New Normal dan Ayah yang Membisu
loading...
A
A
A
Pengakuan Diri
Apakah ada peran ayah yang salah di sini? Dalam konteks ayah ideal di Indonesia, bisa saja hal tersebut disalahkan.
Meminjam pernyataan aktivis gender Saparinah Sadli dalam Rahayu (2015), kontruksi sosial dalam sejarah laki-laki dipersepsikan sebagai individu yang tidak perlu berkontribusi pada urusan domestik. Termasuk di dalamnya mengasuh anak. Hal tersebut berkaitan dengan peran ayah secara tradisional sebagai pemimpin dan pelindung dalam rumah tangga.
Padahal dalam beberapa penelitian, ayah justru sangat berperan dalam perkembangan anak. Terutama bagi anak laki-laki. Anak laki-laki yang hidup tanpa figur ayah dan jarang berkomunikasi dengannya, cenderung tumbuh menjadi anak yang sulit. Dia seperti kehilangan pegangan, menjadi pemberontak, melawan hukum, dan perilaku negatif lainnya.
Setidaknya hal itu yang ditulis oleh Guy Corneau dalam bukunya Absent Fathers, Lost Sons. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan menjadi Ayah yang Tidak Dirasakan Kehadirannya, Putera yang Kehilangan Arah (Penerbit Karisma, 2008). Buku ini merupakan kisah nyata dari sang penulis.
Corneau memaparkan, saat kecil hubungan dengan ayahnya sangat baik. Namun saat remaja, komunikasi dengan sang ayah seolah hilang. Sosok ayah tidak lagi hadir dalam hidupnya, padahal saat itu Corneau membutuhkannya.
Saat ia sengaja ingin berbicara dengan ayahnya, Corneau bingung bagaimana memulainya. Seolah ada tembok besar yang menghalanginya. Saat kuliah dan dalam peneilitiannya, Corneau mendapati kenyataan bahwa banyak anak remaja mengalami apa yang dirasakannya dulu. Itu sudah turun menurun dilakukan, dari generasi ke generasi berikutnya.
Julianto Simanjuntak dalam buku Kebisuan Para Ayah menulis, budaya kita mendukung “kebisuan” lelaki. Laki-laki yang berwibawa adalah mereka yang penampilannya tenang, bicara seperlunya, dan tidak menunjukkan perasaannya.
Laki-laki yang banyak bicara dianggap cerewet seperti perempuan. Padahal komunikasi yang intens antara ayah dan anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Hal tersebut dibuktikan lewat penelitian yang dilakukan oleh Josh McDowell dalam buku The Father Connection. McDowell memberi penjelasan, hubungan yang kuat dengan ayah menjadi faktor penting dalam perkembangan dan kebahagiaan seorang anak. Bukan berarti peran ibu tidak penting. Karena dalam beberapa kejadian, remaja-remaja yang mengalami masalah sulit karena ketiadaan komunikasi dengan ayah. Meski komunikasi dengan ibu berjalan baik.
Apakah ada peran ayah yang salah di sini? Dalam konteks ayah ideal di Indonesia, bisa saja hal tersebut disalahkan.
Meminjam pernyataan aktivis gender Saparinah Sadli dalam Rahayu (2015), kontruksi sosial dalam sejarah laki-laki dipersepsikan sebagai individu yang tidak perlu berkontribusi pada urusan domestik. Termasuk di dalamnya mengasuh anak. Hal tersebut berkaitan dengan peran ayah secara tradisional sebagai pemimpin dan pelindung dalam rumah tangga.
Padahal dalam beberapa penelitian, ayah justru sangat berperan dalam perkembangan anak. Terutama bagi anak laki-laki. Anak laki-laki yang hidup tanpa figur ayah dan jarang berkomunikasi dengannya, cenderung tumbuh menjadi anak yang sulit. Dia seperti kehilangan pegangan, menjadi pemberontak, melawan hukum, dan perilaku negatif lainnya.
Setidaknya hal itu yang ditulis oleh Guy Corneau dalam bukunya Absent Fathers, Lost Sons. Di Indonesia, buku ini diterjemahkan menjadi Ayah yang Tidak Dirasakan Kehadirannya, Putera yang Kehilangan Arah (Penerbit Karisma, 2008). Buku ini merupakan kisah nyata dari sang penulis.
Corneau memaparkan, saat kecil hubungan dengan ayahnya sangat baik. Namun saat remaja, komunikasi dengan sang ayah seolah hilang. Sosok ayah tidak lagi hadir dalam hidupnya, padahal saat itu Corneau membutuhkannya.
Saat ia sengaja ingin berbicara dengan ayahnya, Corneau bingung bagaimana memulainya. Seolah ada tembok besar yang menghalanginya. Saat kuliah dan dalam peneilitiannya, Corneau mendapati kenyataan bahwa banyak anak remaja mengalami apa yang dirasakannya dulu. Itu sudah turun menurun dilakukan, dari generasi ke generasi berikutnya.
Julianto Simanjuntak dalam buku Kebisuan Para Ayah menulis, budaya kita mendukung “kebisuan” lelaki. Laki-laki yang berwibawa adalah mereka yang penampilannya tenang, bicara seperlunya, dan tidak menunjukkan perasaannya.
Laki-laki yang banyak bicara dianggap cerewet seperti perempuan. Padahal komunikasi yang intens antara ayah dan anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Hal tersebut dibuktikan lewat penelitian yang dilakukan oleh Josh McDowell dalam buku The Father Connection. McDowell memberi penjelasan, hubungan yang kuat dengan ayah menjadi faktor penting dalam perkembangan dan kebahagiaan seorang anak. Bukan berarti peran ibu tidak penting. Karena dalam beberapa kejadian, remaja-remaja yang mengalami masalah sulit karena ketiadaan komunikasi dengan ayah. Meski komunikasi dengan ibu berjalan baik.