju.
Seperti kekhawatiran berbagai kalangan, imbas dari keputusan politik pemerintah justru mengakibatkan kasus terus meningkat secara signifikan. Per Senin (15/6/2020) tercatat 38.277 kasus Covid-19, berhasil sembuh sebanyak 14.531 pasien dan kematian yang diakibatkan virus asal Wuhan itu sebanyak 3.134 orang. Selain itu Covid-19 sudah menyebar di seluruh provinsi Indonesia (34 provinsi) dan 430 kabupaten/kota.
Jika ditelaah, dalam kondisi menghadapi pandemi Covid-19, berbagai kompleksitas masalah lain yang dihadapi Indonesia menjadi beban tambahan. Jutaan orang mengalami pemutusan hubungan kerja, angka kemiskinan naik signifikan, kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lumpuh dan berbagai masalah lainnya yang mengakibatkan masyarakat bertindak jauh dari kepatuhan dan keteraturan sosial.
Bagaimana Pemerintah Seharusnya?
Menyitir teori Gurr bahwa kualitas kemarahan dan gerak emosional masyarakat bermuara pada ketegangan yang bersumber pada ketersediaan struktur politik. Gurr menyebutkan bahwa struktur peluang politik (political opportunity structure) menjadi faktor utama dalam perilaku gerakan masyarakat.
Sederhananya, keberadaan struktur politik akan menentukan arah masyarakatnya. Seluruh masyarakat kemudian akan mengikuti arah dari fungsi struktur politik yang ada.
Di Indonesia, struktur politik kita memiliki berbagai unsur mulai formal seperti Eksekutif (Presiden, Gubernur, Walikota hingga Kepala Desa), Legislatif (DPR hingga BPD), Yudikatif (Kejaksaan, KPK, MK, MA dan lainnya). Selain itu Indonesia memiliki khazanah yang sangat berbeda dengan lainnya yakni struktur politik informal seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan dan kelompok sosial lain yang dalam perjalanan bangsa Indonesia memiliki peran yang sangat vital.
Selama ini, pemerintah memiliki kecenderungan menerapkan kebijakan tanpa melibatkan unsur-unsur penting dalam struktur politik kita. Bahkan boleh dikata, pemerintah terkesan menangani pandemi Covid-19 dengan logika, skema dan strateginya sendiri. Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan berbagai organisasi yang memiliki basis umat yang jelas cenderung melakukan gerakan sendiri tanpa dilibatkan oleh pemerintah.
Saya kira dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum jelas ujung pangkalnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap segala perangkat kebijakan dalam menangani Covid-19. Upaya maksimal pemerintah dengan menggelontorkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 677,2 triliun harus berjalan sesuai aturan dan ketentuan perundang-undangan. Jangan sampai ada penumpang gelap yang justru memancing air keruh pandemi dengan mengkorupsi dan mengkapitalisasi untuk kepentingan golongannya semata.
Kehadiran Negarawan Sebagai Jalan Tengah
Dalam situasi krisis seperti saat ini, sudah selayaknya kita meneladani para negarawan yang pernah memberikan pengorbanannya hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan secara total. Sifat kenegarawaan yang tersublimasi dalam tindakan hidupnya. Berjuang tanpa mengenal suku, agama, ras dan golongannya dan semata-mata untuk menciptakan suatu negara yang berdaulat, maju dan beradab.
Para negarawan yang merintis pergerakan nasional kiranya tepat menjadi sumber motivasi bagaimana seharusnya anak bangsa menghadapi wabah virus yang mahakecil ini. Sang Proklamator Soekarno mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman, Ir Djuanda, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro sepertinya tak perlu diragukan lagi khidmatnya untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan negara agar lebih maju.