Pengguna Internet Makin Banyak, Bisnis Hoaks Kian Subur
loading...
A
A
A
Dari segi faktor permintaan, Ismail yakin bisnis ini akan tetap tumbuh di waktu mendatang. Dia menyebut banyak pihak yang memang memiliki kepentingan dan begitu menikmati manfaatdari kejahatan yang cukup efektif ini. Jadi bukan sekadar soal faktor cari untung si penyedia jasa saja. Bisnis berita bohong misalnya akan panen keuntungan ketika pesta politik dilakukan seperti pilkada dan dan pilpres. Saracen merupakan satu contoh bagaimana isu SARA digerakkan melalui bisnis ini pada berbagai perhelatan pesta demokrasi.
"Apalagi nanti ada pilkada dan pilpres. Wah, lebih banyak lagi nanti bisnis berita hoaks," kata Ismail.
Selain itu keuntungan yang diperoleh dari membuat berita hoaks berdasarkan pesanan pihak tertentu, sudah jelas ada tarifnya. Namun bisnis ini tidak cuma mendapatkan keuntungan dari tarif pesanan itu, melainkan juga memetik uang dari iklan-iklan yang ditayangkan.
"Bersih-bersihnya ia bisa mendapat Rp10 juta sampai 15 juta sebulan dari membuat berita hoaks, kemudian ada orang datang ke situs dia, ada iklannya, kemudian menyebar," ucap Ismail, dosen tetap di Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Dia menambahkan bahwa ketika para produsen berita hoaks itu mengunggah konten mereka ke sebuah situs, akan ada biaya iklan yang mereka dapat. Semakin banyak yang memberikanlikedan komentar, nilai jual halaman itu akan makin tinggi. Selanjutnya pihak media sosial akan menghubungi akun orang yang populer tersebut untuk memasang iklan di halaman tersebut.
"Dia dapat uang dan keuntungan, sementara kita yang komentar mencaci-maki sesama saudara sebangsa malah menjadikan dia semakin populer. Kita kehilangan kewarasan, harga diri, dan persaudaraan," katanya.
Pada 2020 hingga Januari 2021, Ismail menyebutkan, ada 1.556 penyebaran berita hoaks selama merebaknya Covid-19. Ribuan hoaks tersebut tersebar di berbagai platform media sosial, Facebok, Instagram, Twitter, YouTube hingga WhatsApp.
Grup WhatsApp sering menjadi sasaran penyebaran hoaks. Selain itu masyarakat yang tinggal di perkotaan menjadi target tertinggi sasaran penyebaran berita hoaks bila dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di perdesaan.
"Alasannya karena masyarakat di kota punya uang lebih banyak sehingga lebih mampu membeli ponsel dan mengakses internet bila dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan yang terkendala jaringan internet. Masyarakat berpendidikan tinggi kini juga tidak luput dari paparan kabar bohong. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin kritis pikirannya," tambah Ismail.
Selain kelompok terdidik, masyarakat yang fanatik beragama pun turut menjadi incaran para penyebar kabar bohong. Jika masyarakat tidak mau berubah, Ismail memperkirakan persebaran hoaks akan semakin sulit dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. Ia pun meminta masyarakat untuk lebih skeptis ketika melihat sebuah informasi yang belum tentu benar.
"Apalagi nanti ada pilkada dan pilpres. Wah, lebih banyak lagi nanti bisnis berita hoaks," kata Ismail.
Selain itu keuntungan yang diperoleh dari membuat berita hoaks berdasarkan pesanan pihak tertentu, sudah jelas ada tarifnya. Namun bisnis ini tidak cuma mendapatkan keuntungan dari tarif pesanan itu, melainkan juga memetik uang dari iklan-iklan yang ditayangkan.
"Bersih-bersihnya ia bisa mendapat Rp10 juta sampai 15 juta sebulan dari membuat berita hoaks, kemudian ada orang datang ke situs dia, ada iklannya, kemudian menyebar," ucap Ismail, dosen tetap di Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Dia menambahkan bahwa ketika para produsen berita hoaks itu mengunggah konten mereka ke sebuah situs, akan ada biaya iklan yang mereka dapat. Semakin banyak yang memberikanlikedan komentar, nilai jual halaman itu akan makin tinggi. Selanjutnya pihak media sosial akan menghubungi akun orang yang populer tersebut untuk memasang iklan di halaman tersebut.
"Dia dapat uang dan keuntungan, sementara kita yang komentar mencaci-maki sesama saudara sebangsa malah menjadikan dia semakin populer. Kita kehilangan kewarasan, harga diri, dan persaudaraan," katanya.
Pada 2020 hingga Januari 2021, Ismail menyebutkan, ada 1.556 penyebaran berita hoaks selama merebaknya Covid-19. Ribuan hoaks tersebut tersebar di berbagai platform media sosial, Facebok, Instagram, Twitter, YouTube hingga WhatsApp.
Grup WhatsApp sering menjadi sasaran penyebaran hoaks. Selain itu masyarakat yang tinggal di perkotaan menjadi target tertinggi sasaran penyebaran berita hoaks bila dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di perdesaan.
"Alasannya karena masyarakat di kota punya uang lebih banyak sehingga lebih mampu membeli ponsel dan mengakses internet bila dibandingkan dengan masyarakat di perdesaan yang terkendala jaringan internet. Masyarakat berpendidikan tinggi kini juga tidak luput dari paparan kabar bohong. Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin kritis pikirannya," tambah Ismail.
Selain kelompok terdidik, masyarakat yang fanatik beragama pun turut menjadi incaran para penyebar kabar bohong. Jika masyarakat tidak mau berubah, Ismail memperkirakan persebaran hoaks akan semakin sulit dihentikan dalam beberapa tahun ke depan. Ia pun meminta masyarakat untuk lebih skeptis ketika melihat sebuah informasi yang belum tentu benar.