Pengguna Internet Makin Banyak, Bisnis Hoaks Kian Subur  

Sabtu, 21 Agustus 2021 - 08:27 WIB
loading...
Pengguna Internet Makin Banyak, Bisnis Hoaks Kian Subur   
Hoaks yang menyesatkan bisa membahayakan kehidupan. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Dalam kurun satu dekade terakhir, media sosial (medsos) semakin populer. Pengguna platform yang mulai dikembangkan awal 2000-an ini terus meningkat. Survei yang dipublikasikan Hootsuite menyebutkan,penggunainternet diduniamencapai 4,66 miliar orang dengan 4,22 miliar orang merupakanpenggunamedsos.

Pesatnya pertumbuhan pengguna internet yang dibarengi dengan pertumbuhan pengguna medos, selain menghadirkan dampak positif, juga mendatangkan beragam masalah. Salah satunya semakin mudahnya penyebaran informasi palsu atau yang populer disebut hoaks di masyarakat. Bahkan informasi palsu tersebut kini menjadi ladang bisnis baru. Tak hanya berkaitan dengan politik, tetapi juga sosial dan ekonomi.



Penyebaran informasi palsu semakin masif di masa pandemi saat ini. Salah satunya yang menyangkut vaksinasi dan pengobatan Covid-19. Informasi palsu tersebut marak disebar melalui medsos hingga pesan instan di Whatsapp dengan target audiens lebih besar.

Beragam motif di balik penyebaran hoaks tersebut di antaranya motif ekonomi. Contohnya di Amerika Serikat (AS), seorang dokter, Joseph Mercola, mengajak orang untuk tidak percaya vaksin, lalu menyuruh mereka membeli vitamin dan produk buatannya.Produk vitamin buatan Mercola kini sudah banyak diperdagangkan di platformmarketplacedi Indonesia.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memaparkan, hoaks dan disinformasi masih terus tersebar di ruang digital. Berdasarkan data dari Tim AIS Direktorat Pengendalian Ditjen Aplikasi Informatika, hingga 15 Agustus 2021 ada 1.854 isu hoaks berkaitan dengan Covid-19. Tersebar dalam 4.442 unggahan konten di medsos, paling banyak ditemukan di Facebook, yakni sebanyak 3.769 sebaran.



Dalam penanganan persebaran konten hoaks mengenai vaksin Covid-19, ia menyatakan Kominfo telah menemukan 293 isu pada 1.987 unggahan. Adapun 42 isu hoaks mengenai PPKM Level 4 didapat dari 640 postingan di media sosial.Dari jumlah 1.987, 1.813 konten di Facebook sudah dilakukan prosestake down. Di Instagram ada 11, Twitter 105, Youtube 41, dan TikTok ada 17.

Staf Khusus Menteri Bidang Digital dan SDM yang juga Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi mengatakan, peningkatan literasi digital sampai saat ini masih menjadi tantangan utama penanganan hoaks. Lantaran itu dia mendorong agar publik tidak sekadar membaca, tetapi juga harus berpikir kritis terhadap informasi yang didapatnya.

“Di era internet yang penuh informasi, kita tidak hanya harus bisa membaca, tetapi juga berpikir kritis untuk menganalisis masalah,” ujar Dedy di Jakarta kemarin.

Selain itu taraf ketersediaan akses informasi yang tepat bagi seluruh kalangan, akses informasi yang berimbang, utuh, dan tidak sepotong-potong (bukanclickbait), serta konten informasi yang mudah dicerna oleh masyarakat harus terus ditingkatkan.

Dia menyayangkan maraknya hoaks yang disinyalir dijadikan sebagai ajang bisnis untuk kepentingan tertentu. Meski memang memiliki manfaat ekonomi yang signifikan, menyebarkan hoaks bukanlah cara yang dapat dibenarkan. Terlebih di tengah kondisi pandemi. Penyebaran hoaks bahkan berujung pada hilangnya nyawa karena percaya atas info sesat-menyesatkan itu.

“Kami menyayangkan fenomena di mana hoaks menjadi bisnis yang menggiurkan. Viralnya suatu konten memang memiliki manfaat ekonomi yang cukup signifikan. Namun bukan berarti kondisi tersebut dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak tepat, termasuk menyebarkan hoaks. Kami meminta oknum-oknum penyebar hoaks untuk segera berhenti dan mengalihkan energi serta sumber daya yang dimiliki untuk membantu penanganan Covid-19,” tegasnya.



Dedy juga mengingatkan publik, termasuk pejabat pemerintah, agar bijak dalam memberikan pernyataan, misalnya di media sosial. Menurutnya, penanganan hoaks dan disinformasi adalah kerja bersama lintasstakeholder. Penanganan yang diberikan tidak akan berbeda, baik kepada masyarakat, tokoh publik maupun pejabat bilamana ada pernyataan yang menjurus hoaks atau tak benar.

Direktur Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi mengungkapkan, para pelaku bisnis berita bohong (hoaks) merupakan orang-orang yang mampu melihat peluang dari signifikansi internet dan media sosial walaupun peluang tersebut berarti perbuatan kriminal.

Kelompok penebar berita hoaks terbagi menjadi dua, yakni tim produksi dan distribusi. Tim produksi bertugas untuk mencari bahan yang nantinya akan diolah menjadi berita hoaks. Kemudian produk berita bohong tersebut ‎disebarkan melalui tim distribusi.

"Kalau mereka melakukan kedua hal itu, artinya ada maksud tertentu atau order tertentu sehingga tinggal dilacak siapa yang punya ide membuat berita hoaks ini dan pemodalnya," katanya saat dihubungiKORAN SINDOkemarin.

Adapun untuk proses distribusi konten hoaks dan ujaran kebencian, hal itu tidak dilakukan oleh tim. Biasanya mereka menyasar daerah tertentu. Contohnya ketika dilakukan survei, kawasan A tidak menyenangi tokoh politik tertentu, hal ini menjadi modal awal tim kelompok ujaran kebencian melancarkan serangannya.

Nantinya konten hasil produksi akan didistribusikan dengan menyasar pengguna media sosial di wilayah yang telah ditentukan. ’’Dari situ konten dengan mudah menyebar melalui orang per orang sehingga tujuan akhirnya tercapai, yakni meyerang tokoh atau isu yang dimaksud,’’ tuturnya.

Dari segi faktor permintaan, Ismail yakin bisnis ini akan tetap tumbuh di waktu mendatang. Dia menyebut banyak pihak yang memang memiliki kepentingan dan begitu menikmati manfaatdari kejahatan yang cukup efektif ini. Jadi bukan sekadar soal faktor cari untung si penyedia jasa saja. Bisnis berita bohong misalnya akan panen keuntungan ketika pesta politik dilakukan seperti pilkada dan dan pilpres. Saracen merupakan satu contoh bagaimana isu SARA digerakkan melalui bisnis ini pada berbagai perhelatan pesta demokrasi.

"Apalagi nanti ada pilkada dan pilpres. Wah, lebih banyak lagi nanti bisnis berita hoaks," kata Ismail.

Selain itu keuntungan yang diperoleh dari membuat berita hoaks berdasarkan pesanan pihak tertentu, sudah jelas ada tarifnya. Namun bisnis ini tidak cuma mendapatkan keuntungan dari tarif pesanan itu, melainkan juga memetik uang dari iklan-iklan yang ditayangkan.

"Bersih-bersihnya ia bisa mendapat Rp10 juta sampai 15 juta sebulan dari membuat berita hoaks, kemudian ada orang datang ke situs dia, ada iklannya, kemudian menyebar," ucap Ismail, dosen tetap di Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Dia menambahkan bahwa ketika para produsen berita hoaks itu mengunggah konten mereka ke sebuah situs, akan ada biaya iklan yang mereka dapat. Semakin banyak yang memberikanlikedan komentar, nilai jual halaman itu akan makin tinggi. Selanjutnya pihak media sosial akan menghubungi akun orang yang populer tersebut untuk memasang iklan di halaman tersebut.

"Dia dapat uang dan keuntungan, sementara kita yang komentar mencaci-maki sesama saudara sebangsa malah menjadikan dia semakin populer. Kita kehilangan kewarasan, harga diri, dan persaudaraan," katanya.

Pada 2020 hingga Januari 2021, Ismail menyebutkan, ada 1.556 penyebaran berita hoaks selama merebaknya Covid-19. Ribuan hoaks tersebut tersebar di berbagai platform media sosial, Facebok, Instagram, Twitter, YouTube hingga WhatsApp.

Grup WhatsApp sering menjadi sasaran penyebaran hoaks. Selain itu masyarakat yang tinggal di perkotaan menjadi target tertinggi sasaran penyebaran berita hoaks bila dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di perdesaan.

"‎Alasannya karena masyarakat di kota punya uang lebih banyak sehingga lebih mampu membeli ponsel dan mengakses internet bila dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan yang terkendala jaringan internet. Masyarakat berpendidikan tinggi kini juga tidak luput dari paparan kabar bohong. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin kritis pikirannya," tambah Ismail.

Selain kelompok terdidik, masyarakat yang fanatik beragama pun turut menjadi incaran para penyebar kabar bohong. Jika masyarakat tidak mau berubah, Ismail memperkirakan persebaran hoaks akan semakin sulit dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. ‎Ia pun meminta masyarakat untuk lebih skeptis ketika melihat sebuah informasi yang belum tentu benar.

Masyarakat Kurang Kritis terhadap Informasi
Psikolog forensik Reza Indra Giri Amriel menegaskan, mengapa masyarakat lebih mudah percaya berita bohong atau hoaks, karena setiap orang punya kecenderungan alami untuk memercayai informasi yang mudah dicerna.

’’Karena otak manusia bekerja memercayai informasi yang diterima atau bersikap positif. Nah,baru beberapa detik kemudian ada penyaringnya. Kodratnya otak kita memang mudah dikelabui,’’ ungkapnya.

Dia menambahkan, otak manusia memang lebih menyukai hal yang sederhana dan mudah dipahami, bukan berita-berita yang menghabiskan energi untuk berpikir.Setiap orang mungkin menganggap dirinya cukup pintar dan kritis saat menyaring informasi. Namun secara tak sadar sebenarnya setiap orang memiliki bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari atau menafsirkan berita yang sesuai dengan nilai-nilai yang sudah dimiliki seseorang.

’’Bias konfirmasi inilah yang mengaburkan saat menerima informasi yang beredar melalui situs berita, media sosial, atau aplikasi pesan instan,’’ tuturnya.

Adapun untuk mencegah jebakan berita-berita bohong yang disebarkan, lebih baik masyarakat membaca terlebih dahulu dan tidak langsung dicerna. Biasanya berita bohong di media sosial sering memakai judul yang heboh dan memancing emosi. Padahal ketika dibaca isinya dari awal sampai akhir tidak masuk akal atau mengada-ada.

‘’Selalu baca beritanya sampai habis, terutama soal isu-isu hangat yang sedang ramai diperbincangkan. Selain itu jangan sembarangan membagikan (sharing) berita yang belum Anda baca isinya,’’ tegas Reza. Masyarakat diminta mengenali ciri khas hoaks, yakni isunya begitu menggemparkan dan memicu emosi.

Pengamat teknologi informasi (TI) Pratama Dahlian Persadha menerangkan beberapa kategori para penyebar hoaks.Pertama, mereka yang tak sadar. Biasanya mereka ini mendapatkan informasi di medsos dan aplikasi pesan instan seperti WhatsApp. Karena menganggap informasi tersebut benar dan tidak melakukan verifikasi, mereka pun menyebarkan ke orang lain.

Kedua, mereka yang dengan sengaja menyebarkan hoaks. Tujuannya beraneka ragam seperti membuat gaduh. “Mereka membuat suatu strategi yang membelokkan dari kenyataan sehingga masyarakat menjadi bingung,” ujarnya.

Penyebaran hoaks ini dilengkapilink-linkseolah-olah dari media arus utama untuk meyakinkan masyarakat. Para penyebar hoaks ini diduga bekerja secara terstruktur dan kemungkinan ada yang membiayai.Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) ini menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum maksimal dalam menjerat pelaku kejahatan ini.

Tumbuh suburnya bisnis hoaks tak lepas dari peran penyedia layananover the top(OTT) seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang memiliki keleluasaan yang besar. Di Indonesia, penyedia layanan OTT ini agak sulit “dijinakkan” oleh pemerintah. Pratama mengungkapkan, hal ini lantaran Pemerintah Indonesia tidak punyabargaining power. Berbeda dengan negara-negara di Uni Eropa. Mereka memiliki UUGeneral Data Protection Regulation(GDPR) yang memaksa penyedia OTT tunduk terhadap aturan.

“Mereka mengancam akan menggunakan platform sendiri kalau misalnya pemilik platform lamatidak mau mengikuti aturan mereka,” tegasnya.

Indonesia, menurutnya, tidak bisa karena sudah telanjur tergantung. Pengguna medsos seperti Facebook dan Instagram jumlahnya sudah besar. Platform medsos sebenarnya sudah memiliki fitur untuk mendeteksi hoaks. Mereka menggunakanmachine learningdengannational personal language. Namun pelaku penyebar hoaks sekarang sudah jauh lebih pintar. Mereka bersiasat dengan menulis narasi-narasi yang bagus untuk menghindarikeywordyang sudah ditetapkan.

“Walaupun mereka (medsos) sudah menggunakan teknologiartificial intelligent(AI), masih banyak informasi (palsu) yang lolos,” katanya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2270 seconds (0.1#10.140)