Pengguna Internet Makin Banyak, Bisnis Hoaks Kian Subur  

Sabtu, 21 Agustus 2021 - 08:27 WIB
loading...
A A A
Masyarakat Kurang Kritis terhadap Informasi
Psikolog forensik Reza Indra Giri Amriel menegaskan, mengapa masyarakat lebih mudah percaya berita bohong atau hoaks, karena setiap orang punya kecenderungan alami untuk memercayai informasi yang mudah dicerna.

’’Karena otak manusia bekerja memercayai informasi yang diterima atau bersikap positif. Nah,baru beberapa detik kemudian ada penyaringnya. Kodratnya otak kita memang mudah dikelabui,’’ ungkapnya.

Dia menambahkan, otak manusia memang lebih menyukai hal yang sederhana dan mudah dipahami, bukan berita-berita yang menghabiskan energi untuk berpikir.Setiap orang mungkin menganggap dirinya cukup pintar dan kritis saat menyaring informasi. Namun secara tak sadar sebenarnya setiap orang memiliki bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan berita yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki seseorang.

’’Bias konfirmasi inilah yang mengaburkan saat menerima informasi yang beredar melalui situs berita, media sosial, atau aplikasi pesan instan,’’ tuturnya.

Adapun untuk mencegah jebakan berita-berita bohong yang disebarkan, lebih baik masyarakat membaca terlebih dahulu dan tidak langsung dicerna. Biasanya berita bohong di media sosial sering memakai judul yang heboh dan memancing emosi. Padahal ketika dibaca isinya dari awal sampai akhir tidak masuk akal atau mengada-ada.

‘’Selalu baca beritanya sampai habis, terutama soal isu-isu hangat yang sedang ramai diperbincangkan. Selain itu jangan sembarangan membagikan (sharing) berita yang belum Anda baca isinya,’’ tegas Reza. Masyarakat diminta mengenali ciri khas hoaks, yakni isunya begitu menggemparkan dan memicu emosi.

Pengamat teknologi informasi (TI) Pratama Dahlian Persadha menerangkan beberapa kategori para penyebar hoaks.Pertama, mereka yang tak sadar. Biasanya mereka ini mendapatkan informasi di medsos dan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Karena menganggap informasi tersebut benar dan tidak melakukan verifikasi, mereka pun menyebarkan ke orang lain.

Kedua, mereka yang dengan sengaja menyebarkan hoaks. Tujuannya beraneka ragam seperti membuat gaduh. “Mereka membuat suatu strategi yang membelokkan dari kenyataan sehingga masyarakat menjadi bingung,” ujarnya.

Penyebaran hoaks ini dilengkapilink-linkseolah-olah dari media arus utama untuk meyakinkan masyarakat. Para penyebar hoaks ini diduga bekerja secara terstruktur dan kemungkinan ada yang membiayai.Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum maksimal dalam menjerat pelaku kejahatan ini.

Tumbuh suburnya bisnis hoaks tak lepas dari peran penyedia layananover the top(OTT) seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang memiliki keleluasaan yang besar. Di Indonesia, penyedia layanan OTT ini agak sulit “dijinakkan” oleh pemerintah. Pratama mengungkapkan, hal ini lantaran Pemerintah Indonesia tidak punyabargaining power. Berbeda dengan negara-negara di Uni Eropa. Mereka memiliki UUGeneral Data Protection Regulation(GDPR) yang memaksa penyedia OTT tunduk terhadap aturan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1452 seconds (0.1#10.140)