Reaktivasi Rumah Ibadah Tak Cukup Regulasi
loading...
A
A
A
SEBENTAR lagi rumah-rumah ibadah di berbagai penjuru Tanah Air akan dibuka lagi. Reaktivasi rumah ibadah ini sebagai konsekuensi atas ikhtiar pemerintah merelaksasikan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dasar pembukaan itu dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15/2020 tentang Panduan Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 di Masa Pandemi yang terbit akhir pekan lalu.
Tidak ada yang salah dengan ikhtiar ini. Apa pun patut dicoba, tentu dalam kerangka besar menyelamatkan manusia dari berbagai ancaman yang muncul sebagai imbas dari pandemi korona. Namun, hal yang patut menjadi perhatian bersama adalah sejauh mana ketentuan ini bisa efektif, termasuk dalam menekan penyebaran virus korona sebagaimana tujuan mendasarnya.
Secara hitung-hitungan kasatmata, rasanya kebijakan ini kontraproduktif dengan penekanan sebaran Covid-19. Asumsi ini wajar. Logikanya, semakin banyak orang bertemu, semakin cenderung pertemuan itu memicu persebaran virus.
Namun, perspektif ini juga tak harga mati. Bagi mereka yang optimistis, reaktivasi rumah ibadah ini justru akan menguatkan imunitas seseorang. Bahkan, ikhtiar ini, sebagaimana dikatakan Menteri Agama Fachrul Razi, akan menebalkan aspek spiritualisme yang sekitar tiga bulan terakhir terasa tereduksi karena mungkin tidak bisa beribadah bersama di masjid, gereja, pura, wihara, dan sebagainya.
Terlepas dari pilihan pemerintah dan beragam asumsi publik itu, yang jelas pembukaan rumah ibadah telah mendapat lampu hijau sejak akhir pekan lalu. Namun, sejatinya saat pandemi ini regulasi sebatas regulasi. Fakta di lapangan, sejumlah masjid dan musala nekat beroperasi kendati wilayah tersebut masuk dalam zona merah atau penerapan PSBB.
Di wilayah Jabodetabek sekalipun, yang mestinya memiliki aparat memadai, gambaran ini banyak dan mudah untuk ditemukan. Yang lebih miris lagi, selama beraktivitas mereka tak mematuhi kebijakan protokol kesehatan. Tanpa masker, tanpa jarak, karpet tak digulung, adalah fakta yang lazim terjadi. Saat Idul Fitri lalu, misalnya, anjuran MUI atau pemerintah banyak yang tak ditaati.
Lantas, bagaimana dengan efektivitas regulasi seperti Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15/2020? Ketika saat ada pembatasan saja banyak yang melanggar, apalagi dengan pelonggaran, tentu mereka makin leluasa. Jika ini yang terjadi, target-target pemerintah mereaktivasi rumah ibadah menjadi kian dipertanyakan.
Tentu kita semua tidak ingin pandemi ini terus berlarut-larut, bahkan menimpa orang-orang yang tercinta. Namun, keinginan ini menjadi tak mudah manakala situasi di tempat umum seperti rumah ibadah pengamanannya juga tak terkendali.
Sudah saatnya pemerintah bekerja taktis, tak sebatas menonjolkan prosedur administratif atau regulatif. Regulasi yang dibuat memang bisa jadi penguat. Namun, itu tak akan berarti tanpa memadukan situasi nyata yang terjadi di lapangan. Pemerintah sudah saatnya membuat aturan teknis yang lebih bisa menjembatani harapan masyarakat dengan situasi yang terjadi di sekitarnya.
Jangan sampai pemerintah berlaku kaku dengan hanya berpatokan surat-surat usulan pembukaan lagi rumah ibadah yang masuk ke meja camat, bupati, atau gubernur.
Melalui aparatnya yang menyentuh langsung masyarakat, seperti penyuluh agama, petugas kelurahan, babinsa, babinkamtibmas, pemerintah harus aktif mendata dan berdialog dengan tokoh serta warga dari wilayah satu ke wilayah lain. Mereka bisa menjelaskan detail regulasi berikut syarat-syarat yang dipenuhi secara detail. Bahkan hal ini harus dilakukan secara dini sebelum masyarakat itu mengajukan izin ke camat dan sebagainya.
Dengan cara begitu, usulan yang akhirnya muncul benar-benar faktual dan terverifikasi dengan kuat. Muaranya, target untuk mengendalikan pandemi ini pun bisa terwujud di tengah ikhtiar pola hidup normal baru (new normal).
Dasar pembukaan itu dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15/2020 tentang Panduan Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 di Masa Pandemi yang terbit akhir pekan lalu.
Tidak ada yang salah dengan ikhtiar ini. Apa pun patut dicoba, tentu dalam kerangka besar menyelamatkan manusia dari berbagai ancaman yang muncul sebagai imbas dari pandemi korona. Namun, hal yang patut menjadi perhatian bersama adalah sejauh mana ketentuan ini bisa efektif, termasuk dalam menekan penyebaran virus korona sebagaimana tujuan mendasarnya.
Secara hitung-hitungan kasatmata, rasanya kebijakan ini kontraproduktif dengan penekanan sebaran Covid-19. Asumsi ini wajar. Logikanya, semakin banyak orang bertemu, semakin cenderung pertemuan itu memicu persebaran virus.
Namun, perspektif ini juga tak harga mati. Bagi mereka yang optimistis, reaktivasi rumah ibadah ini justru akan menguatkan imunitas seseorang. Bahkan, ikhtiar ini, sebagaimana dikatakan Menteri Agama Fachrul Razi, akan menebalkan aspek spiritualisme yang sekitar tiga bulan terakhir terasa tereduksi karena mungkin tidak bisa beribadah bersama di masjid, gereja, pura, wihara, dan sebagainya.
Terlepas dari pilihan pemerintah dan beragam asumsi publik itu, yang jelas pembukaan rumah ibadah telah mendapat lampu hijau sejak akhir pekan lalu. Namun, sejatinya saat pandemi ini regulasi sebatas regulasi. Fakta di lapangan, sejumlah masjid dan musala nekat beroperasi kendati wilayah tersebut masuk dalam zona merah atau penerapan PSBB.
Di wilayah Jabodetabek sekalipun, yang mestinya memiliki aparat memadai, gambaran ini banyak dan mudah untuk ditemukan. Yang lebih miris lagi, selama beraktivitas mereka tak mematuhi kebijakan protokol kesehatan. Tanpa masker, tanpa jarak, karpet tak digulung, adalah fakta yang lazim terjadi. Saat Idul Fitri lalu, misalnya, anjuran MUI atau pemerintah banyak yang tak ditaati.
Lantas, bagaimana dengan efektivitas regulasi seperti Surat Edaran Menteri Agama Nomor 15/2020? Ketika saat ada pembatasan saja banyak yang melanggar, apalagi dengan pelonggaran, tentu mereka makin leluasa. Jika ini yang terjadi, target-target pemerintah mereaktivasi rumah ibadah menjadi kian dipertanyakan.
Tentu kita semua tidak ingin pandemi ini terus berlarut-larut, bahkan menimpa orang-orang yang tercinta. Namun, keinginan ini menjadi tak mudah manakala situasi di tempat umum seperti rumah ibadah pengamanannya juga tak terkendali.
Sudah saatnya pemerintah bekerja taktis, tak sebatas menonjolkan prosedur administratif atau regulatif. Regulasi yang dibuat memang bisa jadi penguat. Namun, itu tak akan berarti tanpa memadukan situasi nyata yang terjadi di lapangan. Pemerintah sudah saatnya membuat aturan teknis yang lebih bisa menjembatani harapan masyarakat dengan situasi yang terjadi di sekitarnya.
Jangan sampai pemerintah berlaku kaku dengan hanya berpatokan surat-surat usulan pembukaan lagi rumah ibadah yang masuk ke meja camat, bupati, atau gubernur.
Melalui aparatnya yang menyentuh langsung masyarakat, seperti penyuluh agama, petugas kelurahan, babinsa, babinkamtibmas, pemerintah harus aktif mendata dan berdialog dengan tokoh serta warga dari wilayah satu ke wilayah lain. Mereka bisa menjelaskan detail regulasi berikut syarat-syarat yang dipenuhi secara detail. Bahkan hal ini harus dilakukan secara dini sebelum masyarakat itu mengajukan izin ke camat dan sebagainya.
Dengan cara begitu, usulan yang akhirnya muncul benar-benar faktual dan terverifikasi dengan kuat. Muaranya, target untuk mengendalikan pandemi ini pun bisa terwujud di tengah ikhtiar pola hidup normal baru (new normal).
(maf)