ASEAN Benteng Stabilitas Indo-Pasifik
loading...
A
A
A
"MARI kita kukuhkan kawasan Indo-Pasifik sebagai teater perdamaian dan inklusifitas, ini adalah fondasi kunci yang akan mengantarkan ASEAN ke masa depan yang lebih baik untuk rakyat dan untuk dunia," ujar Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menutup resmi perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN di JCC Senayan Jakarta, Kamis (7/9).
baca juga: ASEAN-BAC Siap Realisasikan ASEAN Business Roadmap
Sepintas, apa yang disampaikan Jokowi merupakan pernyataan formal yang selalu mengemuka di setiap agenda pertemuan organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut. Namun di tengah dinamika dan benturan kepentingan negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik belakangan ini dengan episentrum di Laut China Selatan (LCS), pesan tersebut menjadi sangat relevan didengungkan dan ditegaskan.
Agresivitas China mengklaim 3,5 juta kilometer persegi atau 90 persen LCS belakangan ini bukan hanya memicu gesekan dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan juga Indonesia, tapi telah menyeret Amerika Serikat (AS) dan secara langsung atau tidak langsung telah mengonsolidasikan kekuatan yang didukung sekutunya di wilayah ini.
Pertarungan terjadi tidak lain karena posisi strategis LCS sebagai jalur kunci perdagangan dunia. Data CSIS dan World Maritim Council pernah menyebut sekitar 25 persen lalu lintas pelayaran dunia melewati kawasan ini dengan valuasi barang mencapai USD5,3 triliun. Berdasar klaim sejarah, China merasa berhak menguasai perairan tersebut, sedangkan AS berkepentingan untuk menegakkan hak dan kebebasan navigasi.
Lebih menggiurkan, LCS menyimpan cadangan migas melebihi yang tersimpan di kawasan Teluk. Data Bank Dunia memperkirakan sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam dan 7 miliar barel minyak tersimpan di dalamnya. Selain itu, seperti pernah dipaparkan jurnal The Diplomat, walaupun hanya mencakup 2,5 persen permukaan bumi, LCS merupakan habitat 3.000 spesies ikan asli dan yang bermigrasi, atau mencakup sekitar 12 persen dari total tangkapan ikan global.
baca juga: ASEAN People Centrum Gugat Masalah Sistemik dalam ASEAN
Demi ambisi menguasai LCS inilah, China dilaporkan telah membangun sejumlah pangkalan militer di wilayah sengketa seperti Pulau Woody di Kepulauan Paracel. Negeri Tirai Bambu itu juga membangun fasilitas sama di Mischief Reef dan Sumbi Reef. Sedangkan AS telah merangkul Papua Nugini dan Filipina untuk membangun pangkalan militernya. Pembentukan aliansi AS, Inggris dan Australia (AUKUS) menjadi indikator penting bahwa konflik LCS menjadi perhatian penting negara adi daya tersebut.
Tak kalah memprihatinkan, dua kekuatan raksasa itu juga berupaya menarik negara-negara ASEAN untuk menjadi tunggangan atau proxy. Penempatan pangkalan militer AS di Filipina diakui atau tidak menjadi bagian strategi AS dimaksud. Berdasar kesepakatan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) tahun 2014, negeri Paman SAM memperluas pangkalan militernya di Pinoy dari 5 menjadi 9 titik.
Paman Sam juga secara halus berusaha menarik Indonesia head to head dengan China. Langkah ini seperti dilakukan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin usai MoU komitmen pembelian pesawat F-15 beberapa waktu. Secara sepihak Austin mengaku bersama Menhan Prabowo mengeluarkan pandangan sama bahwa klaim maritim China yang ekspansif di Laut China Selatan tidak konsisten dengan hukum internasional. Untung saja China mengidentifikasi pernyataan itu tidak pernah ada.
baca juga: ASEAN-BAC Siap Realisasikan ASEAN Business Roadmap
Sepintas, apa yang disampaikan Jokowi merupakan pernyataan formal yang selalu mengemuka di setiap agenda pertemuan organisasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut. Namun di tengah dinamika dan benturan kepentingan negara-negara besar di kawasan Indo-Pasifik belakangan ini dengan episentrum di Laut China Selatan (LCS), pesan tersebut menjadi sangat relevan didengungkan dan ditegaskan.
Agresivitas China mengklaim 3,5 juta kilometer persegi atau 90 persen LCS belakangan ini bukan hanya memicu gesekan dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan juga Indonesia, tapi telah menyeret Amerika Serikat (AS) dan secara langsung atau tidak langsung telah mengonsolidasikan kekuatan yang didukung sekutunya di wilayah ini.
Pertarungan terjadi tidak lain karena posisi strategis LCS sebagai jalur kunci perdagangan dunia. Data CSIS dan World Maritim Council pernah menyebut sekitar 25 persen lalu lintas pelayaran dunia melewati kawasan ini dengan valuasi barang mencapai USD5,3 triliun. Berdasar klaim sejarah, China merasa berhak menguasai perairan tersebut, sedangkan AS berkepentingan untuk menegakkan hak dan kebebasan navigasi.
Lebih menggiurkan, LCS menyimpan cadangan migas melebihi yang tersimpan di kawasan Teluk. Data Bank Dunia memperkirakan sekitar 900 triliun kaki kubik gas alam dan 7 miliar barel minyak tersimpan di dalamnya. Selain itu, seperti pernah dipaparkan jurnal The Diplomat, walaupun hanya mencakup 2,5 persen permukaan bumi, LCS merupakan habitat 3.000 spesies ikan asli dan yang bermigrasi, atau mencakup sekitar 12 persen dari total tangkapan ikan global.
baca juga: ASEAN People Centrum Gugat Masalah Sistemik dalam ASEAN
Demi ambisi menguasai LCS inilah, China dilaporkan telah membangun sejumlah pangkalan militer di wilayah sengketa seperti Pulau Woody di Kepulauan Paracel. Negeri Tirai Bambu itu juga membangun fasilitas sama di Mischief Reef dan Sumbi Reef. Sedangkan AS telah merangkul Papua Nugini dan Filipina untuk membangun pangkalan militernya. Pembentukan aliansi AS, Inggris dan Australia (AUKUS) menjadi indikator penting bahwa konflik LCS menjadi perhatian penting negara adi daya tersebut.
Tak kalah memprihatinkan, dua kekuatan raksasa itu juga berupaya menarik negara-negara ASEAN untuk menjadi tunggangan atau proxy. Penempatan pangkalan militer AS di Filipina diakui atau tidak menjadi bagian strategi AS dimaksud. Berdasar kesepakatan Enhanced Defense Cooperation Agreement (EDCA) tahun 2014, negeri Paman SAM memperluas pangkalan militernya di Pinoy dari 5 menjadi 9 titik.
Paman Sam juga secara halus berusaha menarik Indonesia head to head dengan China. Langkah ini seperti dilakukan Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin usai MoU komitmen pembelian pesawat F-15 beberapa waktu. Secara sepihak Austin mengaku bersama Menhan Prabowo mengeluarkan pandangan sama bahwa klaim maritim China yang ekspansif di Laut China Selatan tidak konsisten dengan hukum internasional. Untung saja China mengidentifikasi pernyataan itu tidak pernah ada.