Jalan Tengah Menghadapi Pandemi Corona
loading...
A
A
A
Sunanto
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
BEBERAPA hari belakangan muncul beberapa tindakan masyarakat yang mengindikasikan perlawanan terhadap serangkaian kebijakan terkait penanganan virus corona. Aksi pengambilan paksa jenazah berstatus pasiden dalam pengawasan (PDP) di 3 Rumah Sakit (RS) di Makassar, Sulawesi Selatan, pengambilan paksa jenazah berstatus PDP di RS Mekar Sari, Kota Bekasi, dan berbagai ketegangan antara oknum masyarakat dengan aparat TNI/Polri menjadi umum kita saksikan di berbagai saluran media.
Sikap acuh dan mengabaikan protokol kesehatan yang diimbau pemerintah dan para ahli menjadi pemandangan kita sehari-hari. Tiga periode penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa provinsi dan kota di Indonesia sepertinya hanya menjadi kehendak pemerintah. Pada saat tenaga kesehatan (Nakes) berjibaku menaklukkan virus dengan nama Covid-19, masyarakat belum menjadi bagian penting dalam menekan penyebaran virus asal Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.
Dalam melihat fenomena yang muncul akhir-akhir ini, menjadi relevan jika mengutip teori Robert Ted Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970) tentang konsep perampasan (deprivation). Perampasan menurut Gurr memunculkan resistensi atau perlawanan.
Resistensi akan terjadi apabila seseorang merasa yang dihargai dan yang bermanfaat dirampas. Imbasnya, muncul ketidakpuasan (discontent) yang berakibat pada kemarahan, kemurkaan, kejengkelan, dan tergantung pada sedalam apa kelompok masyarakat itu rasanya terampas.
Teori Gurr menemukan relevansinya jika kita kontekskan hari ini. Sejak awal Pemerintah nampak gagap dalam menangani wabah mematikan dengan sebutan Covid-19 itu. Mulai awal kemunculan virus di Kota Wuhan pada Desember 2019, pemerintah terkesan meremehkan. Bahkan sejak awal kasus diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah seakan-akan menganggap bahwa Covid-19 akan dengan mudah dan cepat diselesaikan.
Akar Masalah Masa Pandemik
Dalam 3 bulan terakhir masyarakat disuguhkan dengan silang pendapat antar pejabat yang tak kunjung mereda. Mulai beda sikap antar menteri kabinet Indonesia Maju, saling bantah kebijakan pemerintah pusat dengan Kepala daerah, semakin menambah benang kusut penanganan Covid-19. Pada saat masyarakat mulai ketakutan dengan wabah Covid-19, pemerintah justru melontarkan pernyataan bahwa Covid-19 adalah virus yang tidak bisa berkembang di kawasan bercuaca tropis seperti Indonesia.
Kondisi semakin kompleks saat masyarakat mulai berhadap-hadapan dengan kebiasaan proses pemakaman jenazah yang jauh berbeda dengan sebelumnya, perawatan medis bagi pengidap Covid-19 yang sangat ketat nampaknya hanya menjadi tanggung jawab para nakes saja. Pemerintah nampak lebih mengedepankan argumentasi dan kepentingan ekonomi ketimbang kesehatan dan keselamatan rakyatnya.
Saat terjadi penolakan proses pemakaman dengan protokol Covid-19 di beberapa tempat, di waktu yang bersamaan pemerintah justru gencar menyuarakan wacana new normal (kenormalan baru). Hal ini justru disalah pahami masyarakat sebagai kondisi normal seperti sebelum ada wabah Covid-19.
Imbasnya seperti yang kita saksikan saat ini, jalanan ibukota kembali macet, stasiun kereta api di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mulai padat dan berbagai bentuk tindakan resistensi masyarakat lainnya yang berpotensi menjadi pusat persebaran virus baru.
Kondisi semacam itu menguatkan teori Gurr bahwa tingkat kualitas kemarahan sebagai gerakan emosional masyarakat disebabkan oleh ketegangan yang justru bersumber pada struktur politik yang ada. Pemerintah pusat semakin nampak keliru ketika pengerahan aparat TNI/Polri untuk menertibkan masyarakat selama pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 26 Mei lalu tidak dillakukan sejak awal kebijakannya agar masyarakat semakin mematuhi penerapan protokol kesehatan Covid-19. Bukan saat diujung dengan sebutan new normal.
Seperti kekhawatiran berbagai kalangan, imbas dari keputusan politik pemerintah justru mengakibatkan kasus terus meningkat secara signifikan. Per Senin (15/6/2020) tercatat 38.277 kasus Covid-19, berhasil sembuh sebanyak 14.531 pasien dan kematian yang diakibatkan virus asal Wuhan itu sebanyak 3.134 orang. Selain itu Covid-19 sudah menyebar di seluruh provinsi Indonesia (34 provinsi) dan 430 kabupaten/kota.
Jika ditelaah, dalam kondisi menghadapi pandemi Covid-19, berbagai kompleksitas masalah lain yang dihadapi Indonesia menjadi beban tambahan. Jutaan orang mengalami pemutusan hubungan kerja, angka kemiskinan naik signifikan, kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lumpuh dan berbagai masalah lainnya yang mengakibatkan masyarakat bertindak jauh dari kepatuhan dan keteraturan sosial.
Bagaimana Pemerintah Seharusnya?
Menyitir teori Gurr bahwa kualitas kemarahan dan gerak emosional masyarakat bermuara pada ketegangan yang bersumber pada ketersediaan struktur politik. Gurr menyebutkan bahwa struktur peluang politik (political opportunity structure) menjadi faktor utama dalam perilaku gerakan masyarakat.
Sederhananya, keberadaan struktur politik akan menentukan arah masyarakatnya. Seluruh masyarakat kemudian akan mengikuti arah dari fungsi struktur politik yang ada.
Di Indonesia, struktur politik kita memiliki berbagai unsur mulai formal seperti Eksekutif (Presiden, Gubernur, Walikota hingga Kepala Desa), Legislatif (DPR hingga BPD), Yudikatif (Kejaksaan, KPK, MK, MA dan lainnya). Selain itu Indonesia memiliki khazanah yang sangat berbeda dengan lainnya yakni struktur politik informal seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan dan kelompok sosial lain yang dalam perjalanan bangsa Indonesia memiliki peran yang sangat vital.
Selama ini, pemerintah memiliki kecenderungan menerapkan kebijakan tanpa melibatkan unsur-unsur penting dalam struktur politik kita. Bahkan boleh dikata, pemerintah terkesan menangani pandemi Covid-19 dengan logika, skema dan strateginya sendiri. Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan berbagai organisasi yang memiliki basis umat yang jelas cenderung melakukan gerakan sendiri tanpa dilibatkan oleh pemerintah.
Saya kira dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum jelas ujung pangkalnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap segala perangkat kebijakan dalam menangani Covid-19. Upaya maksimal pemerintah dengan menggelontorkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 677,2 triliun harus berjalan sesuai aturan dan ketentuan perundang-undangan. Jangan sampai ada penumpang gelap yang justru memancing air keruh pandemi dengan mengkorupsi dan mengkapitalisasi untuk kepentingan golongannya semata.
Kehadiran Negarawan Sebagai Jalan Tengah
Dalam situasi krisis seperti saat ini, sudah selayaknya kita meneladani para negarawan yang pernah memberikan pengorbanannya hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan secara total. Sifat kenegarawaan yang tersublimasi dalam tindakan hidupnya. Berjuang tanpa mengenal suku, agama, ras dan golongannya dan semata-mata untuk menciptakan suatu negara yang berdaulat, maju dan beradab.
Para negarawan yang merintis pergerakan nasional kiranya tepat menjadi sumber motivasi bagaimana seharusnya anak bangsa menghadapi wabah virus yang mahakecil ini. Sang Proklamator Soekarno mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman, Ir Djuanda, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro sepertinya tak perlu diragukan lagi khidmatnya untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan negara agar lebih maju.
Ki Bagus Hadikusumo saat menjadi anggota BPUPKI, Prof Kahar Muzakkir saat merumuskan Piagam Jakarta bersama para negarawan lainnya, benar-benar konsisten menempatkan semangat persautan bangsa ketimbang ego agama dan organisasi asalnya. Sungguh sifat kenegarawanan para pahlawan nasional itu sangatlah relevan untuk kita teladani dan amalkan untuk menghadapi pandemik Covid-19.
Dengan pandemik global yang sudah mematikan 434.980 manusia di muka bumi dan menjangkititi 7,9 juta orang dan tersebar di 215 negara sudah sangat cukup untuk menyadarkan kita bahwa masalah ini adalah masalah bersama.
Kesadaran pentingnya sifat kenegarawan terejawantahkan dalam sikap setiap aktor di berbagai struktur politik yang ada. Pemerintah dari pusat hingga daerah menjalankan amanah konstitusi dengan maksimal. Dana pemulihan ekonomi ratusan triliun itu dijalankan dengan niatan mensejahterakan rakyat. Pemerintah jujur dan senantiasa terbuka menyasar masyarakat terdampak seperti jutaan korban PHK, masyarakat miskin dan pelaku UMKM.
Dalam konteks melawan corona, para pemangku kepentingan menerapkan kebijakan yang tidak tumpang tindih, melibatkan para tokoh politik, tokoh ormas dan unsur penting masyarakat lainnya dalam memberikan penyadaran tentang bagaimana hidup dengan kenormalan baru di tengah pandemik.
Tak hanya memberikan sosialisasi tentang pola hidup baru seperti penggunaan masker dan kebiasaan cuci tangan dimanapun berada. Tetapi memberikan saluran informasi yang komprehensif tentang apa saja yang dikerjakan pemerintah, sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman masyarakat, seperti anggapan para tenaga kesehatan mengambil keuntungan di tengah pandemik.
Para legislator di berbagai level menjalankan mandat sebagai pengawas pemerintah dengan maksimal. Menyalurkan seluruh aspirasi dan kritik masyarakat pada pemerintah. Jika para wakil rakyat kemudian menjalankan fungsinya secara maksimal, maka tidak akan terjadi “kolesterol” komunikasi antara negara dan masyarakatnya.
Kondisi masyarakat yang memegang teguh soko guru nilai dan akar bangsa Indonesia semakin menjadi jalan solusi melepaskan diri dari pandemik Covid-19 ini. Masyarakat kemudian terlibat menjadi agen sosial, mendidik sekaligus menyerap segala kritik dan kehendak publik.
Muaranya adalah tidak akan terjadi lagi kesalahpahaman, kejengkelan masyarakat atau perasaan terampas. Dalam konteks pandemi Covid-19, pada akhirnya akan tertangani dengan cepat dan efektif.
Saya meyakini dengan cara demikian, pandemi Covid-19 justru akan menjadi jalan khidmat dan ruang kebijaksanaan seluruh elemen bangsa. Dalam berbagai ruang saya selalu mengajak kepada seluruh anak bangsa untuk senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa. Kita tidak boleh lelah menyuarakan dan mengamalkan tentang sifat-sifat kenegarawan, termasuk menghadapi ujian berat wabah Covid-19 ini.
Mari bersatu menekan kemarahan, kita hentikan perasaan paling benar, saling menyalahkan dan resisten terhadap kebijakan pemerintah dan anjuran para ahli. Memperkuat tradisi dialog dan gotong royong serta berlomba menebar kebaikan antar sesama anak bangsa. Menuju satu fase kenormalan baru menjadi bangsa yang maju, beradab dan tangguh. Peradaban madani yang sarat dengan nilai berkemajuan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah
BEBERAPA hari belakangan muncul beberapa tindakan masyarakat yang mengindikasikan perlawanan terhadap serangkaian kebijakan terkait penanganan virus corona. Aksi pengambilan paksa jenazah berstatus pasiden dalam pengawasan (PDP) di 3 Rumah Sakit (RS) di Makassar, Sulawesi Selatan, pengambilan paksa jenazah berstatus PDP di RS Mekar Sari, Kota Bekasi, dan berbagai ketegangan antara oknum masyarakat dengan aparat TNI/Polri menjadi umum kita saksikan di berbagai saluran media.
Sikap acuh dan mengabaikan protokol kesehatan yang diimbau pemerintah dan para ahli menjadi pemandangan kita sehari-hari. Tiga periode penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa provinsi dan kota di Indonesia sepertinya hanya menjadi kehendak pemerintah. Pada saat tenaga kesehatan (Nakes) berjibaku menaklukkan virus dengan nama Covid-19, masyarakat belum menjadi bagian penting dalam menekan penyebaran virus asal Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.
Dalam melihat fenomena yang muncul akhir-akhir ini, menjadi relevan jika mengutip teori Robert Ted Gurr dalam bukunya Why Men Rebel (1970) tentang konsep perampasan (deprivation). Perampasan menurut Gurr memunculkan resistensi atau perlawanan.
Resistensi akan terjadi apabila seseorang merasa yang dihargai dan yang bermanfaat dirampas. Imbasnya, muncul ketidakpuasan (discontent) yang berakibat pada kemarahan, kemurkaan, kejengkelan, dan tergantung pada sedalam apa kelompok masyarakat itu rasanya terampas.
Teori Gurr menemukan relevansinya jika kita kontekskan hari ini. Sejak awal Pemerintah nampak gagap dalam menangani wabah mematikan dengan sebutan Covid-19 itu. Mulai awal kemunculan virus di Kota Wuhan pada Desember 2019, pemerintah terkesan meremehkan. Bahkan sejak awal kasus diumumkan pada 2 Maret 2020, pemerintah seakan-akan menganggap bahwa Covid-19 akan dengan mudah dan cepat diselesaikan.
Akar Masalah Masa Pandemik
Dalam 3 bulan terakhir masyarakat disuguhkan dengan silang pendapat antar pejabat yang tak kunjung mereda. Mulai beda sikap antar menteri kabinet Indonesia Maju, saling bantah kebijakan pemerintah pusat dengan Kepala daerah, semakin menambah benang kusut penanganan Covid-19. Pada saat masyarakat mulai ketakutan dengan wabah Covid-19, pemerintah justru melontarkan pernyataan bahwa Covid-19 adalah virus yang tidak bisa berkembang di kawasan bercuaca tropis seperti Indonesia.
Kondisi semakin kompleks saat masyarakat mulai berhadap-hadapan dengan kebiasaan proses pemakaman jenazah yang jauh berbeda dengan sebelumnya, perawatan medis bagi pengidap Covid-19 yang sangat ketat nampaknya hanya menjadi tanggung jawab para nakes saja. Pemerintah nampak lebih mengedepankan argumentasi dan kepentingan ekonomi ketimbang kesehatan dan keselamatan rakyatnya.
Saat terjadi penolakan proses pemakaman dengan protokol Covid-19 di beberapa tempat, di waktu yang bersamaan pemerintah justru gencar menyuarakan wacana new normal (kenormalan baru). Hal ini justru disalah pahami masyarakat sebagai kondisi normal seperti sebelum ada wabah Covid-19.
Imbasnya seperti yang kita saksikan saat ini, jalanan ibukota kembali macet, stasiun kereta api di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) mulai padat dan berbagai bentuk tindakan resistensi masyarakat lainnya yang berpotensi menjadi pusat persebaran virus baru.
Kondisi semacam itu menguatkan teori Gurr bahwa tingkat kualitas kemarahan sebagai gerakan emosional masyarakat disebabkan oleh ketegangan yang justru bersumber pada struktur politik yang ada. Pemerintah pusat semakin nampak keliru ketika pengerahan aparat TNI/Polri untuk menertibkan masyarakat selama pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 26 Mei lalu tidak dillakukan sejak awal kebijakannya agar masyarakat semakin mematuhi penerapan protokol kesehatan Covid-19. Bukan saat diujung dengan sebutan new normal.
Seperti kekhawatiran berbagai kalangan, imbas dari keputusan politik pemerintah justru mengakibatkan kasus terus meningkat secara signifikan. Per Senin (15/6/2020) tercatat 38.277 kasus Covid-19, berhasil sembuh sebanyak 14.531 pasien dan kematian yang diakibatkan virus asal Wuhan itu sebanyak 3.134 orang. Selain itu Covid-19 sudah menyebar di seluruh provinsi Indonesia (34 provinsi) dan 430 kabupaten/kota.
Jika ditelaah, dalam kondisi menghadapi pandemi Covid-19, berbagai kompleksitas masalah lain yang dihadapi Indonesia menjadi beban tambahan. Jutaan orang mengalami pemutusan hubungan kerja, angka kemiskinan naik signifikan, kelompok usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) lumpuh dan berbagai masalah lainnya yang mengakibatkan masyarakat bertindak jauh dari kepatuhan dan keteraturan sosial.
Bagaimana Pemerintah Seharusnya?
Menyitir teori Gurr bahwa kualitas kemarahan dan gerak emosional masyarakat bermuara pada ketegangan yang bersumber pada ketersediaan struktur politik. Gurr menyebutkan bahwa struktur peluang politik (political opportunity structure) menjadi faktor utama dalam perilaku gerakan masyarakat.
Sederhananya, keberadaan struktur politik akan menentukan arah masyarakatnya. Seluruh masyarakat kemudian akan mengikuti arah dari fungsi struktur politik yang ada.
Di Indonesia, struktur politik kita memiliki berbagai unsur mulai formal seperti Eksekutif (Presiden, Gubernur, Walikota hingga Kepala Desa), Legislatif (DPR hingga BPD), Yudikatif (Kejaksaan, KPK, MK, MA dan lainnya). Selain itu Indonesia memiliki khazanah yang sangat berbeda dengan lainnya yakni struktur politik informal seperti partai politik, organisasi kemasyarakatan dan kelompok sosial lain yang dalam perjalanan bangsa Indonesia memiliki peran yang sangat vital.
Selama ini, pemerintah memiliki kecenderungan menerapkan kebijakan tanpa melibatkan unsur-unsur penting dalam struktur politik kita. Bahkan boleh dikata, pemerintah terkesan menangani pandemi Covid-19 dengan logika, skema dan strateginya sendiri. Organisasi masyarakat seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan berbagai organisasi yang memiliki basis umat yang jelas cenderung melakukan gerakan sendiri tanpa dilibatkan oleh pemerintah.
Saya kira dalam kondisi pandemi Covid-19 yang belum jelas ujung pangkalnya, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap segala perangkat kebijakan dalam menangani Covid-19. Upaya maksimal pemerintah dengan menggelontorkan dana pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 677,2 triliun harus berjalan sesuai aturan dan ketentuan perundang-undangan. Jangan sampai ada penumpang gelap yang justru memancing air keruh pandemi dengan mengkorupsi dan mengkapitalisasi untuk kepentingan golongannya semata.
Kehadiran Negarawan Sebagai Jalan Tengah
Dalam situasi krisis seperti saat ini, sudah selayaknya kita meneladani para negarawan yang pernah memberikan pengorbanannya hanya untuk memperjuangkan kemerdekaan secara total. Sifat kenegarawaan yang tersublimasi dalam tindakan hidupnya. Berjuang tanpa mengenal suku, agama, ras dan golongannya dan semata-mata untuk menciptakan suatu negara yang berdaulat, maju dan beradab.
Para negarawan yang merintis pergerakan nasional kiranya tepat menjadi sumber motivasi bagaimana seharusnya anak bangsa menghadapi wabah virus yang mahakecil ini. Sang Proklamator Soekarno mengorbankan waktu dan tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. Jenderal Soedirman, Ir Djuanda, Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro sepertinya tak perlu diragukan lagi khidmatnya untuk menciptakan suatu tatanan kehidupan negara agar lebih maju.
Ki Bagus Hadikusumo saat menjadi anggota BPUPKI, Prof Kahar Muzakkir saat merumuskan Piagam Jakarta bersama para negarawan lainnya, benar-benar konsisten menempatkan semangat persautan bangsa ketimbang ego agama dan organisasi asalnya. Sungguh sifat kenegarawanan para pahlawan nasional itu sangatlah relevan untuk kita teladani dan amalkan untuk menghadapi pandemik Covid-19.
Dengan pandemik global yang sudah mematikan 434.980 manusia di muka bumi dan menjangkititi 7,9 juta orang dan tersebar di 215 negara sudah sangat cukup untuk menyadarkan kita bahwa masalah ini adalah masalah bersama.
Kesadaran pentingnya sifat kenegarawan terejawantahkan dalam sikap setiap aktor di berbagai struktur politik yang ada. Pemerintah dari pusat hingga daerah menjalankan amanah konstitusi dengan maksimal. Dana pemulihan ekonomi ratusan triliun itu dijalankan dengan niatan mensejahterakan rakyat. Pemerintah jujur dan senantiasa terbuka menyasar masyarakat terdampak seperti jutaan korban PHK, masyarakat miskin dan pelaku UMKM.
Dalam konteks melawan corona, para pemangku kepentingan menerapkan kebijakan yang tidak tumpang tindih, melibatkan para tokoh politik, tokoh ormas dan unsur penting masyarakat lainnya dalam memberikan penyadaran tentang bagaimana hidup dengan kenormalan baru di tengah pandemik.
Tak hanya memberikan sosialisasi tentang pola hidup baru seperti penggunaan masker dan kebiasaan cuci tangan dimanapun berada. Tetapi memberikan saluran informasi yang komprehensif tentang apa saja yang dikerjakan pemerintah, sehingga tidak ada lagi kesalahpahaman masyarakat, seperti anggapan para tenaga kesehatan mengambil keuntungan di tengah pandemik.
Para legislator di berbagai level menjalankan mandat sebagai pengawas pemerintah dengan maksimal. Menyalurkan seluruh aspirasi dan kritik masyarakat pada pemerintah. Jika para wakil rakyat kemudian menjalankan fungsinya secara maksimal, maka tidak akan terjadi “kolesterol” komunikasi antara negara dan masyarakatnya.
Kondisi masyarakat yang memegang teguh soko guru nilai dan akar bangsa Indonesia semakin menjadi jalan solusi melepaskan diri dari pandemik Covid-19 ini. Masyarakat kemudian terlibat menjadi agen sosial, mendidik sekaligus menyerap segala kritik dan kehendak publik.
Muaranya adalah tidak akan terjadi lagi kesalahpahaman, kejengkelan masyarakat atau perasaan terampas. Dalam konteks pandemi Covid-19, pada akhirnya akan tertangani dengan cepat dan efektif.
Saya meyakini dengan cara demikian, pandemi Covid-19 justru akan menjadi jalan khidmat dan ruang kebijaksanaan seluruh elemen bangsa. Dalam berbagai ruang saya selalu mengajak kepada seluruh anak bangsa untuk senantiasa mengedepankan kepentingan bangsa. Kita tidak boleh lelah menyuarakan dan mengamalkan tentang sifat-sifat kenegarawan, termasuk menghadapi ujian berat wabah Covid-19 ini.
Mari bersatu menekan kemarahan, kita hentikan perasaan paling benar, saling menyalahkan dan resisten terhadap kebijakan pemerintah dan anjuran para ahli. Memperkuat tradisi dialog dan gotong royong serta berlomba menebar kebaikan antar sesama anak bangsa. Menuju satu fase kenormalan baru menjadi bangsa yang maju, beradab dan tangguh. Peradaban madani yang sarat dengan nilai berkemajuan.
(poe)