Jangan Salah Pahami Khittah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Idham Cholid
Kader NU & Alumni PMII
SETELAH 37 tahun NU berada pada posisi khittah-nya, sayup-sayup kini mulai terdengar ada yang minta ditinjau kembali. Bahkan, karena dianggap sudah tak relevan, sebaiknya khittah ditinggalkan.
Bayangkan, tokoh sekaliber Mahbub Djunaidi saja hanya berani menyampaikan gagasan "Khittah Plus" saat Munas Alim Ulama di Cilacap pada 1987. Padahal dia juga perumus konsep Kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan Muktamar Situbondo 1984. Kalau sekarang dengan penuh keberanian meminta khittah ditanggalkan, justru hal itu malah dinilai guyonan.
Memang tak mungkin NU dijauhkan, apalagi dipisahkan, dari politik. Memisahkannya sama saja bunuh diri. Harus realistik. Politisi yang kader NU juga berjibun. Mana mungkin mereka ditelantarkan?
Baca juga: Ketua Ikatan Habaib Nahdlatul Ulama Dukung Habib Luthfi Jadi Rais Aam PBNU
Yang terpenting, bagaimana NU lebih fokus pada program sosial ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, namun tetap menyediakan ruang politik. Bukan melarang, apalagi mengharamkannya. Demikian saya memahami gagasan Khittah Plus.
"Berarti bukan karena berpartai politik itu barang 'haram' melainkan karena saat berpartai politik itu NU kurang memperhatikan tugas pokoknya. Kalau tugas pokok itu diperhatikan, apakah berpartai politik itu tidak boleh juga?" Demikian tulis Mahbub Djunaidi (1987), menjelaskan gagasan Khittah Plus-nya itu.
Benar saja, ruang politik NU selalu terbuka. Pada Pemilu pertama pasca khittah memang diwarnai aksi "penggembosan" kepada PPP yang telah dianggap banyak mengecewakan. Tak sedikit pula yang kemudian "eksodus" ke Golkar seperti Slamet Efendi Yusuf dkk. Namun setelah berganti era reformasi, atas nama desakan warga, PKB juga berdiri.
KH Ma'ruf Amin, juga KH Cholil Bisri, di antara pejuang politik lahirnya partai berbasis nahdliyin itu, sering memberikan alasan bahwa berpolitik merupakan bagian dari tanggung jawab NU. Para kiai tak mungkin membiarkan perpolitikan berjalan sendiri. Reformasi harus tetap terkendali. NU mempunyai tanggung jawab menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, selaras dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Baca juga: Resmikan Masjid Saung, Rais Aam PBNU Harap Semangat Ibadah Jamaah Meningkat
Lebih penting lagi, jalan politik memang dinilai paling efektif mewujudkan kemaslahatan. Apalagi jika kekuasaan sudah dalam genggaman. Dulu, "berkuasa" di Departeman Agama saja sudah dianggap segalanya. Itulah jatah wajib NU yang selama Orde Baru (seakan) telah dihilangkan.
Kader NU & Alumni PMII
SETELAH 37 tahun NU berada pada posisi khittah-nya, sayup-sayup kini mulai terdengar ada yang minta ditinjau kembali. Bahkan, karena dianggap sudah tak relevan, sebaiknya khittah ditinggalkan.
Bayangkan, tokoh sekaliber Mahbub Djunaidi saja hanya berani menyampaikan gagasan "Khittah Plus" saat Munas Alim Ulama di Cilacap pada 1987. Padahal dia juga perumus konsep Kembali ke Khittah 1926 yang ditetapkan Muktamar Situbondo 1984. Kalau sekarang dengan penuh keberanian meminta khittah ditanggalkan, justru hal itu malah dinilai guyonan.
Memang tak mungkin NU dijauhkan, apalagi dipisahkan, dari politik. Memisahkannya sama saja bunuh diri. Harus realistik. Politisi yang kader NU juga berjibun. Mana mungkin mereka ditelantarkan?
Baca juga: Ketua Ikatan Habaib Nahdlatul Ulama Dukung Habib Luthfi Jadi Rais Aam PBNU
Yang terpenting, bagaimana NU lebih fokus pada program sosial ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, namun tetap menyediakan ruang politik. Bukan melarang, apalagi mengharamkannya. Demikian saya memahami gagasan Khittah Plus.
"Berarti bukan karena berpartai politik itu barang 'haram' melainkan karena saat berpartai politik itu NU kurang memperhatikan tugas pokoknya. Kalau tugas pokok itu diperhatikan, apakah berpartai politik itu tidak boleh juga?" Demikian tulis Mahbub Djunaidi (1987), menjelaskan gagasan Khittah Plus-nya itu.
Benar saja, ruang politik NU selalu terbuka. Pada Pemilu pertama pasca khittah memang diwarnai aksi "penggembosan" kepada PPP yang telah dianggap banyak mengecewakan. Tak sedikit pula yang kemudian "eksodus" ke Golkar seperti Slamet Efendi Yusuf dkk. Namun setelah berganti era reformasi, atas nama desakan warga, PKB juga berdiri.
KH Ma'ruf Amin, juga KH Cholil Bisri, di antara pejuang politik lahirnya partai berbasis nahdliyin itu, sering memberikan alasan bahwa berpolitik merupakan bagian dari tanggung jawab NU. Para kiai tak mungkin membiarkan perpolitikan berjalan sendiri. Reformasi harus tetap terkendali. NU mempunyai tanggung jawab menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara, selaras dengan nilai-nilai agama yang dianutnya.
Baca juga: Resmikan Masjid Saung, Rais Aam PBNU Harap Semangat Ibadah Jamaah Meningkat
Lebih penting lagi, jalan politik memang dinilai paling efektif mewujudkan kemaslahatan. Apalagi jika kekuasaan sudah dalam genggaman. Dulu, "berkuasa" di Departeman Agama saja sudah dianggap segalanya. Itulah jatah wajib NU yang selama Orde Baru (seakan) telah dihilangkan.